Tafsir Kontemporer
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan landasan pokok yang utama umat
Islam, semua kaum muslim berpijak baik dalam urusan duniawi maupun ukhrowi,
dengannya kaum muslim berpijak baik dalam urusan horizontal maupun vertical,
dengannya kaum muslim berpijak baik dalam urusan hidup secara individual maupun
sosial. Namun Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wata’ala yang tidak
bisa dipahami begitu saja, butuh ‘ilmu untuk sampai kepada pemahaman terhadap
maknanya, semua ilmu yang dibutuhkan itu tercakup dalam satu istilah “Ulum
at-Tafsir”, Ilmu tafsir. Penggunaan tafsir (penafsiran terhadap Al-Qur’an)
ini telah ada sejak masa Rasulallah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, hingga
sekarang dan akan berlangsung sampai yaumul akhir. Seiring dengan adanya proses
perkembangan zaman, yang mungkin bahkan pasti akan banyak perubahan situasi dan
kondisi, kebudayaan manusia semakin maju, teknologi semakin canggih, begitupun
transformasi informasi yang sangat cepat. Hal ini menjadi tantangan khususnya
bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan tetap memelihara nilai-nilai
keislamannya. Maka, agar Al-Qur’an mampu menyesuaikan dengan zaman, atau zaman
yang harus sesuai dengan Al-Qur’an, butuh pemahaman atau penafsiran yang sesuai
dengan kondisi yang dihadapi. Penafsiran yang disesuaikan dengan konteks social
ini sering disebut tafsir kontekstual. Tafsir kontekstual ini mulai dikenal
setelah munculnya ulama-ulama kontemporer, yang menampakan diri sebagai ulama
pembaharu. Penafsiran secara kontekstual pada saat ini sering disebut dengan
tafsir kontemporer.
Oleh karena itu, sehubungan perubahan keilmuan yang
sangat pesat, dan berkembangnya ilmu tafsir, pemakalah ingin lebih mengulas dan
mengetahui bagaimana perkembangan tafsir pada masa modern/kontenporer. Hal
tersebut dicurahkan pada sebuah makalah yang berjudul : Tafsir pada Masa Modern/Kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang menjadi
permasalahan, yang akan menjadi tema
sentral pembahasan pada makalah ini.
1. Apa pengertian Tafsir Kontemporer?
2. Bagaimana proses sejarah tafsir Kontemporer ?
C. Tujuan Penulisan
Dengan mengacu pada permasalah di atas, maka tujuan
penulisan makalah ini ialah:
1. Mampu memahami pengertian Tafsir Kontemporer.
2. Mampu memahami proses perkembangan sejarah Tafsir kontemporer, serta
mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab kemunculannya.
PENGERTIAN DAN SEJARAH
TAFSIR KONTEMPORER
A.
Pengertian Tafsir Kontemporer
Tafsir kontemporer terbagi ke dalam dua kata, yakni Tafsir
dan Kontemporer. Secara etimologi, Tafsir berasal dari kata
fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau urayan, Al-Jurjani
berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf wa
al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa
tidak akan lepas dari kandungan makna al-idhar (menjelaskan), al-bayan
(menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-izhar (menampakkan), dan al-ibanah
(menjelaskan).
Adapun mengenai pengrtian tafsir berdasarkan
terminologi (istilah), para ulama mengemukakannya sebagai berikut :
1. Menurut Syekh al-Jazairi dalam Shahih at-Taujih
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang
sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna
yang mendekatinya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan
salah satu dilalah lafazh tersebut.”
2. Menurut az-Zarkasyi
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan
menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, serta
menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.”
3. Menurut Al-Kilabi dalam Al-Tashil
Tafsir adalah
penjelasan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang
dikehindaki nash, isyarat, atau tujuannya.[[1]]
Jadi Tafsir Al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk
memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya
berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang
arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami
dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan
hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan
yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya.
Kata selanjutnya ialah Kontemporer, dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada
masa kini, dewasa ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah
‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian
atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid
yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer
dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat. [[2]]
B. Sejarah Tafsir
1. Sejarah Perkembangan Tafsir
i. Tafsir Pada Zaman Nabi
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga
mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga banyak
diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan Al-Qur’an dan
mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang
terkandung dalam Al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif
dalam memahami isi dan kandungan Al-Qur’an. Sebagai orang yang paling
mengetahui makna Al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada
sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab, dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan,
(QS. 16:44).
Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata :
“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda
tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
ii. Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an
yaitu, Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan
sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar
dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus
keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah:
Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah
bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah.
Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib,
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari
Rasulullah.
Penafsiran sahabat yang didapatkan dari Rasulullah
kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling kurang adalah Mauquf.
iii. Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak
jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari
mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir
diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang
melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair,
Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab,
yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud,
diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry
dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi
hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat
tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
iv. Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan
permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits
yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan
dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan
setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam
tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke
Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas
sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini
menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan
para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau
kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari
ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai
dengan buku-buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil
aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan
periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang
keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti
ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan
tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan
seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil
Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan
Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.[[3]]
2. Sejarah Perkembangan Tafsir
Kontemporer
Abad
ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di
berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya
tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu.
Kajian
tentang Al-Qur`an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah mandeg.
Setiap generasi memiliki tangung jawab masing-masing untuk menyegarkan kenbali
kajian sebelumnya, yang di anggap out date.
Kemunculan
metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan
ketika penafsiran Al-Qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan
situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang
penting. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu islam dari Delhi,
merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “Modern” , dua
karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits fi
rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern.
Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat
hal serupa , maka di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad
Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal
tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di
penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull ( w. 1978 ), Hasan Hanafi ( wafat .
Bita Shathi ( w. 2000 ), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan
Fazlur Rahman.
Segala sesuatu yang berkembang tentunya memiliki
proses perubahan bentuk atau hanya perubahan sifat-sifatnya. Sebagaimana
Al-Qur’an, bentuknya memang tidak berubah karena ia merupakan “teks baku” atau
“teks Mati” seiring berhentinya proses pewahyuan, sehingga tidak lagi dapat berkembang
guna menjawab persoalan kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses
pewahyuan. Namun yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan
zaman, karena sebagaimana kita yakini bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan
lil’alamin, rahmat bagi semua manusia bahkan semua makhluk yang ada di muka
bumi. Tentunya tidak hanya dilihat dari sisi
kata rahmatan lil’alamin, namun juga perlu dilihat dari sisi
proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman. Ini tiada lain adalah metode
pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sendiri dengan tetap
mengacu pada aturan-aturan penafsiran yang telah disepakati ulama. Model
penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir kontekstual. Penafsiran
kontekstual ayat sebetulnya sudah ada sejak masa Islam awal bahkan pada zaman
Nabi Muhammad SAW. Maka penafsiran kontekstual dipakai oleh muslim salaf (klasik) dan Muslim Khalaf (Kontemporer).[[4]]
3. Ciri-ciri Tafsir Kontemporer
a. Dari periode I-II, kebanyakan ayat yang ditafsirkan secara umum atau Bil
Ma’tsur, namun para periode III, tafsir mulai ditafsirkan secara khusus dan
banyak yang berdiri sendiri, atau berdasarkan Ra’yi, yang dimulai oleh Al-Farra
(W. 207 H) dalam kitab Ma’ani Al-Qur’an.
b. Banyaknya bermunculan tafsir Ma’udhui contohnya Syekh Muhammad Syaltut
dalam tafsirnya Al-Qur’an al-Karim.
c. Banyaknya corak penafsiran yang muncul, yang tadinya hanya terfokus ke pada
Arab, sebagaimana dengan perkembangan hidup mufasirn, yang mana sekarang
banyaknya bermunculan corak baru. Seperti corak Ilmi, corak Falsafi dan
lain-lain.[[5]]
4. Contoh-contoh Tafsir kontemporer/Modern
1. Tafsir Al-Qur’an al-Karim, karya Muhammad Rashid Ridha, terkenal dengan
Tafsir Al-Manar.
2. Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, terkenal dengan tafsir
al-Maraghi.
3. Mahasin al-Ta’wil, karya Jamaal al-Din al-Qasim, terkenal dengan tafsir
al-Qasimi.
4. Tafsir Al-Jawahir, karya Tantawi Jawhari, terkenal dengan tafsir al-Jawahir.
5. Fi Zilaal Al-Qur’an, karya Shahid Sayyid Qutb, terkenal dengan tafsir
al-Zilaal.
7. Al-Misbah, karya Quraish Shihab, terkenal dengan tafsir al-Misbah.
8. Tafsir Ar-Rahman, karya Oemar bakri, terkenal dengan tafsir Ar-Rahman.
9. Tafsir An-Nur, Karya Hasbi Ash-Shiddieqy,
terkenal dengan tafsir An-Nur.
10. Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun, Karya. M.E. Hasim, terkenal dengan
tafsir lenyepaneun.
KESIMPULAN
Tafsir Kontemporer
ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi
kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid
yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan
jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
serta kondisi sosial masyarakat.
Segala sesuatu yang
berkembang tentunya memiliki proses perubahan bentuk atau hanya perubahan
sifat-sifatnya. Sebagaimana Al-Qur’an, bentuknya memang tidak berubah karena ia
merupakan “teks baku” atau “teks Mati” seiring berhentinya proses pewahyuan,
sehingga tidak lagi dapat berkembang guna menjawab persoalan kehidupan manusia
sebagaimana terjadi pada saat proses pewahyuan. Namun yang terkandung di dalamnya
akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman, karena sebagaimana kita yakini
bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semua manusia
bahkan semua makhluk yang ada di muka bumi. Tentunya tidak hanya dilihat dari
sisi kata rahmatan lil’alamin, namun
juga perlu dilihat dari sisi proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman.
Ini tiada lain adalah metode pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri dengan tetap mengacu pada aturan-aturan penafsiran yang telah
disepakati ulama. Model penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir
kontekstual. Penafsiran kontekstual ayat sebetulnya sudah ada sejak masa Islam
awal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka penafsiran kontekstual dipakai
oleh muslim salaf (klasik) dan
Muslim Khalaf (Kontemporer).
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong
BalasHapus