TAFSIR
PA DA MASA PERIODE TADWIN
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah” Sejarah Perkembangan Tafsir”
Dalam Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh
:
Alam
Tarlam,S.Ud.
NIM :
92200114010
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2015
Tafsir pada Masa Periode Tadwin
Al-Qur’an merupakan Mukjizat Allah yang luar biasa dari sudut
pandang manapun, dalam mengkaji al-Qur’an
memang tidak akan ada habisnya. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa dari
pertama al-Qur’an diturunkan pada Muhammad SAW penjelasan (tafsir) al-Qur’an
sudah mulai bermunculan kendatipun pada saat itu hanya Muhammad SAW yang
mempunyai wewenang dalam menjelaskan isi al-Qur’an.
Pada awal pemerintahan khalifah yang pertama dari khulafaur rasyidin,
yaitu Abu Bakar Shiddiq, al-Qur’an telah dikumpulkan dalam mushaf tersendiri.
Kemudian pada zaman khalifah yang ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan, penjelasan
(penafsiran) al-Qur’an masih belum berkembang atau mengacu kepada penjelasan
(penafsiran) Rasulallah SAW.
Setelah pada masa tabi’ tabi’in penjelasan
(penafsiran) al-Qur’an mulai bermunculan, yang berusaha untuk menuliskan,
membukukan, mengartikan dan menjelaskan al-Qur’an pada seluruh sudut pandang
yang disebut dengan penafsiran pada masa tadwin al-Qur’an.
Penafsiran pada masa tadwin merupakan masa kemajuan
dalam bidang tafsir. Di sinilah merupakan awal mula kemunculan penulisan
penafsiran-penafsiran al-Qur’an, dari menyatukan hadis dengan penafsiran al-Qur’an,
memisahkan hadis dengan tafsir, sampai terbentuknya suatu penafsiran bi’ra’yi.
Sebegai calon mufasir muslim, kita perlu menulusuri bagaimana titik awal
munculnya suatu penafsiran-penafsiran dan perkembangan tafsir. Maka sehubungan
dengan pentingnya pembahasan tersebut, penulis menuangkan permasalahan ini pada
sebuah makalah yang berjudul Penafsiran pada Masa Tadwin, yang mempunyai
beberapa rumusan masalah, di antaranya : apa pengertian Tadwin?,
dan Bagaimana Sejarah Tadwin ?.
B.
Pengertian Tadwin
Tadwin secara bahasa bermakna
(المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan
yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan. ”Dalam kamus Al-Bisri,
tadwin merupakan bentuk masdar dari دوّن
yang berarti menulis dan mencatat.[1] Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan
kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan
tertentu, misalnya diw︢︢aan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer)
yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar.[2]
Jadi dapat pemakalah
simpulkan bahwa tafsir pada masa tadwin adalah suatu tulisan atau catatan untuk
menafsirkan beberapa pengrtian makna dalam al-Qur’an, atau bisa di perjelas
masa dimana tafsir al-Qur’an ditulis, atau dibukukan.
C. Sejarah Tafsir Pada Periode Tadwin
Periode ini dimulai
pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Hijriyah. Masa tadwin ini dimulai
dari awal zaman Abbasiah. Para ulama saat itu mengumpulkan hadis-hadis yang
mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in. Mereka menyusun tafsir dengan
menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan riwayat dari para sahabat dan
tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsiri ini masih belum
tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Untuk memisahkan hadis-hadis tafsir dari hadis yang lain, para ulama mengumpulkan
hadis-hadis yang marfu’ dan hadis-hadis mauquf tentang tafsir.
Mereka mengumpulkan hadis bahkan dengan mengambilnya dari berbagai kota. Di
antara ulama yang mengumpulkan hadis dari berbagi daerah ini adalah : Sufyan
Ibnu ‘Uyainah, Waki’ Ibnu Jarrah, Syu’bah Ibnu Hajjaj, Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pada akhir abad kedua
barulah hadis-hadis tafsir dipisahkan dari hadis-hadis lainnya dan disusun
tafsir berdasarkan urutan mushaf. Menurut penelitian Ibnu Nadim, orang yang
pertama kali menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menurut tertib mushaf adalah
al-Farra’. Ia melakukannya atas permintaan ‘Umar Ibnu Bakir. Ia mendiktekan
tafsirnya kepada murid-muridnya di masjid setiap hari Jum’at.
Pada masa Abbasiyah
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pula ilmu tafsir. Para
ulama’ nahwu seperti Sibawaihi dan al-Kisaiy mengi’rabkan al-Qur’an. Para ahli nahwu dan
bahasa menyusun kitab yang dinamakan dengan Ma’ani al-Quran.
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu Para ulama saat itu
mengumpulkan hadis-hadis yang mereka peroleh dari para sahabat dan tabi’in.
Mereka menyusun tafsir dengan menyebutkan sepotong ayat, kemudian menyebutkan
riwayat dari para sahabat dan tabi’in. Namun demikian, ayat-ayat al-Qur’an yang
ditafsiri ini masih belum tersusun sesuai dengan susunan mushaf.
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu :
a) Periode Pertama
Pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadis yang telah dibukukan sebelumnya.[3] Pembukuan
tafsir dilakukan secara bersama-sama dengan pembukuan hadis. Hadis dibukukan
dengan beberapa bab dan tafsir merupakan salah satu dari bab-bab tersebut. Seperti
kitab toharoh, bab shalat, bab zakat, kitabu haji, dan yang lainnya, namun
dalam salah satu babnya terdapat bab tentang penafsiran al-Qur’an[4]. Bahkan dikatakan bahwa hampir seluruh
himpunan hadis yang banyak sekali jumlahnya dan tersusun menurut materinya
pasti memuat bab tafsir al-Qur’an, yakni Sekumpulan kabar yang keluar dari
Rasulullah dalam menafsirkan al-Qur’an.
Ketika itu belum ada tulisan khusus yang berisi tafsir al-Qur'an baik surat
demi surat ataupun ayat demi ayat. Namun pada kurun waktu tersebut terdapat
sejumlah ulama yang bertugas mengunjungi berbagai wilayah untuk mengumpulkan
hadist, dan di antara mereka juga terdapat ulama yang mengumpulkan tafsir yang
diyakini bersumber dari Rasulullah, dari sahabat ataupun dari tabi'in. Di
antara mereka yang tersebut belakangan adalah Yazid bin Harun
as-Salmi (w: 117 H), Syu'bah bin Hajjaj (w: 160 H), Waki bin
jaroh (w: 197 H) dan Abdu bin Humyad (w: 249 H). Ke empat orang ulama ini
adalah ahli-ahli hadist yang menjadikan tafsir sebagai salah satu bab dalam
kitab hadist, dan tidak membukukannya secara terpisah sebagai kitab tersendiri.[5]
b) Periode Kedua
Pemisahan tafsir dari hadis dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku
tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut,
setiap ayat al-Qur'an diberi tafsiran dan dibukukan menurut urutannya dalam
mushaf (tartib mushafi). Pembukuan seperti ini selesai dilakukan oleh sejumlah
ulama, antara lain Ibnu Majah (w: 273 H), Ibnu Jarir at-Thobary (w: 310 H) dan
Ibnu Hatim (w: 327 H) dan lain-lain.[6] Semua
tafsir ini mereka tulis berdasarkan pertautan periwayatan (isnad) kepada
Rasulullah, sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in; dan sebagian besar yang
dimuat dalam tafsir-tafsir tersebut adalah tafsir bil-ma'tsur. Kecuali Ibnu
Jarir at-Thobary yang dalam tafsirnya menyebutkan berbagai pendapat yang
kemudian diperbandingkan dan dinilai kebenarannya. Dia juga membahas i'rab
(analisa bahasa Arab berdasarkan fungsi katanya) di mana perlu mengemukakan
kesimpulan hukum (istimbath) yang bisa ditarik dari suatu teks (nash)
al-Qur'an.
Sistem isnad memang bermula sejak zaman Rasulullah yang kemudian merebak
menjadi ilmu tersendiri pada akhir abad I hijriyah. Dasar tatanan ilmu ini
berpijak pada kebiasaan para sahabat dalam transmisi hadist di kalangan mereka.
Pada masa keempat kalender Islam ungkapan-ungkapan yang belum sempurna
dirasa penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu
(pemberontakan terhadap khalifah Utsman. Ibnu Sirin (w.110 H), misalnya
mengatakan, “Para ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad,
tetapi saat fitnah mulai meluas mereka menuntut, ‘sebutkan nama orang kalian
pada kami’. Bagi yang termasuk ahli sunnah, hadist mereka terima, sedang yang
tergolong tukang mengada-ada, hadist mereka dicampakkan ke pinggiran[7].”
c) Periode Ketiga
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para
ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara
sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir
berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari
tafsir tersebut.[8]
Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat :
غير المغضوب عليهم ولاالضا لين
Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari
ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
Pada tahap ini tafsir belum keluar dari garis tafsir bil-ma'tsur.
Akan tetapi berbeda dengan keadaan sebelumnya yang dilengkapi dengan penulisan
sanad secara lengkap, pada tahap ini para ulama menghilangkan sanad tersebut.
Mereka meriwayatkan tafsir dari para mufassir sebelumnya tanpa
menyebutkan nama mufassir yang dimaksud. Setiap orang yang mengatakan sesuatu
atau terbetik di hatinya sesuatu yang diyakini kemudian perkara itu diambil
oleh orang yang datang setelahnya dengan mengira bahwa itu adalah asli tanpa
melihat dari mana perkara itu diambil. Sehingga sejak saat itu tafsir mulai
dipalsukan dan sulit untuk dilacak kebenarannya dan ketidak benarannya. Tahap
ini merupakan permulaan munculnya pemasukan dan perembesan dongeng-dongeng israiliyyat
ke dalam tafsir.
Keinginan agar hadis lebih fokus pada matan serta mudah untuk dipahami masyarakat yaitu dengan menghilangkan sanadnya sehingga terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan sanad inilah penyebab yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan. Karena dengan dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat sebuah kitab, cenderung menganggap shohih semua yang ada di dalamnya.
Bahkan ada diantara mufassir yang perhatian dengan tafsir model itu (mengambil dari kisah-kisah israiliyat) adalah Muqatil bin Sulaiman (w.150 H) yang karakter dan kredibilitasnya juga banyak diberitakan, bahwa “pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Dia menjadikan (ajaran) al-Qur’an sejalan dengan apa yang ada dalam kedua kitab tersebut.[9]
Keinginan agar hadis lebih fokus pada matan serta mudah untuk dipahami masyarakat yaitu dengan menghilangkan sanadnya sehingga terlihat ringkas, namun ternyata penghilangan sanad inilah penyebab yang paling berbahaya diantara sebab-sebab pemalsuan. Karena dengan dihilangkannya sanad ini akan menjadikan orang yang melihat sebuah kitab, cenderung menganggap shohih semua yang ada di dalamnya.
Bahkan ada diantara mufassir yang perhatian dengan tafsir model itu (mengambil dari kisah-kisah israiliyat) adalah Muqatil bin Sulaiman (w.150 H) yang karakter dan kredibilitasnya juga banyak diberitakan, bahwa “pengetahuannya tentang al-Qur’an bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Dia menjadikan (ajaran) al-Qur’an sejalan dengan apa yang ada dalam kedua kitab tersebut.[9]
d) Periode Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku tarjamahan dari luar
Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan
dibandingkan dengan metode bin naqly (dengan periwayatan). Pada periode
ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir.
Pakar fiqih menafsirkan ayat al-Qur’an dari segi hukum seperti Al-Qurtuby.
Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin
dan seterusnya.[10]
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAW, penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, dikelompokkan menjadi satu kelompok
yang dinamaiTafsir bi al-Ma’tsûr. Dan masa ini dapat dijadikan periode
pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode pertama tersebut dengan
berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari
sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad
SAW, para sahabat, dan tabi’in.
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari
segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi
(penulisan), hal mana dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu
masa Rasul saw., sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di mana Tafsir belum
tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode
II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan
penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis,
walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi
Al-Ma’tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir
secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh
Al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al-Qur’an.[11]
Pada tahap ini tafsir melangkah lebih luas lagi, kalau dulu tafsir hanya
membatasi diripada periwayatan tafsir dari para ulama salaf, maka tafsir pada
tahap ini menggabungkan tafsir bir-ra'yi (tafsir 'aqli, rasional) dengan
tafsir naqli, melalui beberapa tahap yang menarik. Pertama dengan
usaha-usaha penafsiran secara perorangan dan memperbandingkan pendapat-pendapat
tersebut satu sama lain dan menguji kebenaran penafsiran masing-masing. Usaha
penafsiran secara rasional tersebut masih dibenarkan selama aspek pemikirannya
masih berpijak pada aturan-aturan kebahasaan yang berlaku dan pada makna
konotatif dari kata-kata yang disebutkan di dalam al-Qur'an.
Kegiatan penafsiran semata tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria inilah yang diharamkan Ibn
Taimiyah, bahkan Imam ibn Hanbal menyatakannya sebagai 'tidak berdasar',
sebagai hasil dari pemahaman hadist Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara marfu’:
من قال القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النا ر
Atau hadist Jundub yang diriwayatkan secara marfu’ juga:
من قال فى القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
Sebaliknya keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an dengan sunnah
Rasul serta kaidah-kaidah yang mu'tabarah.
Sebagian ulama’ mensyaratkan bagi
penafsir jenis ini (bi ra’yi) sejumlah ilmu yang harus dikuasai.
Diantaranya adalah bahasa arab: dari nahwu, syorof, isytiqaq, lughah,
balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, nashikh mansukh,
hadis-hadis penjelas ayat-ayat al-Qur’an, fiqih dan terakhir: ilmu mauhibah
Adz-Dzahabi menambahkan satu syarat lagi yaitu ilmu sejarah.
Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari sifat kibr, hawa nafsu, bid’ah,
cinta dunia dan senang berbuat dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya
untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah swt. Sebagaiman
firman-Nya :
ß$ÎñÀr'y ô`tã zÓÉL»t#uä tûïÏ%©!$# crã¬6s3tGt Îû ÇÚöF{$# ÎötóÎ/ Èd,ysø9$# bÎ)ur (#÷rtt ¨@à2 7pt#uä w (#qãZÏB÷sã $pkÍ5 bÎ)ur (#÷rtt @Î6y Ïô©9$# w çnräÏGt WxÎ6y bÎ)ur (#÷rtt @Î6y ÄcÓxöø9$# çnräÏGt WxÎ6y 4 y7Ï9ºs öNåk¨Xr'Î/ (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ (#qçR%x.ur $pk÷]tã tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÍÏÈ
Aku akan
memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan
yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat (Ku),
mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa
kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan
kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah karena mereka
mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya. (QS. Al-A’raf: 146)
Kegiatan-kegiatan rasionalistik ini berkembang terus sejalan dengan semakin
berkembangnya berbagai macam ilmu pengetahuan, pendapat dan ide, sehingga
akhirnya terdapat penulis-penulis tafsir yang mengumpulkan berbagai macam hal
yang tidak berkaitan dengan tafsir itu sendiri.
Ilmu-ilmu bahasa, nahwu dan sharaf dibukukan dan banyak buku filsafat
diterjemahkan. Berbagai buku tentang bermacam-macam madzhab fiqih dan aqidah
juga ditulis orang. Fanatisme kepada madzhab sangat kuat, pada saat itu setiap
kelompok muslim berusaha menyebarluaskan aliran madzhabnya masing-masing dan
berusaha mencari pengikut. Semuanya ini mengakibatkan tercampur aduknya
berbagai macam ilmu pengetahuan berikut pembahasan-pembahasannya masing-masing
dengan tafsir, dan bahkan mendesak tafsir tersebut. Aspek aqli dalam
tafsir mengalahkan aspek naqlinya sehingga ia merupakan bagian yang paling
dominan dalam buku-buku tafsir tersebut. Hanya sebagian kecil saja yang
benar-benar mengemukakan tafsir berdasarkan asbabun-nuzul atau sumber-sumber
tafsir bil ma'tsur.
Akhirnya kita melihat bahwa keahlian seseorang dalam disiplin ilmu tertentu
secara eksplisit lebih mewarnai tafsir yang ditulisnya. Para ahli nahwu lebih
menekankan pada masalah i’rob dan memberikan uraian yang panjang lebar
tentang hal-hal yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu tersebut. Para ahli
sejarah banyak mengemukakan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa sejarah masa
lampau dalam tafsir mereka, tetapi-tambah adz-Dzahabi-mereka sering
mencampuradukkan antara fakta-fakta sejarah dengan dongeng-dongeng yang tidak
masuk akal.
Di antara tafsir yang berorientasi pada filsafat, yang paling terkenal adalah at-TafsirMahir atau
lebih dikenal Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi.
Yang berorientasi pada kesufian, terwakili oleh Gharaibul Qur'an wa
Raghaibul Furqan oleh an-Nisaburi (728/1327) dan Tafsir
al-Qur'an Karim oleh Muhyidin ibn 'Arabi.
Pendek kata setiap ahli dalam bidang kajian tertentu atau pendukung madzhab
tertentu merasa terpanggil untuk menulis tafsir sesuai dengan bidangnya
masing-masing atau untuk mengukuhkan madzhab mereka.
Begitu juga ketika periode ini banyak sekali ulama-ulama yang berusaha
membatasi bidang kajian mereka dalam tafsir ini. Mereka membahas salah satu
aspek tertentu saja dari banyak aspek lainnya, misalnya Ibnu al-Qayyim
dengan aqsamnya, Abu Ubaidah dengan majaznya, Abu Ja’far an-Nuhas dengan nasikh
mansukhnya dan Abu Hasan al-Wahidi dengan asbabun nuzulnya.
Di samping itu banyak sekali ulama-ulama yang mencoba menulis tafsir
tentang aspek-aspek tertentu dari al-Qur’an dan berusaha mengkajinya dengan
cara yang sangat cermat.
Kecenderungan rasionalistik dalam penulisan tafsir ini berkembang terus
dari masa ke masa. Bahkan pada zaman modern sekarang ini dengan anggapan bahwa
hal itu seakan-akan merupakan salah satu aspek dari kumu'jizatan al-Qur'an dan
bukti elastisitasnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Padahal
dalam kenyataannya hal itu justru merupakan penyimpangan yang agak terlalu jauh
dan tidak sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qur'an oleh Allah SWT, bahkan
menyimpang dari tujuan yang dikehendaki.
Berikut kitab-kitab tafsir yang menggunakan ra’yi yang oleh adz Dzahabi termasuk
kategori yang mamduh dan jaiz:
1.
Mafatihul ghaib karangan ar-Razi
2.
Anwarut tanzil wa
asrarut ta’wil karangan Baidlawi
3.
Madarikut tanzil wa
haqaiqut ta’wil karangan Nisfi
4.
Lubabut ta’wil fi
ma’arifit ta’wil karangan Khazin
5.
Al-Bahrul muhith karangan Abu Hayyan
6.
Gharaibul Qur’an wa
raghaibul furqan karangan
Naisaburi
7.
Tafsir jalalain milik Jalaluddin al-Mahalli dan Suyuthi
8.
Assirajul munir fil
i’anati ‘ala ma’rifati ba’dli ma’ani kalami rabbinal hakimil khabir karangan al-Khathib al-syarbini.
9.
Irsyadul ‘aqlis salim
ila mazayal kitabil karim karangan Abi su’ud
10. Ruhul ma’ani fi tafsiril qur’anil ‘adzim was sab’il matsani karangan al-Alusi
Ibnu Jarir dalam tafsirnya mengutip pendapat (sahabat) Ibnu Abbas yang
menyatakan bahwa: "Ada 4 tema pokok dalam tafsir al-Qur'an: yang
dapat dipahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, yang dapat dipahami oleh
orang bodoh, yang dapat dipahami oleh para ulama dan yang hanya diketahui oleh
Allah semata".
Ibnu Taimiyah mencatat, dalam kritiknya yang tajam, bahwa
tafsir-tafsir yang berorientasi pada ideologi seperti itu (tertentu) berasal
dari umat 'yang percaya pada makna-makna tertentu dan berusaha mencari
identitas dirinya dengan mereka yang ada dalam al-Qur'an. Orang-orang itu
memperhatikan makna yang mereka pegang tanpa mempertimbangkan uraian-uraian
yang diharuskan oleh al-Qur'an'.[12]
e) Periode Kelima
Tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan
tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu
Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu
Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan
Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.[13]
D. Manfaat Tadwin Bagi Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT)
Sebegai calon mufasir muslim, kita sebagai Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) perlu menulusuri bagaimana titik awal munculnya suatu
penafsiran-penafsiran dan perkembangan tafsir.
Masa tadwin merupakan suatu masa dimana perkembangan ilmu tafsir mulai
berkembang pesat. Disanalah titik awal adanya penafsiran-penafsiran bahkan
muncul berbagai kitab-kitab tafsir yang terkenal.
Sehubungan dengan haltersebut, peran IAT untuk mengembangkan pengetahuan
seperti apa dan bagaimana ilmu tafsir mulai berkembang. Sehingga ketika melaju
lebih jauh untuk menentukan suatu hukum lebih akurat dan tepat karena tau titik
awal perkembang ilmu,kitab, dan mufasir itu lahir.
E.
Kesimpulan
Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk
memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan al-Qur’an dan isinya
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang
arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami
dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an diperlukan bukan
hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan
yang menyangkut al-Qur’an dan isinya.Sedangkan tadwin adalah kumpulan
kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan
tertentu. Maka tafsir pada masa tadwin adalah suatu tulisan atau catatan untuk
menafsirkan beberapa pengrtian makna dalam al-Qur’an, atau bisa di perjelas
masa dimana tafsir al-Qur’an ditulis, atau dibukukan.
Sejarah pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu :
1. Pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
2.
Pemisahan tafsir dari
hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
3.
Membukukan tafsir
dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan
orangnya.
4.
Pembukuan tafsir banyak
diwarnai dengan buku-buku tarjamahan dari luar Islam.
5. Tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu
sesuai disiplin bidang keilmuan.
Manfaat Tadwin Bagi Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) untuk mengembangkan pengetahuan seperti apa dan
bagaimana ilmu tafsir mulai berkembang. Sehingga ketika melaju lebih jauh untuk
menentukan suatu hukum lebih akurat dan tepat karena tau titik awal perkembang
ilmu,kitab, dan mufasir itu lahir.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon.
Ulumul Al-Qur’an, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007.
------------------ Ilmu
Tafsir, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2005.
Arifin Zainal. Studi Kitab Hadits, Surabaya : Al-Muna, 2010.
Ash Shiddieqy Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972.
Bisri Adib. Kamus
Indonesia Arab, Arab Indonesia, Surabaya, 1999.
Fahri bin Abdurrahman. Usul Tafsir wa manhaj, Kitab Taubat.
Program Pascasarjana STAIN KEDIRI. Pedoman Penulisan Tesisi dan Karya
Ilmiyah Program Pascasarjana, Kediri : Pascasarjana STAIN KEDIRI, 2012.
Ushama Thameem. diterjemahkan oleh Hasan Basri dan Amroeni,Tafsir
Al-Qur’an. Jakarta : Riora Cipta, 2000.
[3] M. Hasbi Ash
Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972), 237.
[4] Fahri bin
Abdurrahman. Usul Tafsir wa manahaju, Maktabah Taubat, 35.
[5] Ibid., 237
[6] Ibid., 36
[7]
http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/sejarah-tafsir-al-quran-pada-periode_7607.html
[9]
http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/sejarah-tafsir-al-quran-pada-periode_7607.html
[11] M. Quraish
Shihab. Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. (Bandung : Mizan Pustaka, 1992), 108-109.
[12]
http://www.zulfanafdhilla.com/2013/10/sejarah-tafsir-al-quran-pada-periode_7607.html
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapus