Selasa, 12 Mei 2015

HAKIKAT DAN MAJAZI

HAKIKAT DAN MAJAZI
A.  Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan Mukjizat Allah yang luar biasa di pandang dari sudut manapun, baik dari bahasa, makna, arti, manfaat dan lain-lain yang tidak tergambarkan keindahannya.
Kitab suci umat Islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian memahaminya”[1] 
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai. Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Haqiqah (hakikat) dan majas merupakan salah satu bentuk kaidah-kaidah tafsir yang mesti di ketahui oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena, dengan mengetahui Haqiqah dan Majas ini akan memberikan kemudahan bagi mufassir dalam memahami makna kata yang ingin ia tafsirkan, dan akan menjauhi terjadinya penafsiran yang keliru, rancu, dan ketidak tepatan makna dan maksud sesuai dengan apa yang dituju oleh ayat al-Qur’an.
Dari berbagai sekelumit keterangan di atas, dengan adanya gaya bahasa yang sangat beragam di dalam al-Qur’an, penulis ingin lebih menguak bagaimana hal tersebut, khususnya pada litelatur makna hakikat dan majazi, sehingga ketika kita menafsirkan atau mengkaji isi kandungang al-Qur’an bisa tau mana makna asli (haqiqah ) atau tidaknya (majaza). Dengan berbagai kegelisahan dan rasa inging tau yang mendalam, maka penulis menuangkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Haqiqah dan Majazi  

B.  Pengertian Haqiqah (Hakikat)
حَقِيْقَةٌ مُسْتَعْمَلٌ فِيْمَاوَضِعَ (*) لَهُ بِعُرْفِ ذِي الحِطَابِ فَاتَّبِعْ
Hakikat ialah lafadz yang digunakan untuk menunjukan makna yang dicetak menurut urf (kebiasaan) mutakallim[2] dalam pembicaraannya.[3]

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang tetap atau objek (maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat adalah lafad yang digunakan pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tercetus pertama kali.[4] Maksudnya lafaz itu digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[5].
Contohnya seperti kata “kursi”  menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu tetapi “tempat duduk”.
Haqiqah (hakikat) terbagi kepada beberapa bentuk yaitu:[6]
1.    Haqiqah Lughawi
            Sebuah lafad yang di cetuskan oleh ahli lughat (bahasa) untuk menunjukan makna tertentu melalui perbuatan istilah atau تَو قِيفٌ (menerima pemahaman istilah jadi dari Allah SWT).[7]
Contoh dari hakikat ini adalah penggunaan kata manusia pada hewan yang berbicara dan serigala pada hewan yang buas.
2.      Haqiqah Syar’i
Yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’ atau memaknai suatu lafad dengan menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli syari’at (fiqh), umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan “salam” yang merupakan ibadah khusus.[8]
Imam as-Shafi al-Hindy membagi hakikat syari menjadi empat. Diantaranya :
a.       Keberadaan lafadz dan maknanya diketahui oleh ahli lughat (bahasa), namun mereka tidak mencetuskan lafadz tersebut untuk makna yang dimaksud. Contoh lafdz الرَّحْمَنُ.
b.      Keberadaan lafadz dan maknanya tidak diketahui sama sekali oleh ahli lughat (bahasa), seperti beberapa permulaan surah dalam al-Qur’an, menurut ulama yang menjadikannya sebagai nama dari surah atau dari al-Qur’an.
c.       Keberadaan lafadznya diketahui oleh ahli lughat, namun maknanya tidak diketahui. Seperti lafadz الصَّلاَةُ dan  الصَّوْمُ.
d.      Keberadaan maknanya diketahui, namun lafadznya tidak. Seperti lafadz الأُبُ , makna lafadz ini diketahui oleh orang Arab, yakni العُشْبُ (rumput), namun tidak dikenal pada kalangan ahli lughat.
Menurut pendapat yang paling unggul, keempat bagian di atas diakui keberadaannya.[9]



3. Haqiqah “urfi terbagi dua :
a. Urfi Umum
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya pada makna yang lain melalui penggunaan umum. Adakalanya sebab mengkhususkan sebuah nama pada sebagian perkara yang di namai, seperti lafadz الدَّابَّةُ, dimana secara lughat adalah hewan melata, kemudian pelaku urf mengkhususkannya pada makna hewan berkaki empat. Dan adakalanya sebab kemashuran majaz, hingga enggan menggunakan makna hakikatnya, seperti menyandarkan hukum haram pada khamar, meskipun hakikatnya hukum haram disandarkan pada perbuatan meminum khamar.
b. Urfi Khusus
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah dari makna aslinya oleh golongan tertentu. Seperti istilah i’rab rafa, nashab, jer, fa’il, maf’ul, yang dicetuskan oleh para ulama nahwu.[10]

C.  Majaz
1.  Pengertian Majaz
وَالْمَجَازُلَفْظٌ مُسْتَعْمَلٌ بِوَضْعِ ثَانٍ لِعَلَاقَةٍ فَيَجِبُ سَبْقُ الْوَضْعِ جَزْمًالاَالْاسْتِعْمَالِ فِيْ الْأَ صَحِّ وَهُوَ وَاقِعٌ فِيْ الْأَ صَحِّ
Artinya : Majaz adalah lafadz yang digunakan dengan peletakan makna kedua karena adanya sebuah ‘alaqah (penghubung). Maka (dalam majaz) wajib didahului adanya wadh’u (atas makna pertama), tidak wajib di dahului isti’mal (penggunaan) menurut versi Ashah. Dan majaz diakui keberadaannya dalam kalam Arab, menurut Ashar.[11]

Jadi majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.
Selanjutnya pengertian-pengertian majaz menurut para ulama’ ushul sangatlah beragam, akan tetapi semuannya berdekatan artinya dan saling melengkapi yaitu sebagai berikut:[12]
a)    Al-sarkhisi
ا سم لكلّ لفظ هو مستعا لشيء غير ما و ضع له
                        Yaitu nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
b)    Ibnu Qudamah
هو اللّفظ المستعمل في غير مو ضو عه علي وجه يصحّ
            Yaitu lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan.
c)      Ibnu Subki                               
هو اللّفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعلا قة
            Yaitu lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaiatan.

Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:
1) Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa.
2) Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang dimaksud.
3) Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada kaitannya.
Contohnya :
 kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Lafaz kursi menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu memang ada kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu dilaksanakan dari “kursi” (tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.
2.  Macam-macam Majaz
Majaz memiliki berbagai macam ragam, yakni sebagai berikut :
a.    Majaz Al-Mufrad
Majaz al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :
1). Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz yang tersembunyi. Contohnya :

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu".[13]

Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum lafadz  القرية (negri), yaitu lafadz أهل (penduduk).

2). Az-Ziyaadah,yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz atau huruf tambahan. Contohnya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia".[14]

Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara makna muradnya merupakan tambahan.

b.    Majaz at-Takrib
Majaz at-tarkib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad. Contohnya :
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً

Artinya: "Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".[15]

Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu الزيادة (penambahan), yang di sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.

Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu :
1). Penyandaran yang kedua sisnya adalah haqiqat (makna asli). Contohnya :

وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".[16]

Penggunaan lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض (bumi) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat.

2). Penyandaran yang kedua sisnya adalah majaz. Contohnya :
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ

Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan mereka".[17]

Penggunaan lafadz ربح (beruntung) dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara majaz.

3). Penyandaran yang sisi pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz. Contohnya :
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً

Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".[18]

4). Penyandaran yang sisi pertamany majaz dan sisi lainya haqiqat. Contohnya:

كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.  نَزَّاعَةً لِلشَّوَى.  تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى

Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)".[19]

Penggunaan lafadz تدعو (memanggil) di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api neraka).[20]

3.    Klasifikasi Majaz dalam al-Qur’an
Majaz dapat diklasifikasikan dari aspek hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakan pertama kali, majaz bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a) Majaz Isti`arah
b) Majaz Mursal.[21]

1)      Majaz Isti`arah
Isti`arah secara bahasa artinya adalah meminjam. Majaz dalam konteks ini disusun dengan meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru karena ada persamaan antara keduanya. Majaz isti`arah diklasifikasikan sebagai berikut :
a)   Isti`arah Tashrihiyyah
Yaitu kata yang dipinjam digunakan untuk menjelaskan persamaan musyabbah bih dengan musyabbah. Dalam isti`arah ini biasanya musyabbah bih nya disebutkan. Contoh dalam al-Qur’an, yaitu :
!9# 4 ë=»tGÅ2 çoYø9tRr& y7øs9Î) yl̍÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î)ÍqY9$# ÈbøŒÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuŽÅÀ ÍƒÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ  
“Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”[22]

b)   Isti`arah Makaniyyah
Isti`arah makaniyyah ini musyabbah bihnya dibuang, lalu digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan. Contoh :
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$#$yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ  
“Dan rendahkanlah sayap kerendahan terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[23]
c)   Isti`arah Takhyliyyah
Isti`arah ini menetapkan keberadaan musyabbah bih bagi musyabbah sehingga pihak yang diseru akan membayangkan, bahwa musyabbah tersebut sejenis dengan musyabbah bih. Contoh :
ߊ%s3s? ã¨yJs? z`ÏB Åáøtóø9$# ( !$yJ¯=ä. uÅ+ø9é& $pÏù Ólöqsù öNçlm;r'y !$pkçJtRtyz óOs9r& ö/ä3Ï?ù'tƒ ÖƒÉtR ÇÑÈ  
“Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?".[24]

d)  Isti`arah Tamtsiliyyah
Isti`arah ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal  ini disebabkan karena adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya persamaan itu dari beberapa hal. Contoh:
`yJsùr& ÓÅ´ôJtƒ $7Å3ãB 4n?tã ÿ¾ÏmÎgô_ur #y÷dr& `¨Br& ÓÅ´ôJtƒ $ƒÈqy4n?tã :ÞºuŽÅÀ 8É)tGó¡B ÇËËÈ  
“ Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”.[25]

2)      Majaz Mursal

فَمَا سِوَى تَشَابُهُ عَلَا قَتُهُ  (*) جُزْءٌ وَكُلُّ أَومَحَلٌّ أَلَتُهُ
ظَرْفٌ وَمَظْرُوْفٌ مُسَبَّبٌ سَبَبْ (*) وَصْفٌ لِمَاضٍ أَوْمَأَلٍ مُرْتَقَبْ
Majaz mursal ialah majaz yang alaqoh (hubungan antara makna hakiki dan makna majazi) berupa selain tasybih (penyerupaan), adakalanya alaqohnya berupa hal-hal sebagai berikut :
1.Juz, 2. Keseluruhan, 3. Tempat, 4. Alat, 5. Dhorof, 6. Madzruf, 7. Musabbab, 8. Sabab, 9. Memandang sifat yang telah dilewati, 10. Memandang sifat yang akan datang.

Jadi majaz mursal adalah kalimat yang dilakukan pada selain makna asalnya dengan disenganja, dengan memandang adanya alaqoh, bersamaan qorinah[26] yang menunjukan tidak digunakannya kalimat itu pada makna asalnya .[27]

Majaz mursal ini, jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Ada beberapa klasifikasi dari mursal, yaitu :
a)    Juz`iyyah
Disebut juz`iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut bagiannya. Contoh :
ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) Wx‹Î=s%                                               ÇËÈ
“Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)”.[28]

Pada ayat ini lafadz Qum, yang asal maknanya berdiri, menggunakan maknanya lafadz sholli, solatlah, karena berdiri sebagian dari shalat, jadi alaqohnya berupa juz’iyah.[29]

b)   Kulliyyah
Disebut demikian karena yang dinyatakan adalah keseluruhannya, sedangkan yang dimaksud hanya sebagian saja. Contoh :
 ÷rr& 5=ÍhŠ|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r& þÎû NÍkÍX#sŒ#uä z`ÏiB È,Ïãºuq¢Á9$# uxtn ÏNöqyJø9$# 4 ª!$#ur 8ÝŠÏtèCtûï̍Ïÿ»s3ø9$$Î/ ÇÊÒÈ  
“Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”.[30]

Alaqohnya adalah kulliyah (sesuatu yang bersifat keseluruan) karena jari-jari merupakankeseluruhan dari anak jari. Qorinahnya adalah qorinah haliyah, yaitu tidak mungkin memasukan jari-jari dalam telinga, yang mungkin adalah anak jari.[31]

c)    Sababiyyah
Mursal syababiyyah ini menyebutkan sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya. Contoh :

رَعَيْنَا الغَيْثَ
(Saya Menjaga Tanaman)

Lafadz Al-Ghoitsa yang asal maknanya hujan di dalam contoh di artikan dengan An-nabaat (tanaman), karena tanaman itu hidupnya disebabkan hujan. Qorinahnya adalah lafadz ro’aina, alaqohnya adalah musabbab (perkara yang disebabi.[32]

d)   Musabbabiyyah
Disebut musybbabiyyah karena yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya. Contoh :
uqèd Ï%©!$# öNä3ƒÌãƒ ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ú^Íit\ãƒur Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# $]%øÍ 4  
Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu hujan dari langit.[33]

Pada ayat ini, lafadz Rizqon, yang asal maknanya rizqi, bermakna mathorun (hujan), karena hujan adalah menjadi sebab rizqi. Alaqohnya adalah berupa Sababiyah.
e)    Dhorof
Mengucapkan dhorof (wadah) yang dikehendaki madzruf (sesuatu yang diwadahi). Contoh :
شَرِبْتُ كُوْزًا أَيْ مَاء
    (saya minum air dalam kendi)

Pada contoh ini, lafadz kuuzan yang asal maknanya kendi, bermakna ma’na air, karena antara kendi dan air memiliki alaqoh dhorfiyah (sesuatu yang menjadi wadah).

f). Madhruf
Mengucapkan madhruf yang dikehendaki dhorof. Contoh :

فَفِيْ رَحْمَةِاللِّهِ أَيْ الْجَنَّة
(maka di dalam surga tempat rahmat Allah)

Pada contoh ini lafadz rohmatillah, yang asal maknanya kasih sayang Allah, bermakna jannah (surga), karena antara Rohmatullah dan jannah itu memiliki alaqoh madhrufiyyah (sesuatu yang diwadahi.

g). Alat
mengucapkan alat yang dikehendaki sesuatu yang butuh alat. Contoh
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% šúÎiüt7ãŠÏ9 öNçlm; (
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.[34]

Pada ayat ini, lafadz lisan yang asal maknanya lidah, bermakna lughot (bahasa) alaqohnya adalah alatiyah.

h). Tempat

mengucapkan tempat, yang dikehendaki sesuatu yang di tempat. contoh :
$¨Br&ur tûïÏ%©!$# ôMžÒuö/$# öNßgèdqã_ãr Å"sù ÏpuH÷qu «!$# öNèd $pkŽÏù tbrà$Î#»yz ÇÊÉÐÈ
 
Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga), mereka kekal di dalamnya.[35]
Pada ayat ini, lafadz Rahmatillah, yang asal maknanya kasih sayang Allah, bermakna Jannah (surga), karena di antara keduanya ada alaqoh halliyah[36] (sesuatu yang bertempat).

i). Mengucapkan sesuatu dengan memandang zaman yang telah lewat.

(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ
 
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.[37]

Pada ayat ini, lafadz yatamaa, yang asal maknanya anak-anak yatim, bermakna Alladzina kaanuu yataamaa (orang-orang yang balig), yang mana asalnya anak yatim, alaqohnya yaitu memandang sesuatu yang telah lewat, karena orang-orang yang baligh yang menerima penyerahan harta ini asalnya anak-anak yatim.

j). Mengucapkan sesuatu dengan memandang zaman yang akan datang. Contohnya :
Ÿ@yzyŠur çmyètB z`ôfÅb¡9$# Èb$utFsù ( tA$s% !$yJèdßtnr& þÎoTÎ) ûÓÍ_1ur& çŽÅÇôãr& #\ôJyz ( t

Dan bersama dengan Dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur.[38]

Pada ayat ini, lafadz khomrom yang asal maknanya arak, bermakna Ashiron (perasaan), yang nantinya akan dijadikan anggur, alaqoh di antara keduanya yaitu dengan memandang zaman yang akan datang, karena ketika diperas tidak berupa arak.[39]

4.Faktor Perpindahan Hakikat Menuju Majaz
a. Karena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya.
Oleh karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz خَنْفِقِيْقٍ, dalam bahasa arab yang berarti bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan seseorang. Karenanya ia lebih senang menggunakan kata-kata maut مَوْتٌ.
b.    Karena kurang enak didengar kata haqiqah itu bila digunakan
Seperti kata خِرَاءَةٌ dalam bahasa arab yang menurut hakikatnya berarti tempat berak. Karena buruk dan joroknya tempat itu, maka digunakan kata lain, yaitu غَائِطٌ yang artinya  tempat yang tenang di belakang rumah. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan kata pergi untuk “buang berak”, diganti dengan pergi “ke belakang” karena keduaanya ada kaitan, yaitu sama-sama tempatnya dibelakang.
Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan ditengah orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang lebih enak didengar yaitu, “bergaul”.
c.    Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
Umpamanya kata “ijma” dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bergaul”.
d.    Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya)
seperti menggunakan kata “ زَيْدٌأَسَدٌ (Jaed seperti singa) ” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra ketimbang kata “زَيْدٌ شُجَاعٌ  )jaed pemberani) ”.
dan beberapa faktor lainnya, seperti penyamaran maksud perkataan dari selain dua pihak yang berdialog, yang tidak tahu akan majaz, bukan hakikat, pembuatan  wazan, qafiyah, saja’ dengan majaz bukan dengan hakikat.[40]

D.  Komentar Para Ulama Tentang Keberadaan Hakikat Dan Majâz 
Pembicaraan tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafaz atau ucapan. Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan atau lafaz yang bersifat syar’i, terdapat beda pendapat di kalangan ulama, Di antaranya :
1.      Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan Syari’ (pembuat hukum) dalam al-Qur’an dan sunah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang digunakan. Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi seperti penggunakan lafaz “mula masah” (ملا مسة) yang berarti saling bersentuhan dalam al-Qur’an, surat an-nisa’ (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan “jima” atau bersetubuh yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu’.
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
2.  Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaiannya majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah. Karena ada petunjuk yang menjelaskannya. Umpamanya ucapan, “saya melihat singa memanah”. Adanya kata “memanah” menjadi petunjuk apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “singa” itu.
3.  Golongan ulama’ Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seandainya menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk digunakan dalam artinya syari’, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam al-Qur’an dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta, sedangkan Allah SWT dan Rasulullah SAW terjauh dari dusta.[41]







E.  Kesimpulan
Pengertian Hakikat adalah lafad yang digunakan pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut tercetus pertama kali. majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks.
Haqiqah (hakikat) terbagi kepada beberapa bentuk yaitu: Haqiqah Lughawi, Haqiqah Syar’i, dan Haqiqah “urfi. Macam-Macam Majaz : Majaz Al-Mufrad (al-lughawi), Majaz at-Takrib (majaz al-aqli) dan Klasifikasi Majaz dalam al-Qur’an : Majaz Isti`arah dan Majaz Mursal.
Komentar Para Ulama Tentang Keberadaan Hakikat Dan Majâz 
1.      Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan Syari’ (pembuat hukum) dalam al-Qur’an dan sunah.
2.  Abu Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaiannya majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah. Karena ada petunjuk yang menjelaskannya.
3.  Golongan ulama’ Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seandainya menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk digunakan dalam artinya syari’, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta, sedangkan Allah SWT dan Rasulullah SAW terjauh dari dusta.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarim Ali dan Usman Musthafa, Terjemah al-Balaaghatul Waadihihah, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2006.

Bakry, Nazar.Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Effendi, Satria. 2008. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Cet. II,. Bandung: Pustaka Satia.
Mahrus Kafabihi Abdulloh, Lubb al-Ushul, Lirboyo : Santri Salaf   Press, 2015.
Miftahul, Arufin. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media.1997.

Shofwan M. Sholehuddin, Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun, Jombang : Darul Hikmah, 2008.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih. Jakatra: Kencana. 2011.
Rahmada shari, al - haqiqah- dan - al-majaz- dalam-al-quran. http : // rahmadashariuinsuska. blogspot.com /2013/07.




[1] Surah Yusuf [12] : 2
[2] Mutakallim artinya orang yang memliki pembicaraan. M. Sholehuddin Shofwan, Pengantar Memahami Nadzoman Jauharul Maknun (Jombang : Darul Hikmah, 2008), 140.

[3] Ibid,..

[4] Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb al-Ushul kajian dan Intisari dua ushul (Lirboyo : Lirboyo preesss, 2004), 141.
[5] Satria effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana,2008), 42.
[6] Ibid,......27.
[7] Abdulloh, Lubb al-Ushul.., 141.
[8] M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 140.

[9] Jalal as-Suyuthi, Syarh Al-Kawkab as-Sathi’, vol 1 hal 121-123. Dan dikutip kembali oleh Abdulloh, Lubb al-Ushul,.. 142.
[10] Abdulloh, Lubb al-Ushul.., 141-142.
[11] Ibid,.. 143.

[12] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2011), 29.
[13] Surah Yusuf [12] : 82.
[14] Surah Asy-Syuuraa [26] : 11.
[15] Surat Al-Anfaal [8] : 2

[16] Surat Az-Zalzalah: 2

[17] Surat Al-Baqarah: 16

[18] Surat Ar-Ruum: 35
[19] Surat Al-Ma'aarij [10] : 15-17

[20] Rahmada shari, al - haqiqah- dan - al-majaz- dalam-al-quran. http : // rahmadashariuinsuska. blogspot.com /2013/07.

[21] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an, (Bogor : 2004), 127-131.

[22] Surah Ibrahim : 1
[23] Surah al-Israa`: 24

[24] Surah al-Mulk : 8

[25] Surah al-Mulk : 22

[26] Qoridah adalah perkara yang dijadikan oleh mutakallim untuk menunjukan bahwa ia tidak menghendaki suatu lafadz pada makna asalnya. M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 146.
[27] Ibid,..
[28] Surah al-Muzzammil : 2
[29] M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 147.
[30] Surah al-Baqarah : 19

[31] M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 148.
[32] Ibid,..
[33] Surah Al Mu'min [40] : 13
[34] Surah Ibrahim [14] : 4
[35] Surah Ali 'Imran [3] 107
[36] Alaqoh halliyah artinya keadaan sesuatu yang bertempat pada tempat lain. M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 152.
[37] Surah An Nisaa' [4] : 2
[38] Surah Yusuf [12] : 36
[39] M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 147-154.
[40] Sahal Mahfudz, Thariqah Al-Hushul hal. 146 dan jalal as-Suyuti, Syarh Al-Kawkab as-Sathi, Vol 1 hal 125. Dan dikutip kembali oleh Abdulloh, Lubb al-Ushul.., 146.
[41] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih,... 36.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar