INTEGRASI ILMU
INTERPRETASI DAN MODEL
A.
Pendahuluan
Filsafat adalah
suatu bidang ilmu, yang mana bila kita mengetahui susuatu harus tau kedalam
akar-akarnya (menyeluruh). Pada abad ke-20, negara dikawasan Asia, terutama
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup berat, dan indonesia kemudian
meluas menjadi krisis politik, pendidikan, sosial dan budaya. Memasuki milinium
ke tiga negara kita juga mengalami suatu proses transisi menuju terbentuknya
masyarakat madani yang lebih demokratis yang menjunjung tinggi hak-hak manusia.
Penerapan nilai-nilai universal yang diakaui oleh masyarakat global merupakan
salah satu prasyarat untuk dapat bersaing dalam masyarakat dunia yang semakin
hari terasa semakin sempit.
Kondisi seperti
itu lebih disemerawutkan dengan terpuruknya bidang wacana keilmuan yang terjadi
di negara kita. Di saat ilmu diharapkan mampu menjawab semua tantangan
perkembangan zaman, yang terjadi malah dikotomisasinya ilmu. Ketika ilmu agama
disendirikan dipisahkan dari ilmu umum menjadi suatu ketimpangan, yang mana
pada kenyataannya mempunyai keterkaitan
yang nyatanya tidak bisa dipisahkan karena eksistensi yang saling
keterkaitan.
Berangkat dari
sebuah asumsi bahwa kajian agama dinilai tidak ilmiah oleh saintis, dan agama
sendiri sering memandang ilmu sebagai kebenaran.[1]
Maka penulis merumuskan kegelisahan tersebut dalam sebuah makalah, yang
merumuskan diantaranya : Integrasi Ilmu : Interpretasi dan modal.
B.
Integrasi Ilmu
Secara
etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu dari
kata integrate, integratiaon yang
kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti
menyatu padukan, penggabungan,[2] atau
penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh pemaduan.[3]
Adapun secara
terminilogis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah
menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang
bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersipat umum.
Salah satu contohnya
dalam pengembangan struktur keilmuan yang dilakukan di lingkungan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, pola struktur ke ilmuannya disusun dalam bentuk “jaring
laba-laba ilmu”, dan “segi tiga ilmu”. Di mana keduanya mengimplementasikan
pendekatan integratif-interkoneksitas. “Jaring laba-laba ilmu” merupakan
pembidangan ilmu dengan lapisan inti tauhid yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan
Hadis. Atas dasar itu kemudian dikembangkan ilmu-ilmu keagamaan seperti Tafsir,
Hadis, Fiqih, Tasawuf, Ilmu Kalam dan lain-lain. Pada lapisan berikutnya
dikembangkan ilmu-ilmu umum atau modern seperti Sejarah, Filsafat, Psikologi,
Sosiologi dan lain-lain. Adapun pada lapisan berikutnya dikembangkan ilmu-ilmu
kontemporer dan kajian terhadap isu-isu aktual yang berkembang belakangan ini,
seperti masalah jender, lingkungan, HAM, hubungan internasional dan lain-lain.[4]
Konsep integrasi ilmu
di implementasikan dalam berbagai level, yaitu :
1. Level
Filosofis
Integrasi dan
interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa didalamnya
harus diberikan nilai fundamental eksistensi dalam kaitannya dengan disiplin
keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqih
misalnya, disamping makna fundamentalnya sebagai filosof membangun hubungan
antara manusia, alam dan tuhan dalam ajaran Islam, dalam kajian fiqih harus
disinggung pula bahwa eksistensi fiqih tidaklah berdiri sendiri, melainkan
berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap disiplin keilmuan
lainnya seperti, Sosiologi, Psikologi, dan lain sebagainya.
Pada level filosofis
dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensi suatu disiplin ilmu
selalu bergantung kepada disiplin ilmu lannya termasuk didalamnya agama dan
budaya.
2. Level
Materi
Implementasi integrasi
dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model,
antara lain :
Pertama, model pengintegrasian kedalam paket
kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga penyelenggaraan pendidikan.
Keduan,
model penamaan disiplin ilmu yang menunjukan hubungan antara disiplin ilmu umum
dan keislaman. Model ini menurut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam,
seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Sastra Islam, Pendidikan
Islam, Filsafat Islam, dan lain sebagai refleksi dari suatu integrasi
keilmuan yang dilakukan.
Ketiga, model pengintegrasian kedalam pengajaran
disiplin ilmu. Model ini menuntut kedalam pengajaran disiplin ilmu ke Islaman dan
keagamaan harus di injeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas
antara budaya, dan begitupun sebaliknya.
3. Level
Metodologi
Dalam konteks struktur
keilmuan lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh
pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu di integrasikan atau di interkoneksikan
dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologis dengan nilai-nilai Islam, maka
secara metodogis ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan
metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis
yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman, di
anggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung anti bias anti
agama seperti psikonalisis.
4. Level
Strategi
Level Strategi Adalah level
pelaksanaan atau praktis dari proses pembelajaran ke ilmuan integratif-interkonektif.
Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan pengajar
menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma interkoneksitas.[5]
C. Intrepretasi
Interpretasi atau penafsiran adalah
proses komunikasi
melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat
menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi
simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut
definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan.
Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dan lain-lain) cukup jelas maknanya,
objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi
sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau
hasilnya.
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari
suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan
dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan,
tulisan, gambar, matematika, atau
berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir
baik secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek
dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang
lebih luas.
Tujuan interpretasi biasanya adalah
untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang-kadang seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat
kebingungan.[6]
D.
Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-Ilmu
Umum
Maraknya kajian
dan pemikiran integrasi ke ilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang
santer di dengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib
Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[7],
tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi
keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu pengetahuan
Barat yang tengah mengalami krisisidentitas inilah yang kemudian memberikan
kesadaran baru kepada umat Islam untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi
ke ilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut.
Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki
ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta
merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli
dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu.[8]
Dengan demikian,
gagasan integrasi ke ilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran
al-Qur’an dan Hadist. Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan
Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang
menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional
yang lebih banyak memuat pelajaran umum.[9]
Tidak beda jauh
dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi
ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam. Setidaknya
ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini. Pertama, akar keilmuan yang
berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua, modernisasi dan Islamisasi
ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan
terciptanya integralis medan integrasi keilmuan
Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Berbagai dikotomi
antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan
dengan pendekatan modernisasi sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti
Ali dan Harun Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan
pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan),
yakni dengan pendekatan purifikasi atau penyucian.
Dikotomi keilmuan
sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam ini sudah berlangsung sejak
abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran
Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena
adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19,
diman anegara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan
Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Dikotomi ini pada kelanjutannya,
berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.MenurutI khrom[10] setidaknya
ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam
sistem pendidikan Islam; dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan
madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh
fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka;
sementara itumodernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan
umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan madrasah
sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut. Kedua, munculnya kesenjanganan tarasistem pendidikan
Islam dan ajaran Islam.
D. Model-model
Integrasi Ilmu
1) Model IFIAS
Model integrasi
keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes of Advance Study)
muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang "Knowledge and Values",
yang diselenggarakan di Stickholm pada September 1984.[11]
Model yang dihasilkan dalam seminar itu dirumuskan dalam gambar sekama
berikut ini: Gambar 1: Model Integrasi Keilmuan IFIAS.
|
|
Nilai-nilai Positif
Nilai-nilai Positif
Skema di atas
kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: Iman kepada Sang Pencipta
membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka
bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas
Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan
sains.
Keduanya tunduk
pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Karena sains menggambarkan dan
rnenjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas ia dipergunakan untuk
mengingatkan akan keterbatasan dan kelemahan kapasitas manusia.
Al-Qur’an juga
mengingatkan kita agar sadar pada keterbatasan kita sebelum terpesona oleh
keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah.[12]
2) Model
Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)
Model yang
dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) muncul pertama kali pada
Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang penting dalam kegiatan integrasi
keilmuan Islam di Malaysia karena untuk pertamanya, para ilmuwan Muslim di
Malaysia bergabung untuk, antara lain, menghidupkan tradisi keilmuan yang
berdasarkan pada ajaran Kitab suci al-Qur’an. Tradisi keilmuan yang dikembangkan
melalui model ASAI ini pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip
Islam.
Model ASASI
ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam
kegiatan penelitian ilmiah, menggalakkan kajian keilmuan di kalangan
masyarakat, dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dan petunjuk
serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita untuk
mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa al-Qur’an, kepada kedudukannya yang
hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan berusaha
menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat Islam dalam
bidang sains dan teknologi.[13]
3) Model Islamic
Worldview
Model ini
berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam (Islamic worldview)
merupakan dasar bagi epistemoligi keilmuan Islam secara menyeluruh dan integral.
Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan model
ini adalah Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada Fatih University, Istanbul
Turki. Ia mengembangkan empat pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif
keilmuan Islam, yaitu: (1) iman sebagai dasar struktur dunia (world structure,
îmân); (2) ilmu sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure,
al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value structure,
al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human structure,
khalîfah).[14]
4) Model
Struktur Pengetahuan Islam
Model Struktur
Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai tulisan Osman Bakar, Professor
of Philosophy of Science pada University of Malaya. Dalam mengembangkan
model ini, Osman Bakar berangkat dari kenyataan bahwa ilmu secara sistematik
telah diorganisasikan dalam berbagai disiplin akademik. Bagi Osman Bakar,
membangun SPI sebagai bagian dari upaya mengembangkan hubungan yang
komprehensif antara ilmu dan agama, hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui
kenyataan bahwa pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah diorganisasikan dan dibagi ke dalam sejumlah
disiplin akademik.
Osman Bakar
mengembangkan empat komponen yang ia sebut sebagai struktur pengetahuan
teoretis (the theoretical structure of science). Keempat stryktur pengetahuan
itu adalah: (1) komponen pertama berkenaan dengan apa yang disebut dengan
subjek dan objek matter ilmu yang membangun tubuh pengetahuan dalam bentuk
konsep (concepts), fakta (facts, data), teori (theories),
dan hukum atau kaidah ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada
padanya; (2) komponen kedua terdiri dari premis-premis dan asumsi-asumsi dasar
yang menjadi dasar epistemologi keilmuan; (3) komponen ketiga berkenaan dengan
metode-metode pengembangan ilmu; dan (4) komponen terakhir berkenaan dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu.[15]
5) Model
Bucaillisme
Model ini
menggunakan nama salah seorang ahlki medis Perancis, Maurice.Bucaille, yang
pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu buku yang berjudul "La Bible, le Coran et
la Science”, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[16]
Model ini bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Qur’an.
Model ini banyak mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin
tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap al-Qur’an sesuai
dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Alquran juga bisa
berubah. Model ini di kalangan ilmuwan Muslim Malaysia biasa disebut dengan
"Model Remeh"[17]
karena sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan penemuan dan
teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan abadi al-Qur’an. Penemuan
dan teori sains Barat berubah-ubah mengikut perubahan paradigma, contohnya dari
paradigma klasik Newton yang kemudian berubah menjadi paradigma quantum
Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat kritik tajam
karena, apabila Ayat al-Qur’an dinyatakan sebagai bukti kebenaran suatu teori
dan teori tersebut mengalami perubahan, maka kewibawaan al-Qur’an akan rusak
karena membuktikan teori yang salah mengikuti paradigma baru ini.
6) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
Model Integrasi
Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali warisan filsafat Islam
klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam gagasan model ini adalah Seyyed
Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr pemikir Muslim klasik berusaha
memasukkan Tawhîd ke dalam skema teori mereka.[18]
Prinsip Tawhîd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip kesatuan
alam tabi'i (thabî’ah)1. Para pendukung model ini juga yakin bahwa
alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan
kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenarbenarnya,dan alam
tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed
Hossein Nasr, ilmuwan Islam moden hendaklah mengimbangi dua pandangan tanzîh
dan tasybîh untuk mencapai tujuan integrasi keilmuan ke-Islaman.
7) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh
Model ini
digagas oleh Al-marhum Ismail Raji al-Faruqi[19].
Pada tahun 1982 ia menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge:
General Principles and Work Plan diterbitkan oleh International
Institute of Islamic Thought, Washinton. Menjadikan Al-Faruqi
sebagai penggagas model integrasi keilmuan berbasis fiqh memang tidak mudah,
lebih-lebih karena ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan
perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi keilmuan Islam Al-Faruqi tidak berakar pada
tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan oleh Al-Biruni, Ibnu Sina,
Al-Farabi dan lain, melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqih dalam
menjadikan al-Qur’an dan Assunnah sebagai puncak kebenaran.[20]
8) Model
Kelompok Ijmali (Ijmali Group)
Menurut
Ziauddin Sardar tujuan sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi
melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim berdasarkan
etos Islam yang digali dari al-Qur’an. Sardar yakin bahwa sains adalah sarat
nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam suasana
pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep paradigma
ilmu Thomas Kuhn[21].
Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan zulm sebagai kriterium
untuk menentukan bidang sains yang perlu dikaji dan dilaksanakan.[22]
9) Model
Kelompok Aligargh (Aligargh Group)
Model ini
dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok Aligargh University,
India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains Islam berkembang
dalam suasana ‘ilm dan tasykir untuk menghasilkan gabungan ilmu
dan etika. Pendek kata, sains Islam adalah sekaligus sains dan etika. Zaki
Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu dan
taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan konsep
paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makroparadigma
mutlak, mikroparadigma mutlak, dan paradigma bayangan.
E. Integrasi Ilmu dan Agama
Ada dua pendapat yang
ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama,
psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu ilmiah,
sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar.[23] Kedua
Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains.
Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka psikologi Islam harus
menggunakan metode yang beragama dan tidak terpaku pada ilmiah saja.[24]
Ketika kita
membicarakan metodologi psikologi islam, ada dua hal yang penting yang harus
diperhatikan. Pertama, masalah yang bersifat konseptual, kedua, masalah yang
bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistimologi, dan
ontologi. Sedangkan masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam
psikologi islam itu sendiri.
Dalam konsep Islam, aksiologi merupakan
pandangan hidup yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi
fakta.dalam pandangan islam ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran
wahyu. Secara aksiologi psikologi islam bersumber dari al-Qur’an yang berbunyi
:
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) ylÌ÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ
Alif,
laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan
izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha
Terpuji. (QS. Ibrahim [14] : 1)
Dengan
ayat diatas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma
agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dari keyakinan maupun aksinya dalam
konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untik sains, namun menghendaki
terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi
psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahtraan
bagi seluruh umat (rahmatan lil al’amin).
Secara
epistimologi, metodologi Psikologi islam merupakan jalan untuk mencari
kebenaran perihal stubstansi yang ingin diungkapkan,[25]
maka dasar epistimologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa psikologi islam adalah ilmu yang berintegrasi dengan pola
pendekatan disiplin ilmu ke Islaman lannya, ia memiliki kekhasan tersendiri
secara paradigma maupun epistimologi. Ketidak samaannya dengan metodologi
ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya
dengan berpedoman kepada paradigma dan epistimologi sendiri.
Adapun
ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami
manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma
seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan.
Dengan patokan, sejauhmana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi,
bukan hanya gejala.
F. Manfaat Intergasi Bagi Jurusan IAT (Ilmu Agama Dan
Tafsir)
Jurusan IAT (Ilmu Agama dan
Tafsir) adalah suatu jurusan yang dilandasi dengan al-Qur’an dan tafsir yang
mana mengedepankan ilmu-ilmu Agama dan menyampingkan ilmu-pengetahuan umum yang
alainnya. Namun ketika adanya pembahasan Integrasi, Interpetasi dan model ini,
merubah paradigma kita yang biasanya mengkotomi ilmu pengetahuan
(memilah-milah), jadi tidak. Karena pada hakikatnya segala macam cabang ilmu
seluruhnya mempunyai keterkaitan dan berujung kepada titik yang satu,
yaitu tauhidullah, Allah selalu menyeru kepada manusia untuk
mempelajarai segala fenomena alam dan objek ilmu agar manusia dapat merenungi
akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Serta mengenal-Nya lebih dekat.
Sebagaimana firman Allah pada Surah Al-Mujadalah 58/11) :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
“Allah
akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
berilmu pengetahuan beberapa derajat”(Q.S.Al-Mujadalah 58/11)
Pada ayat di atas sudah jelah pada dasarnya
integrasi itu sudah di perintahkan dan di anjurkan selain iman yang menjadi
titik utama, tapi ilmu pengetahuan yang lainnya sebagai jembatan syariat untuk
kita lebih beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
G.
Kesimpulan
Integrasi
ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu,
dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu
yang bersipat umum.
Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat
menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi
simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan).
Model-model
Integrasi Ilmu diantaranya :
1) Model IFIAS
2) Model
Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)
3) Model Islamic
Worldview
4) Model
Struktur Pengetahuan Islam
5) Model
Bucaillisme
6) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
7) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf
8) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh
9) Model
Kelompok Ijmali (Ijmali Group)
10) Model
Kelompok Aligargh (Aligargh Group)
Integrasi
Ilmu dan Agama bahwa Islam
meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik
dari keyakinan maupun aksinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan.
Daftar Pustaka
Acikgenc
Alparslan, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam &
Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number
1, hal. 102
Bastaman
Djumhana Hanna. Integrasi Psikologi Dengan Islam : Menuju Psikologi Islam
(Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996)
M.
Echlos John dan Shadily Hassan, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2003)
A. Partanto Pius dan Al-Barry M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer
(Surabaya : Arkola, 1994)
Maurice, Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan
oleh A. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Butt Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah,
Bandung, 1996
Bakar Osman, Reformulating a Comprehensive Relationship Between
Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science: Journal
of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 33.
Nawawi
Syauqi Rif’at, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta : Perpustakaan
Pelajar, 2000)
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, Pemelayuan,
Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar Sains
Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999, hal. 15-16
Makalah Husni Thoyyar. Pdf-Adobe Reader
http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi
[1] M. Yusuf dan
Mustofa, Mengukir Prestasi Dijalur Khusus (Yogyakarta : Pendi Pontren
Depag R.I. 2007), 39
[2] John M. Echlos
dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2003), 326
[3] Pius A.
Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya :
Arkola, 1994), 264
[4] Abd. Rachman
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2014), 274
[5] Hanna Djumhana
Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta
: Yayasan Insani Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), 9
[6]
http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi
[7] Syed Mohd.
Naquib al-Attas .1984, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar
Bagir, Bandung: Mizan), 9-12
[8]Osman
Bakar, Osman .1998. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu,
(Bandung: Mizan), hal 61-62.
[9]Arief,
Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I (Jakarta: CRSD Press, 2005), 3
[10]
Yusuf al-Qardhawi. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal Hadharah”
diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 87-89
[12]
Dalam al-Qur’an surat Yasin [36]:77-83, Allah Swt berfirman:
Dan
apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air
(mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan dia membuat
perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa
kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan
dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha
Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari
kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." Dan
tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan
kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan
Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila
Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka
terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala
sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
[13]
Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, Pemelayuan,
Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar Sains
Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999, hal. 15-16
[14]
Alparslan Acikgenc, Holisitic
Approach to Scientific Traditions, Islam
& Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1,
Juni 2003, Number 1, hal. 102
[15]
Osman Bakar, Reformulating
a Comprehensive Relationship Between Religion and Science: An Islamic
Perspective, Islam & Science: Journal of Islamic
Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 33.
[16]
Maurice.Bucaille, Bibel
Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi, Bulan
Bintang, Jakarta, 1992.
[19]
Seorang sarjana Palestina-Amerika yang masyhur sebagai ahli
Perbandingan Agama. Ia pernah mengajar di Al-Azhar, Islamic Studies McGill
University, juga sebagai profesor filsafat agama pada Temple Universiaty.
Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Ismail_al-Faruqi.html
[21] Makalah Husni
Thoyyar.pdf-Adobe Reader
[22]
Ibid
[23] Menurut
pendapat ini tidak ada sains tanpa metode, bahkan sains ini sendiri adalah
metode
[24] Hanna Djumhana
Bastaman. Integrasi Psikologi Dengan Islam : Menuju Psikologi Islam
(Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), 9.
[25] Rif’at Syauqi
Nawawi, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta : Perpustakaan Pelajar,
2000) 106-107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar