HAKIKAT
DAN MAJAZI
A. Pendahuluan
Al-Qur’an
merupakan Mukjizat Allah yang luar biasa di pandang dari sudut manapun, baik
dari bahasa, makna, arti, manfaat dan lain-lain yang tidak tergambarkan
keindahannya.
Kitab
suci umat Islam diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas
dan terang. “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan
berbahasa Arab agar kalian memahaminya”[1]
Untuk
memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah seseorang itu harus menguasai bahasa
Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an tidak akan mampu dikuasai. Al-Qur’an
yang terangkum di dalamnya tentang tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya
memiliki berbagai macam cara dalam penyampaian makna yang disebut dengan gaya
bahasa al-Qur’an.
Gaya
bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat bervariasi, mulai dari amtsal, qasam,
qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih, isti`arah, haqiqah, majaz, dan
sebagainya. Haqiqah (hakikat) dan majas merupakan salah satu bentuk
kaidah-kaidah tafsir yang mesti di ketahui oleh seorang mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an. Karena, dengan mengetahui Haqiqah dan Majas ini
akan memberikan kemudahan bagi mufassir dalam memahami makna kata yang ingin ia
tafsirkan, dan akan menjauhi terjadinya penafsiran yang keliru, rancu, dan
ketidak tepatan makna dan maksud sesuai dengan apa yang dituju oleh ayat
al-Qur’an.
Dari
berbagai sekelumit keterangan di atas, dengan adanya gaya bahasa yang sangat
beragam di dalam al-Qur’an, penulis ingin lebih menguak bagaimana hal tersebut,
khususnya pada litelatur makna hakikat dan majazi, sehingga ketika kita
menafsirkan atau mengkaji isi kandungang al-Qur’an bisa tau mana makna asli (haqiqah
) atau tidaknya (majaza). Dengan berbagai kegelisahan dan rasa inging
tau yang mendalam, maka penulis menuangkannya dalam sebuah makalah yang
berjudul : Haqiqah dan Majazi
حَقِيْقَةٌ مُسْتَعْمَلٌ فِيْمَاوَضِعَ (*) لَهُ بِعُرْفِ ذِي الحِطَابِ
فَاتَّبِعْ
Hakikat ialah lafadz yang digunakan untuk
menunjukan makna yang dicetak menurut urf (kebiasaan) mutakallim[2]
dalam pembicaraannya.[3]
Secara
etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti
tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il), sehingga memiliki arti yang
tetap atau objek (maf’ul), yang berarti ditetapkan. Pengertian Hakikat
adalah lafad yang digunakan pada makna yang ditetapkan saat lafadz tersebut
tercetus pertama kali.[4] Maksudnya lafaz itu
digunakan oleh perumus bahasa memang untuk itu. Menurut Ibnu Subki menyatakan
bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada
mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya
semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz
yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu[5].
Contohnya
seperti kata “kursi” menurut
asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki,
meskipun kemudian kata “kursi” itu sering digunakan pula untuk
pengertian “kekuasaan”, namun tujuan semula kata “kursi” bukan
untuk itu tetapi “tempat duduk”.
Haqiqah (hakikat)
terbagi kepada beberapa bentuk yaitu:[6]
1.
Haqiqah Lughawi
Sebuah lafad yang di cetuskan oleh ahli lughat (bahasa) untuk menunjukan makna
tertentu melalui perbuatan istilah atau تَو قِيفٌ (menerima pemahaman istilah jadi dari Allah SWT).[7]
Contoh dari hakikat ini adalah
penggunaan kata manusia pada hewan yang berbicara dan serigala pada hewan yang
buas.
2.
Haqiqah Syar’i
Yaitu lafaz yang digunakan untuk
makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’ atau memaknai suatu lafad dengan
menggunakan pendekatan syari’at, yang penyusunannya pun dilakukan oleh ahli
syari’at (fiqh), umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri
dari perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan
“salam” yang merupakan ibadah khusus.[8]
Imam as-Shafi al-Hindy membagi hakikat
syari menjadi empat. Diantaranya :
a.
Keberadaan lafadz dan maknanya diketahui oleh ahli
lughat (bahasa), namun mereka tidak mencetuskan lafadz tersebut untuk makna
yang dimaksud. Contoh lafdz الرَّحْمَنُ.
b.
Keberadaan lafadz dan maknanya tidak diketahui sama
sekali oleh ahli lughat (bahasa), seperti beberapa permulaan surah dalam
al-Qur’an, menurut ulama yang menjadikannya sebagai nama dari surah atau dari
al-Qur’an.
c.
Keberadaan lafadznya diketahui oleh ahli lughat, namun
maknanya tidak diketahui. Seperti lafadz الصَّلاَةُ dan الصَّوْمُ.
d.
Keberadaan maknanya diketahui, namun lafadznya tidak.
Seperti lafadz الأُبُ , makna lafadz ini diketahui oleh orang Arab, yakni العُشْبُ (rumput), namun tidak dikenal
pada kalangan ahli lughat.
Menurut pendapat yang paling unggul, keempat bagian di atas diakui
keberadaannya.[9]
3. Haqiqah “urfi terbagi dua :
a. Urfi Umum
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah
dari makna aslinya pada makna yang lain melalui penggunaan umum. Adakalanya
sebab mengkhususkan sebuah nama pada sebagian perkara yang di namai, seperti
lafadz الدَّابَّةُ, dimana secara lughat adalah hewan
melata, kemudian pelaku urf mengkhususkannya pada makna hewan berkaki empat.
Dan adakalanya sebab kemashuran majaz, hingga enggan menggunakan makna
hakikatnya, seperti menyandarkan hukum haram pada khamar, meskipun
hakikatnya hukum haram disandarkan pada perbuatan meminum khamar.
b. Urfi Khusus
Yaitu sebuah lafadz yang dipindah
dari makna aslinya oleh golongan tertentu. Seperti istilah i’rab rafa,
nashab, jer, fa’il, maf’ul, yang dicetuskan oleh para ulama nahwu.[10]
C. Majaz
1.
Pengertian Majaz
وَالْمَجَازُلَفْظٌ مُسْتَعْمَلٌ بِوَضْعِ ثَانٍ لِعَلَاقَةٍ فَيَجِبُ سَبْقُ الْوَضْعِ جَزْمًالاَالْاسْتِعْمَالِ فِيْ
الْأَ صَحِّ وَهُوَ وَاقِعٌ فِيْ الْأَ صَحِّ
Artinya : Majaz adalah lafadz yang digunakan dengan peletakan makna kedua
karena adanya sebuah ‘alaqah (penghubung). Maka (dalam majaz) wajib
didahului adanya wadh’u (atas makna pertama), tidak wajib di dahului isti’mal
(penggunaan) menurut versi Ashah. Dan majaz diakui keberadaannya
dalam kalam Arab, menurut Ashar.[11]
Jadi majaz adalah suatu lafad
yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di
dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara
makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks
tersebut.
Selanjutnya pengertian-pengertian
majaz menurut para ulama’ ushul sangatlah beragam, akan tetapi semuannya
berdekatan artinya dan saling melengkapi yaitu sebagai berikut:[12]
a)
Al-sarkhisi
ا سم لكلّ لفظ هو مستعا لشيء غير ما و ضع له
Yaitu nama untuk setiap lafaz
yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar apa yang ditentukan.
b)
Ibnu Qudamah
هو اللّفظ المستعمل في
غير مو ضو عه علي وجه يصحّ
Yaitu lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang
dibenarkan.
c)
Ibnu Subki
هو اللّفظ المستعمل بو ضع ثا ن لعلا قة
Yaitu lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya keterkaiatan.
Dari beberapa contoh definisi di atas
dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut, yaitu:
1) Lafaz itu tidak menunjukkan
kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh suatu bahasa.
2) Lafaz dengan bukan menurut arti
sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberi arti kepada apa yang
dimaksud.
3) Antara sasaran dari arti lafaz
yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti lafaz itu memang ada
kaitannya.
Contohnya :
kata “kursi” dipinjam untuk arti “kekuasaan”.
Lafaz kursi menurut hakikatnya digunakan untuk “tempat duduk”. Lafaz itu
dipinjam untuk arti “kekuasaan”. Antara “tempat duduk” dengan “kekuasaan” itu
memang ada kaitannya, yaitu bahwa kekuasaan itu dilaksanakan dari “kursi”
(tempat duduk) dan sering disimbolkan dengan kursi singgasana.
2.
Macam-macam Majaz
Majaz
memiliki berbagai macam ragam, yakni sebagai berikut :
a.
Majaz Al-Mufrad
Majaz al-murad adalah majaz yang menggunakan lafadz
bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi,
dan ia terbagi ke dalam beberapa macam :
1). Al-hadzfu atau an-naqsu,
yaitu majaz yang menitik beratkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
Contohnya :
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا
فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah
(penduduk) negeri yang kami berada disitu".[13]
Di dalam ayat ini tersimpan lafadz
yang tersembunyi sebelum lafadz القرية (negri), yaitu lafadz أهل (penduduk).
2). Az-Ziyaadah,yaitu majaz
yang menitik beratkan pada adanya lafadz atau huruf tambahan. Contohnya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia".[14]
Sebagian ulama mengatakan bahwa
hurup ك di depan lafadz مثله secara makna muradnya merupakan
tambahan.
b. Majaz at-Takrib
Majaz at-tarkib adalah majaz yang
menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki
originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz
ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz al-isnaad. Contohnya :
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَاناً
Artinya: "Dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".[15]
Di dalam ayat ini terdapat suatu
perbuatan Allah, yaitu الزيادة (penambahan), yang di sandarkan
kepada الآيات (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya
ayat-ayat tersebut menjadi sebab bertambahnya keimanan mereka.
Majaz ini terbagi ke dalam empat
macam, yaitu :
1). Penyandaran yang kedua sisnya
adalah haqiqat (makna asli). Contohnya :
وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi
telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya".[16]
Penggunaan lafadz أخرج (telah mengeluarkan) dan الأرض (bumi) di dalam ayat ini adalah
secara haqiqat.
2). Penyandaran yang kedua sisnya
adalah majaz. Contohnya :
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya: "Maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka".[17]
Penggunaan lafadz ربح (beruntung)
dan تجارة (perniagaan) di dalam ayat ini adalah secara
majaz.
3). Penyandaran yang sisi
pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz. Contohnya :
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ
سُلْطَاناً
Artinya: "Atau
pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan".[18]
4). Penyandaran yang sisi pertamany
majaz dan sisi lainya haqiqat. Contohnya:
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى.
نَزَّاعَةً لِلشَّوَى. تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى
Artinya: "Sekali-kali
tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas
kulit kepala, yang memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari
agama)".[19]
Penggunaan lafadz تدعو (memanggil)
di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api
neraka).[20]
3.
Klasifikasi Majaz dalam al-Qur’an
Majaz
dapat diklasifikasikan dari aspek hubungan antara makna yang digunakan dengan
makna yang diletakan pertama kali, majaz bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu
:
a) Majaz
Isti`arah
b) Majaz
Mursal.[21]
1)
Majaz Isti`arah
Isti`arah
secara bahasa artinya adalah meminjam. Majaz dalam konteks ini disusun dengan
meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru karena ada persamaan
antara keduanya. Majaz isti`arah diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Isti`arah
Tashrihiyyah
Yaitu
kata yang dipinjam digunakan untuk menjelaskan persamaan musyabbah bih dengan
musyabbah. Dalam isti`arah ini biasanya musyabbah bih nya disebutkan. Contoh
dalam al-Qur’an, yaitu :
!9# 4 ë=»tGÅ2 çm»oYø9tRr& y7øs9Î) ylÌ÷çGÏ9 }¨$¨Z9$# z`ÏB ÏM»yJè=à9$# n<Î)ÍqY9$# ÈbøÎ*Î/ óOÎgÎn/u 4n<Î) ÅÞºuÅÀ ÍÍyèø9$# ÏÏJptø:$# ÇÊÈ
“Alif,
laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya
terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan
yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”[22]
b) Isti`arah
Makaniyyah
Isti`arah
makaniyyah ini musyabbah bihnya dibuang, lalu digantikan dengan kata yang
mencerminkan sifatnya yang dominan. Contoh :
ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$#$yJx. ÎT$u/u #ZÉó|¹ ÇËÍÈ
“Dan
rendahkanlah sayap kerendahan terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[23]
c) Isti`arah
Takhyliyyah
Isti`arah
ini menetapkan keberadaan musyabbah bih bagi musyabbah sehingga pihak yang
diseru akan membayangkan, bahwa musyabbah tersebut sejenis dengan musyabbah
bih. Contoh :
ß%s3s? ã¨yJs? z`ÏB Åáøtóø9$# ( !$yJ¯=ä. uÅ+ø9é& $pkÏù Ólöqsù öNçlm;r'y !$pkçJtRtyz óOs9r& ö/ä3Ï?ù't ÖÉtR ÇÑÈ
“Hampir-hampir
(neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya
sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada
mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi
peringatan?".[24]
d) Isti`arah
Tamtsiliyyah
Isti`arah
ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal ini
disebabkan karena adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya
persamaan itu dari beberapa hal. Contoh:
`yJsùr& ÓÅ´ôJt $7Å3ãB 4n?tã ÿ¾ÏmÎgô_ur #y÷dr& `¨Br& ÓÅ´ôJt $Èqy4n?tã :ÞºuÅÀ 8LìÉ)tGó¡B ÇËËÈ
“ Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih
banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan
yang lurus?”.[25]
2) Majaz Mursal
فَمَا سِوَى تَشَابُهُ عَلَا
قَتُهُ (*) جُزْءٌ وَكُلُّ أَومَحَلٌّ
أَلَتُهُ
ظَرْفٌ وَمَظْرُوْفٌ مُسَبَّبٌ سَبَبْ
(*) وَصْفٌ لِمَاضٍ أَوْمَأَلٍ مُرْتَقَبْ
Majaz mursal ialah majaz yang alaqoh
(hubungan antara makna hakiki dan makna majazi) berupa selain tasybih
(penyerupaan), adakalanya alaqohnya berupa hal-hal sebagai berikut :
1.Juz, 2. Keseluruhan, 3. Tempat, 4.
Alat, 5. Dhorof, 6. Madzruf, 7. Musabbab, 8. Sabab, 9. Memandang sifat yang
telah dilewati, 10. Memandang sifat yang akan datang.
Jadi majaz mursal adalah kalimat
yang dilakukan pada selain makna asalnya dengan disenganja, dengan memandang
adanya alaqoh, bersamaan qorinah[26] yang menunjukan tidak
digunakannya kalimat itu pada makna asalnya .[27]
Majaz
mursal ini, jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang
diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Ada beberapa klasifikasi
dari mursal, yaitu :
a) Juz`iyyah
Disebut
juz`iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut bagiannya. Contoh :
ÉOè% @ø©9$# wÎ) WxÎ=s% ÇËÈ
“Bangunlah (untuk
sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)”.[28]
Pada ayat
ini lafadz Qum, yang asal maknanya berdiri, menggunakan maknanya lafadz sholli,
solatlah, karena berdiri sebagian dari shalat, jadi alaqohnya berupa juz’iyah.[29]
b) Kulliyyah
Disebut
demikian karena yang dinyatakan adalah keseluruhannya, sedangkan yang dimaksud
hanya sebagian saja. Contoh :
÷rr& 5=Íh|Áx. z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÏmÏù ×M»uKè=àß Óôãuur ×-öt/ur tbqè=yèøgs ÷LàiyèÎ6»|¹r& þÎû NÍkÍX#s#uä z`ÏiB È,Ïãºuq¢Á9$# uxtn ÏNöqyJø9$# 4 ª!$#ur 8ÝÏtèCtûïÌÏÿ»s3ø9$$Î/ ÇÊÒÈ
“Atau
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya,
karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati. dan Allah meliputi
orang-orang yang kafir”.[30]
Alaqohnya
adalah kulliyah (sesuatu yang bersifat keseluruan) karena jari-jari
merupakankeseluruhan dari anak jari. Qorinahnya adalah qorinah haliyah, yaitu
tidak mungkin memasukan jari-jari dalam telinga, yang mungkin adalah anak jari.[31]
c) Sababiyyah
Mursal
syababiyyah ini menyebutkan sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya. Contoh :
رَعَيْنَا الغَيْثَ
(Saya
Menjaga Tanaman)
Lafadz
Al-Ghoitsa yang asal maknanya hujan di dalam contoh di artikan dengan An-nabaat
(tanaman), karena tanaman itu hidupnya disebabkan hujan. Qorinahnya adalah
lafadz ro’aina, alaqohnya adalah musabbab (perkara yang disebabi.[32]
d) Musabbabiyyah
Disebut
musybbabiyyah karena yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya. Contoh :
uqèd Ï%©!$# öNä3Ìã ¾ÏmÏG»t#uä Ú^Íit\ãur Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# $]%øÍ 4
Dia-lah yang memperlihatkan
kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu hujan dari
langit.[33]
Pada ayat ini,
lafadz Rizqon, yang asal maknanya rizqi, bermakna mathorun (hujan), karena
hujan adalah menjadi sebab rizqi. Alaqohnya adalah berupa Sababiyah.
e)
Dhorof
Mengucapkan
dhorof (wadah) yang dikehendaki madzruf (sesuatu yang diwadahi). Contoh :
شَرِبْتُ
كُوْزًا أَيْ مَاء
(saya minum air dalam kendi)
Pada
contoh ini, lafadz kuuzan yang asal maknanya kendi, bermakna ma’na air, karena
antara kendi dan air memiliki alaqoh dhorfiyah (sesuatu yang menjadi wadah).
f).
Madhruf
Mengucapkan
madhruf yang dikehendaki dhorof. Contoh :
فَفِيْ رَحْمَةِاللِّهِ أَيْ الْجَنَّة
(maka di dalam surga tempat rahmat Allah)
Pada contoh ini
lafadz rohmatillah, yang asal maknanya kasih sayang Allah, bermakna jannah
(surga), karena antara Rohmatullah dan jannah itu memiliki alaqoh madhrufiyyah
(sesuatu yang diwadahi.
g). Alat
mengucapkan alat
yang dikehendaki sesuatu yang butuh alat. Contoh
!$tBur
$uZù=yör&
`ÏB
@Aqߧ
wÎ)
Èb$|¡Î=Î/
¾ÏmÏBöqs%
úÎiüt7ãÏ9
öNçlm;
(
Kami
tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.[34]
Pada ayat ini,
lafadz lisan yang asal maknanya lidah, bermakna lughot (bahasa) alaqohnya adalah
alatiyah.
h). Tempat
mengucapkan tempat, yang dikehendaki
sesuatu yang di tempat. contoh :
$¨Br&ur tûïÏ%©!$# ôMÒuö/$# öNßgèdqã_ãr Å"sù ÏpuH÷qu «!$# öNèd $pkÏù tbrà$Î#»yz ÇÊÉÐÈ
Adapun orang-orang
yang putih berseri mukanya, Maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga),
mereka kekal di dalamnya.[35]
Pada ayat ini, lafadz Rahmatillah,
yang asal maknanya kasih sayang Allah, bermakna Jannah (surga), karena di
antara keduanya ada alaqoh halliyah[36] (sesuatu yang bertempat).
i). Mengucapkan sesuatu dengan
memandang zaman yang telah lewat.
(#qè?#uäur
#yJ»tFuø9$#
öNæhs9ºuqøBr&
(
wur
(#qä9£t7oKs?
y]Î7sø:$#
É=Íh©Ü9$$Î/
(
wur
(#þqè=ä.ù's?
öNçlm;ºuqøBr&
#n<Î)
öNä3Ï9ºuqøBr&
4
¼çm¯RÎ)
tb%x.
$\/qãm
#ZÎ6x.
ÇËÈ
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.[37]
Pada ayat ini, lafadz yatamaa, yang
asal maknanya anak-anak yatim, bermakna Alladzina kaanuu yataamaa (orang-orang
yang balig), yang mana asalnya anak yatim, alaqohnya yaitu memandang sesuatu
yang telah lewat, karena orang-orang yang baligh yang menerima penyerahan harta
ini asalnya anak-anak yatim.
j). Mengucapkan sesuatu dengan
memandang zaman yang akan datang. Contohnya :
@yzyur
çmyètB
z`ôfÅb¡9$#
Èb$utFsù
(
tA$s%
!$yJèdßtnr&
þÎoTÎ)
ûÓÍ_1ur&
çÅÇôãr&
#\ôJyz
(
t
Dan bersama dengan
Dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda. berkatalah salah seorang
diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur.[38]
Pada ayat ini, lafadz khomrom yang
asal maknanya arak, bermakna Ashiron (perasaan), yang nantinya akan dijadikan anggur,
alaqoh di antara keduanya yaitu dengan memandang zaman yang akan datang, karena
ketika diperas tidak berupa arak.[39]
4.Faktor Perpindahan Hakikat Menuju
Majaz
a. Karena berat mengucapkan
suatu lafaz menurut haqiqah-nya.
Oleh karenanya ia beralih kepada
majaz. Umpamanya lafaz خَنْفِقِيْقٍ, dalam bahasa
arab yang berarti bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk
diucapkan seseorang. Karenanya ia lebih senang menggunakan kata-kata maut مَوْتٌ.
b.
Karena kurang enak didengar kata haqiqah itu bila
digunakan
Seperti kata خِرَاءَةٌ dalam bahasa arab yang menurut
hakikatnya berarti tempat berak. Karena buruk dan joroknya tempat itu, maka
digunakan kata lain, yaitu غَائِطٌ yang artinya tempat yang tenang di belakang rumah. Dalam
bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan kata pergi untuk “buang berak”, diganti
dengan pergi “ke belakang” karena keduaanya ada kaitan, yaitu sama-sama
tempatnya dibelakang.
Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz
tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan
ditengah orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang
lebih enak didengar yaitu, “bergaul”.
c.
Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer
ketimbang kata haqiqah.
Umpamanya kata “ijma” dalam arti “hubungan kelamin”
kurang dipahami oleh orang banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer
yaitu “bergaul”.
d.
Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa
(balaghahnya)
seperti menggunakan kata “ زَيْدٌأَسَدٌ (Jaed seperti singa) ” untuk seorang pemberani lebih
indah dari segi sastra ketimbang kata “زَيْدٌ شُجَاعٌ )jaed pemberani) ”.
dan beberapa faktor lainnya, seperti
penyamaran maksud perkataan dari selain dua pihak yang berdialog, yang tidak
tahu akan majaz, bukan hakikat, pembuatan wazan, qafiyah, saja’ dengan majaz bukan
dengan hakikat.[40]
D. Komentar Para Ulama Tentang Keberadaan Hakikat Dan Majâz
Pembicaraan tentang haqiqah dan
majaz, berlaku dalam lafaz atau ucapan. Namun dalam hal apakah majaz itu
ada (terjadi) dalam ucapan atau lafaz yang bersifat syar’i, terdapat beda
pendapat di kalangan ulama, Di antaranya :
1.
Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa majaz itu memang
terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan Syari’ (pembuat hukum) dalam al-Qur’an
dan sunah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang
digunakan. Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan
Hadits Nabi seperti penggunakan lafaz “mula masah” (ملا مسة) yang berarti saling
bersentuhan dalam al-Qur’an, surat an-nisa’ (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan
“jima” atau bersetubuh yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu’.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.
2. Abu
Ishak al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaiannya majaz. Apa
yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah. Karena ada
petunjuk yang menjelaskannya. Umpamanya ucapan, “saya melihat singa memanah”.
Adanya kata “memanah” menjadi petunjuk apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
“singa” itu.
3. Golongan
ulama’ Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seandainya
menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk digunakan dalam
artinya syari’, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks
penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak
majaz dalam al-Qur’an dan hadits ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya)
berarti dusta, sedangkan Allah SWT dan Rasulullah SAW terjauh dari dusta.[41]
E. Kesimpulan
Pengertian
Hakikat adalah lafad yang digunakan pada makna yang ditetapkan saat lafadz
tersebut tercetus pertama kali. majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad
pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks.
Haqiqah
(hakikat) terbagi kepada beberapa bentuk yaitu: Haqiqah Lughawi, Haqiqah Syar’i, dan Haqiqah “urfi.
Macam-Macam Majaz : Majaz Al-Mufrad (al-lughawi), Majaz at-Takrib (majaz al-aqli) dan Klasifikasi Majaz dalam al-Qur’an : Majaz Isti`arah dan Majaz Mursal.
Komentar Para Ulama Tentang
Keberadaan Hakikat Dan Majâz
1.
Kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa majaz itu memang
terjadi dalam ucapan, baik dalam ucapan Syari’ (pembuat hukum) dalam al-Qur’an
dan sunah.
2. Abu Ishak al-Asfaraini
dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaiannya majaz. Apa yang selama ini
dianggap majaz itu sebenarnya adalah haqiqah. Karena ada petunjuk yang
menjelaskannya.
3. Golongan
ulama’ Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Seandainya
menemukan firman Allah SWT yang menggunakan bahasa untuk digunakan dalam
artinya syari’, maka hal itu bukan berarti menggunakan majaz, tetapi konteks
penggunaannya sudah secara haqiqah syar’i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak
majaz ialah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti dusta,
sedangkan Allah SWT dan Rasulullah SAW terjauh dari dusta.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jarim Ali dan Usman Musthafa, Terjemah al-Balaaghatul
Waadihihah, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2006.
Bakry, Nazar.Fiqih dan Ushul
Fiqih, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Effendi, Satria. 2008. Ushul
Fiqih. Jakarta: Kencana.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul
Fiqih. Cet. II,. Bandung: Pustaka Satia.
Mahrus Kafabihi
Abdulloh, Lubb al-Ushul, Lirboyo : Santri Salaf Press, 2015.
Miftahul, Arufin. Ushul
Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media.1997.
Shofwan M. Sholehuddin, Pengantar
Memahami Nadzom Jauharul Maknun, Jombang : Darul Hikmah, 2008.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqih. Jakatra:
Kencana. 2011.
Rahmada shari, al -
haqiqah- dan - al-majaz- dalam-al-quran. http : // rahmadashariuinsuska.
blogspot.com /2013/07.
[2] Mutakallim artinya orang yang
memliki pembicaraan. M. Sholehuddin Shofwan, Pengantar Memahami Nadzoman
Jauharul Maknun (Jombang : Darul Hikmah, 2008), 140.
[3] Ibid,..
[4] Abdulloh Kafabihi Mahrus, Lubb
al-Ushul kajian dan Intisari dua ushul (Lirboyo : Lirboyo preesss, 2004),
141.
[7] Abdulloh, Lubb al-Ushul..,
141.
[8] M. Sholehuddin, Jauharul
Maknun,.. 140.
[9] Jalal as-Suyuthi, Syarh
Al-Kawkab as-Sathi’, vol 1 hal 121-123. Dan dikutip kembali oleh Abdulloh, Lubb
al-Ushul,.. 142.
[10] Abdulloh, Lubb al-Ushul..,
141-142.
[11] Ibid,.. 143.
[20] Rahmada shari, al - haqiqah-
dan - al-majaz- dalam-al-quran. http : // rahmadashariuinsuska.
blogspot.com /2013/07.
[26] Qoridah adalah perkara yang
dijadikan oleh mutakallim untuk menunjukan bahwa ia tidak menghendaki suatu
lafadz pada makna asalnya. M. Sholehuddin, Jauharul Maknun,.. 146.
[27] Ibid,..
[29] M. Sholehuddin, Jauharul
Maknun,.. 147.
[31] M. Sholehuddin, Jauharul
Maknun,.. 148.
[32] Ibid,..
[33] Surah Al Mu'min [40] : 13
[34] Surah Ibrahim [14] : 4
[35] Surah Ali 'Imran [3] 107
[36] Alaqoh halliyah artinya
keadaan sesuatu yang bertempat pada tempat lain. M. Sholehuddin, Jauharul
Maknun,.. 152.
[37] Surah An Nisaa' [4] : 2
[38] Surah Yusuf [12] : 36
[39] M. Sholehuddin, Jauharul
Maknun,.. 147-154.
[40] Sahal Mahfudz, Thariqah
Al-Hushul hal. 146 dan jalal as-Suyuti, Syarh Al-Kawkab as-Sathi, Vol 1 hal
125. Dan dikutip kembali oleh Abdulloh, Lubb al-Ushul.., 146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar