Minggu, 10 Mei 2015

INTEGRASI ILMU INTERPRETASI DAN MODEL

INTEGRASI ILMU
INTERPRETASI DAN MODEL

A.  Pendahuluan
Filsafat adalah suatu bidang ilmu, yang mana bila kita mengetahui susuatu harus tau kedalam akar-akarnya (menyeluruh). Pada abad ke-20, negara dikawasan Asia, terutama Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup berat, dan indonesia kemudian meluas menjadi krisis politik, pendidikan, sosial dan budaya. Memasuki milinium ke tiga negara kita juga mengalami suatu proses transisi menuju terbentuknya masyarakat madani yang lebih demokratis yang menjunjung tinggi hak-hak manusia. Penerapan nilai-nilai universal yang diakaui oleh masyarakat global merupakan salah satu prasyarat untuk dapat bersaing dalam masyarakat dunia yang semakin hari terasa semakin sempit.
Kondisi seperti itu lebih disemerawutkan dengan terpuruknya bidang wacana keilmuan yang terjadi di negara kita. Di saat ilmu diharapkan mampu menjawab semua tantangan perkembangan zaman, yang terjadi malah dikotomisasinya ilmu. Ketika ilmu agama disendirikan dipisahkan dari ilmu umum menjadi suatu ketimpangan, yang mana pada kenyataannya mempunyai keterkaitan  yang nyatanya tidak bisa dipisahkan karena eksistensi yang saling keterkaitan.
Berangkat dari sebuah asumsi bahwa kajian agama dinilai tidak ilmiah oleh saintis, dan agama sendiri sering memandang ilmu sebagai kebenaran.[1] Maka penulis merumuskan kegelisahan tersebut dalam sebuah makalah, yang merumuskan diantaranya : Integrasi Ilmu : Interpretasi dan modal.

B.  Integrasi  Ilmu
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa inggris yaitu dari kata integrate, integratiaon yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu padukan, penggabungan,[2] atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh pemaduan.[3]
Adapun secara terminilogis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersipat umum.
Salah satu contohnya dalam pengembangan struktur keilmuan yang dilakukan di lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pola struktur ke ilmuannya disusun dalam bentuk “jaring laba-laba ilmu”, dan “segi tiga ilmu”. Di mana keduanya mengimplementasikan pendekatan integratif-interkoneksitas. “Jaring laba-laba ilmu” merupakan pembidangan ilmu dengan lapisan inti tauhid yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis. Atas dasar itu kemudian dikembangkan ilmu-ilmu keagamaan seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Tasawuf, Ilmu Kalam dan lain-lain. Pada lapisan berikutnya dikembangkan ilmu-ilmu umum atau modern seperti Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi dan lain-lain. Adapun pada lapisan berikutnya dikembangkan ilmu-ilmu kontemporer dan kajian terhadap isu-isu aktual yang berkembang belakangan ini, seperti masalah jender, lingkungan, HAM, hubungan internasional dan lain-lain.[4]    
Konsep integrasi ilmu di implementasikan dalam berbagai level, yaitu :
1.    Level Filosofis
Integrasi dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa didalamnya harus diberikan nilai fundamental eksistensi dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqih misalnya, disamping makna fundamentalnya sebagai filosof membangun hubungan antara manusia, alam dan tuhan dalam ajaran Islam, dalam kajian fiqih harus disinggung pula bahwa eksistensi fiqih tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap disiplin keilmuan lainnya seperti, Sosiologi, Psikologi, dan lain sebagainya.
Pada level filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensi suatu disiplin ilmu selalu bergantung kepada disiplin ilmu lannya termasuk didalamnya agama dan budaya.


2.    Level Materi
Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model, antara lain :
Pertama, model pengintegrasian kedalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga penyelenggaraan pendidikan.
Keduan, model penamaan disiplin ilmu yang menunjukan hubungan antara disiplin ilmu umum dan keislaman. Model ini menurut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam, seperti Ekonomi Islam, Sosiologi Islam, Antropologi Islam, Sastra Islam, Pendidikan Islam, Filsafat Islam, dan lain sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.
Ketiga, model pengintegrasian kedalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut kedalam pengajaran disiplin ilmu ke Islaman dan keagamaan harus di injeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara budaya, dan begitupun sebaliknya.
3.    Level Metodologi
Dalam konteks struktur keilmuan lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu di integrasikan atau di interkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologis dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodogis ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman, di anggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung anti bias anti agama seperti psikonalisis.
4.    Level Strategi
Level Strategi Adalah level pelaksanaan atau praktis dari proses pembelajaran ke ilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma interkoneksitas.[5]

C.  Intrepretasi
Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dan lain-lain) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.
Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang-kadang seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan.[6]

D.  Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-Ilmu Umum
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi ke ilmuan (Islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer di dengungkan oleh kalangan intelektual muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[7], tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem ilmu pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisisidentitas inilah yang kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat Islam untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi ke ilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu.[8]    
Dengan demikian, gagasan integrasi ke ilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist. Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang lebih banyak memuat pelajaran umum.[9]
Tidak beda jauh dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam. Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini. Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralis medan integrasi keilmuan  Islam dan umum, sampai kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan), yakni dengan pendekatan purifikasi atau penyucian.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, diman anegara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan peradabannya. Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan Islam.MenurutI khrom[10] setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka; sementara itumodernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.  Kedua, munculnya kesenjanganan tarasistem pendidikan Islam dan ajaran Islam.

D. Model-model Integrasi Ilmu
1) Model IFIAS
Model integrasi keilmuan IFIAS (International Federation of Institutes of Advance Study) muncul pertama kali dalam sebuah seminar tentang "Knowledge and Values", yang diselenggarakan di Stickholm pada September 1984.[11] Model yang dihasilkan dalam seminar itu dirumuskan dalam gambar sekama berikut ini: Gambar 1: Model Integrasi Keilmuan IFIAS.
 




       llmu Pengetahuan
 
Ililllmu Pengetahuan
 
Nilai-nilai Positif                                                                             Nilai-nilai Positif
 





Skema di atas kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: Iman kepada Sang Pencipta membuat ilmuwan Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains.
Keduanya tunduk pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Karena sains menggambarkan dan rnenjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas ia dipergunakan untuk mengingatkan akan keterbatasan dan kelemahan kapasitas manusia.
Al-Qur’an juga mengingatkan kita agar sadar pada keterbatasan kita sebelum terpesona oleh keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah.[12]
2) Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)
Model yang dikembangkan oleh Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI) muncul pertama kali pada Mei 1977 dan merupakan satu usaha yang penting dalam kegiatan integrasi keilmuan Islam di Malaysia karena untuk pertamanya, para ilmuwan Muslim di Malaysia bergabung untuk, antara lain, menghidupkan tradisi keilmuan yang berdasarkan pada ajaran Kitab suci al-Qur’an. Tradisi keilmuan yang dikembangkan melalui model ASAI ini pandangan bahwa ilmu tidak terpisah dari prinsip-prinsip Islam.
Model ASASI ingin mendukung dan mendorong pelibatan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kegiatan penelitian ilmiah, menggalakkan kajian keilmuan di kalangan masyarakat, dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dan petunjuk serta rujukan dalam kegiatan-kegiatan keilmuan. ASASI mendukung cita-cita untuk mengembalikan bahasa Arab, selaku bahasa al-Qur’an, kepada kedudukannya yang hak dan asli sebagai bahasa ilmu bagi seluruh Dunia Islam, dan berusaha menyatukan ilmuwan-ilmuwan Muslim ke arah memajukan masyarakat Islam dalam bidang sains dan teknologi.[13]
3) Model Islamic Worldview
Model ini berangkat dari pandangan bahwa pandangan dunia Islam (Islamic worldview) merupakan dasar bagi epistemoligi keilmuan Islam secara menyeluruh dan integral. Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan model ini adalah Alparslan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada Fatih University, Istanbul Turki. Ia mengembangkan empat pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman sebagai dasar struktur dunia (world structure, îmân); (2) ilmu sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai (value structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai  struktur manusia (human structure, khalîfah).[14]

4) Model Struktur Pengetahuan Islam
Model Struktur Pengetahuan Islam (SPI) banyak dibahas dalam berbagai tulisan Osman Bakar, Professor of Philosophy of Science pada University of Malaya. Dalam mengembangkan model ini, Osman Bakar berangkat dari kenyataan bahwa ilmu secara sistematik telah diorganisasikan dalam berbagai disiplin akademik. Bagi Osman Bakar, membangun SPI sebagai bagian dari upaya mengembangkan hubungan yang komprehensif antara ilmu dan agama, hanya mungkin dilakukan jika umat Islam mengakui kenyataan bahwa pengetahuan (knowledge) secara sistematik telah  diorganisasikan dan dibagi ke dalam sejumlah disiplin akademik.
Osman Bakar mengembangkan empat komponen yang ia sebut sebagai struktur pengetahuan teoretis (the theoretical structure of science). Keempat stryktur pengetahuan itu adalah: (1) komponen pertama berkenaan dengan apa yang disebut dengan subjek dan objek matter ilmu yang membangun tubuh pengetahuan dalam bentuk konsep (concepts), fakta (facts, data), teori (theories), dan hukum atau kaidah ilmu (laws), serta hubungan logis yang ada padanya; (2) komponen kedua terdiri dari premis-premis dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi dasar epistemologi keilmuan; (3) komponen ketiga berkenaan dengan metode-metode pengembangan ilmu; dan (4) komponen terakhir berkenaan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh ilmu.[15]
5) Model Bucaillisme
Model ini menggunakan nama salah seorang ahlki medis Perancis, Maurice.Bucaille, yang pernah menggegerkan dunia Islam ketika menulis suatu buku  yang berjudul "La Bible, le Coran et la Science”, yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.[16] Model ini bertujuan mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat al-Qur’an. Model ini banyak mendapat kritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap al-Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Alquran juga bisa berubah. Model ini di kalangan ilmuwan Muslim Malaysia biasa disebut dengan "Model Remeh"[17] karena sama sekali tidak mengindahkan sifat kenisbian dan kefanaan penemuan dan teori sains Barat dibanding dengan sifat mutlak dan abadi al-Qur’an. Penemuan dan teori sains Barat berubah-ubah mengikut perubahan paradigma, contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian berubah menjadi paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein. Model ini mendapat kritik tajam karena, apabila Ayat al-Qur’an dinyatakan sebagai bukti kebenaran suatu teori dan teori tersebut mengalami perubahan, maka kewibawaan al-Qur’an akan rusak karena membuktikan teori yang salah mengikuti paradigma baru ini.
6) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik berusaha menggali warisan filsafat Islam klasik. Salah seorang sarjana yang berpengaruh dalam gagasan model ini adalah Seyyed Hossein Nasr. Menurut Seyyed Hossein Nasr pemikir Muslim klasik berusaha memasukkan Tawhîd ke dalam skema teori mereka.[18] Prinsip Tawhîd, yaitu Kesatuan Tuhan dijadikan sebagai prinsip kesatuan alam tabi'i (thabî’ah)1. Para pendukung model ini juga yakin bahwa alam tabi'i hanyalah merupakan tanda atau ayat bagi adanya wujud dan kebenaran yang mutlak. Hanya Allah-lah Kebenaran sebenarbenarnya,dan alam tabi'i ini hanyalah merupakan wilayah kebenaran terbawah. Bagi Seyyed Hossein Nasr, ilmuwan Islam moden hendaklah mengimbangi dua pandangan tanzîh dan tasybîh untuk mencapai tujuan integrasi keilmuan ke-Islaman.
7) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh
Model ini digagas oleh Al-marhum Ismail Raji al-Faruqi[19]. Pada tahun 1982 ia menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, Washinton. Menjadikan Al-Faruqi sebagai penggagas model integrasi keilmuan berbasis fiqh memang tidak mudah, lebih-lebih karena ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Masalahnya pemikiran integrasi  keilmuan Islam Al-Faruqi tidak berakar pada tradisi sains Islam yang pernah dikembangkan oleh Al-Biruni, Ibnu Sina, Al-Farabi dan lain, melainkan berangkat dari pemikiran ulama fiqih dalam menjadikan al-Qur’an dan Assunnah sebagai puncak kebenaran.[20]
8) Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)
Menurut Ziauddin Sardar tujuan sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim berdasarkan etos Islam yang digali dari al-Qur’an. Sardar yakin bahwa sains adalah sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam suasana pemikiran atau paradigma tertentu. Pandangan ini mengikuti konsep paradigma ilmu Thomas Kuhn[21]. Sardar juga menggunakan konsep ‘adl dan zulm sebagai kriterium untuk menentukan bidang sains yang perlu dikaji dan dilaksanakan.[22]
9) Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)
Model ini dipelopori oleh Zaki Kirmani yang memimpin Kelompok Aligargh University, India. Model Kelompok Aligargh menyatakan bahwa sains Islam berkembang dalam suasana ‘ilm dan tasykir untuk menghasilkan gabungan ilmu dan etika. Pendek kata, sains Islam adalah sekaligus sains dan etika. Zaki Kirmani menetapkan model penelitian yang berdasarkan berdasarkan wahyu dan taqwa. Ia juga mengembangkan struktur sains Islam dengan menggunakan konsep paradigma Thomas Kuhn. Kirmani kemudian menggagas makroparadigma mutlak, mikroparadigma mutlak, dan paradigma bayangan.

E.  Integrasi Ilmu dan Agama
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu ilmiah, sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar.[23] Kedua Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragama dan tidak terpaku pada ilmiah saja.[24]
Ketika kita membicarakan metodologi psikologi islam, ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan. Pertama, masalah yang bersifat konseptual, kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistimologi, dan ontologi. Sedangkan masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam psikologi islam itu sendiri.
 Dalam konsep Islam, aksiologi merupakan pandangan hidup yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta.dalam pandangan islam ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi psikologi islam bersumber dari al-Qur’an yang berbunyi :
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) yl̍÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î) ÍqY9$# ÈbøŒÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ̓Íyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ  
Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim [14] : 1)

Dengan ayat diatas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dari keyakinan maupun aksinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untik sains, namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahtraan bagi seluruh umat (rahmatan lil al’amin).
Secara epistimologi, metodologi Psikologi islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal stubstansi yang ingin diungkapkan,[25] maka dasar epistimologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi. Perlu diingat bahwa psikologi islam adalah ilmu yang berintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu ke Islaman lannya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistimologi. Ketidak samaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistimologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauhmana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.

F.   Manfaat Intergasi Bagi Jurusan IAT (Ilmu Agama Dan Tafsir)
Jurusan IAT (Ilmu Agama dan Tafsir) adalah suatu jurusan yang dilandasi dengan al-Qur’an dan tafsir yang mana mengedepankan ilmu-ilmu Agama dan menyampingkan ilmu-pengetahuan umum yang alainnya. Namun ketika adanya pembahasan Integrasi, Interpetasi dan model ini, merubah paradigma kita yang biasanya mengkotomi ilmu pengetahuan (memilah-milah), jadi tidak. Karena pada hakikatnya segala macam cabang ilmu seluruhnya mempunyai keterkaitan dan berujung kepada titik yang satu, yaitu tauhidullah, Allah selalu menyeru kepada manusia untuk mempelajarai segala fenomena alam dan objek ilmu agar manusia dapat merenungi akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Serta mengenal-Nya lebih dekat.
Sebagaimana firman Allah pada Surah Al-Mujadalah 58/11) :


$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  

Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat”(Q.S.Al-Mujadalah 58/11)
Pada ayat di atas sudah jelah pada dasarnya integrasi itu sudah di perintahkan dan di anjurkan selain iman yang menjadi titik utama, tapi ilmu pengetahuan yang lainnya sebagai jembatan syariat untuk kita lebih beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.











G. Kesimpulan
Integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersipat umum.
Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan).
Model-model Integrasi Ilmu diantaranya :
1) Model IFIAS
2) Model Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI)
3) Model Islamic Worldview
4) Model Struktur Pengetahuan Islam
5) Model Bucaillisme
6) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik
7) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf
8) Model Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh
9) Model Kelompok Ijmali (Ijmali Group)
10) Model Kelompok Aligargh (Aligargh Group)
Integrasi Ilmu dan Agama bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dari keyakinan maupun aksinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan.

Daftar Pustaka

Acikgenc Alparslan, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 102

Bastaman Djumhana Hanna. Integrasi Psikologi Dengan Islam : Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996)

M. Echlos John dan Shadily Hassan, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003)

A. Partanto Pius dan Al-Barry M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya : Arkola, 1994)

Maurice, Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.

Butt Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
Bakar Osman, Reformulating a Comprehensive Relationship Between Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 33.

Nawawi Syauqi Rif’at, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta : Perpustakaan Pelajar, 2000)

Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar Sains Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999, hal. 15-16

Makalah Husni Thoyyar. Pdf-Adobe Reader
http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi




[1] M. Yusuf dan Mustofa, Mengukir Prestasi Dijalur Khusus (Yogyakarta : Pendi Pontren Depag R.I. 2007), 39
[2] John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), 326
[3] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya : Arkola, 1994), 264
[4] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 274
[5] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta : Yayasan Insani Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), 9

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi
[7] Syed Mohd. Naquib al-Attas .1984, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan), 9-12
[8]Osman Bakar, Osman .1998. Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung: Mizan), hal 61-62.
[9]Arief, Armai. Reformasi Pendiidkan Islam, Cet. I (Jakarta: CRSD Press, 2005), 3
[10] Yusuf al-Qardhawi. ”Al-Sunnah Masdaran li al-Ma’rifahwal Hadharah” diterjemahkan oleh Abad Badruzzaman, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 87-89

[11] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Pustaka Hidayah, Bandung, 1996), 59.
[12] Dalam al-Qur’an surat Yasin [36]:77-83, Allah Swt berfirman:
Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa  kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
[13] Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, Pemelayuan, Pemalaysiaan dan Pengislaman Ilmu Sains dan Teknologi dalam Konteks Dasar Sains Negara, Jurnal Kesturi, No. 1. 1999, hal. 15-16
[14] Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 102
[15] Osman Bakar, Reformulating a Comprehensive Relationship Between Religion and Science: An Islamic Perspective, Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 33.
[16] Maurice.Bucaille, Bibel Qur'an dan Sains, diterjemahkan oleh A. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
[17] Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, op-cit, hal. 8.
[18] Seyyed Hossein Nasr, op-cit, hal. 21-22.
[19] Seorang sarjana Palestina-Amerika yang masyhur sebagai ahli Perbandingan Agama. Ia pernah mengajar di Al-Azhar, Islamic Studies McGill University, juga sebagai profesor filsafat agama pada Temple Universiaty. Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Ismail_al-Faruqi.html
[20] Wan Ramli bin Wan Daud dan Shaharir bin Mohamad Zain, op-cit, hal. 11.
[21] Makalah Husni Thoyyar.pdf-Adobe Reader
[22] Ibid
[23] Menurut pendapat ini tidak ada sains tanpa metode, bahkan sains ini sendiri adalah metode
[24] Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi Dengan Islam : Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta : Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), 9.
[25] Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam (Yogyakarta : Perpustakaan Pelajar, 2000) 106-107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar