IMAM MUSLIM
A. Pendahuluan
Umat Islam meyakini ada
dua rujukan pokok untuk istinbat al hukmi (pengambilan hukum)
dalam menentukan keabsahan ‘amaliyah yang biasa mereka kerjakan.
Sumber pertama adalah al-Qur’an, karena ia adalah wahyu Allah, maka sepantasnya
al-Qur’an menjadi rujukan pertama dalam hierarki istinbat al hukmi.
Kemudian ada sunnah nabi, sunnah nabi menempati posisi kedua melihat
kapasitasnya yang “bukan wahyu Allah”, melainkan cerminan dari tingkah-laku
utusan Allah (nabi/rasul).
Walaupun begitu, segala
macam perbuatan yang dilakukan Nabi/Rasul diyakini merupakan “dalil”
lain yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, hal ini dinisbatkan pada
posisi nabi/rasul yang “tidak mungkin” melakukan kesalahan karena senantiasa
selalu diarahkan langsung oleh Allah SWT ketika melakukan kesalahan.
Sebagian besar sunnah Nabi
dipercaya termanifestasikan dalam hadis atau dalam kata lain, teks hadis adalah
kendaraan dari sunnah nabi. Urgensi dari autentifikasi hadis pun menjadi
semakin ditekankan ketika ia dihadapkan dalam ‘memahami’ wahyu Allah[1]. Melihat
begitu kompleks dan panjangnya perjalanan sunah nabi yang ‘terbukukan’ menjadi
hadis, para ulama ahli hadis memiliki cara tersendiri dalam mengklasifikasikan
autentifikasi hadis yang kemudian tertuang dalam kitab-kitab hadis karya mereka[2]. Sebut
saja beberapa kitab kanonik (kutub at sittah) yang menjadi rujukan umat
muslim berkenaan dengan hadis, dari sekitar enam kitab kanon hadis ada dua
diantaranya yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya, pertama, kitab
hadis yang diyakini memiliki autentifikasi mendekati sempurna adalah kitab
hadis karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza
Al Bukhari (Jami’ Sohih Bukhari), hal ini
dinisbatkan pada kitab hadis karya Imam Bukhari salah satunya alasannya
adalah karena dalam perjalanan sejarah pengkodifikasian hadis, beliau dikenal
menjadi orang pertama yang menerapkan kritik sanad dan matan hadis
sebagai syarat mutlak sebuah teks hadis dapat dinilai keabsahannya dan
bersumber dari Rasulallah Saw[3]. Kitab
hadis kedua yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya adalah
karya Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisaburi atau
biasa dikenal dengan Imam Muslim(Sohih Muslim). Dalam
makalah kali ini penulis akan coba ‘mengupas’ kitab hadis karya Imam
Muslim tentunya dari berbagai sudut pandang yang penulis ketahui
berkenaan dengan kitab hadis yang satu ini, baik dari biografi, kemudian latar
belakang penulisan, metode penyusunan yang digunakan oleh imam Muslim dalam
menuliskan kitabnya, sistematika penulisan hingga komentar para tokoh
tentangnya.
B. Biografi Imam Muslim
Nama lengkap imam Muslim adalah Abu
Al-Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi al-Nisyaburi. Ia dinisbatkan kepada
Nisyabur karena dilahirkan di kota Naisyabur Iran pada tahun 204 H/820 M. Ia
juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qushairi ibn Kan’an ibn Rabi’ah ibn
Sha’ Sha’ah suatu keluarga bangsawan besar di Naisabur.[4]
Pengembaraan Imam Muslim dalam menimba ilmu dimulai sejak usianya
menginjak 15 tahun, dalam perrjalanan ke beberapa tempat beliau berguru pada tokoh-tokoh
besar kata itu, sebut saja Ahmad bin Hambal dan Abdullah Maslamah (Irak), Ahmad
Bin Yunus (Kuffah), Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih (Khurasan), Muhammad bin Mahran dan Abu‘Ansan (Ray), ‘Amr
bin Sawad dan Harmalah bin Yahya (Mesir), Sa’id bin Mansur dan Abu
Mas’Abuzar (Hizaz), Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah, Syaiban
bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri dan Lain-laninya.[5]
Karena rihlah (perjalanan) untuk belajar hadis merupaka
unsur penting, Imam Muslim mengunjungi hampir seluruh pusat pengetahuan
berkali-kali. Perjalanan pertamanya, barangkali, adalah ke Mekah untuk berhaji
ditahun 220 H. dalam perjalan ini ia belajar dari Qa’nabi dan lain-lain lalu
kembali ke negri asalnaya dalm waktu singkat. Nampaknya rihlah-Nya
yang sesungguhnya dimulai sekitar tahun 230 H. ia berangkat ke Irak, Hijaj, Siria,
dan Mesir. Terakhir kali ke Baghdad adalah tahun 259 H. Imam Muslim
meninggal dunia pada tanggal 25 rajab tahun 261 H DI Nashar Abad, salah satu
perkampungan di Naisabur. [6]
Selain dikenal banyak mempunyai guru dari beberapa Negara dalam rihlah
ilmiyahnya,imam Muslim pun dikenal banyak mempunyai murid dalam hal
meriwayatkan hadits darinya, sebut saja Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun,
Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah
al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli,
Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan
al-Faqih az-Zahid dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain.[7]
Dari kejeniusan dan tangan dingin imam Muslim telah
terlahir banyak karya-karya dalam bentuk tulisan, selain kitab Sohih
Muslim yang monumental, beberapa karya imam Muslim diantaranya
adalah :
1. Al Asma’ wa al kuna
2. Ifrad asy Syamiyin
3. Al-aqran
4. Al-Intifa’ bi julud as Siba’
5. Aulad ash Shahabah
6. Auham al Muhadditsin
7. At-Tarikh
8. At-Tamyiz
9. Al Jami’
10. Hadis Umar b. Syu’aib
11. Rijal ‘Urwah
12. Sawalatuh Ahmad b. Hanbal
13. Thabaqad
14. Al ‘Ilal
15. Al Mukhadramin
16. Al Musnad al Kabir
17. Masya’ikh at Tsauri
18. Masya’ikh Syu’bah
19. Masya’ikh Malik
20. At Wahdan
21. As Shahih al Musnad [8]
C. Latar Belakang Penulisan Kitab Sohih Muslim
Tidak ada kekosongan
yang bisa menjadikan berwujudnya sesuatu, begitupun juga dengan kitab
hadis Sohih Muslim. Perseteruan ahl al Ra’y serta ahl
al Hadits dipercaya menjadi salah satu embrio terciptanya
kitab hadis. Perseteruan yang dimulai pada abad kedua ini kemudian semakin
memuncak pada awal abad ketiga hijriyah. Para pemimpin kurun pertama daulah
Abasiyah[9] yang
berideologi rasionalis banyak memberikan kontribusi terhadap berkembangnya
paham ini, terbukti saat mereka berkuasa terbangunlah sebuah lembaga Bait
al Hikmah yang berkonsentrasi pada penerjemahan karya-karya filusuf
Yunani kedalam bahasa Arab. Setelah tampuk kekuasaan Daulah Abasiyah berada di
tangan Khalifah Mutawakkil (232 H), para penggiat
hadis (termasuk didalamnya Imam Muslim) serasa mendapatkan ‘angin
segar’ karena konfrontasi dengan penguasa sudah tidak lagi menjadi hal yang
menghambat berkembangnya kreatifitas yang berhubungan dengan hadis.[10]
Hal lain yang memicu
terbukukannya kitab hadis Sohih Muslim adalah ketika kemajuan
dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai pada dinasti Abasiyah dibarengi dengan
memanasnya konflik yang bernuansa politis oleh beberapa kelompok, dimana tak
jarang demi terwujudnya kepentingan, mereka menciptakan hadis palsu sebagai
legitimasi dari ‘hajat busuk’ mereka. Tentu saja hal ini menjadi keresahan
tersendiri bagi sebagian besar masyarakat pada saat itu.
Dengan kata lain,
secara garis besar kitab hadis Imam Muslim lahir atas
‘desakan’ kebutuhan masyarakat akan pentingnya otentifikasi hadis dikarenakan
banyak bertebaran hadis palsu yang digunakan oleh sebagian kalangan untuk
mendukung hasrat ‘politis’nya. Dari satu sisi kehadiran kitab hadis ini menjadi
‘penawar’ akan merebaknya ‘racun’ yang banyak berkembang pada masyarakat kala
itu, namun disisi yang lain kitab hadis ini pun dianggap sebagai wujud
‘perlawanan’ para muhadditsin (baca: pemegang hadis) untuk
meng-counter hegemoni kaum rasionalis.
1. Metode Penyusunan dan Penulisan Kitab Sohih Muslim
Secara eksplisit dalam
kitab Sohih Muslim, penulis belum menemukan metodologi yang
digunakan oleh imam Muslim dalam menyusun kitab hadisnya.
Namun dari beberapa pemaparan ulama ahli hadis, dapat disimpulkan bahwa ada
beberapa syarat yang digunakan oleh imam Muslim dalam
‘menyaring’ hadis yang kemudian dituliskan dalam kitab hadis karyanya, diantara
syarat yang digunakan imam Muslim hasil penelitian para ulama
adalah:
a) hanya meriwayatkan
Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat
dalam hal hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
b) hanya meriwayatkan
hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung
sanadnya), dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.).
Metode penulisan
kitab Sohih Muslim tergolong rapih. Hal ini dapat dilihat, dari
ketelitian dan kreatifitas yang beliau tuangkan dalam penyajian kritab hadis
ini, misalnya:
1) menyebutkan rawi-rawi dari beberapa hadis yang mempunyai
tema yang sama dengan tanpa memotong satu jalur periwayatan dengan redaksi
hadisnya, hanya dipisahkan dengan huruf khâ (ح) yang dicetak tebal
sebagai tanda batas satu riwayat disambung dengan jalur riwayat yang lain.
2) Setelah selesai menyebutkan beberapa jalur sanad yang berbeda dari satu
tema hadis yang sama, kemudian barulah disebutkan redaksi hadis terkait, atau
menyebutkan terlebih dahulu redaksi hadis, baru kemudian disampaikan beberapa
jalur periwayatan yang berbeda dari hadis terkait. Hal ini mengakibatkan
minimnya pengulangan hadis dalam penyebutannya, kecuali jika dibutuhkan untuk
mengulang karena keadaan yang ‘memaksa’ untuk dilakukannya pengulangan.
3) digunakannya ‘cetak tebal’ pada beberapa cara transmisi hadis, misalnya
lafadhaddatsana (حدثنا), Akhbarâna (اخبرنا)
dan haddatsani (حدثنى) hal ini mengindikasikan adanya ‘perbedaan
situasi’ yang perawi alami ketika menerima hadis.
2. Sistematika Penulisan Kitab Sohih Muslim
Kitab hadis karya Imam
Muslim diberi nama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min
al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw, namun lebih
dikenal denganJami al-Sahih atau Sahih Muslim. Sistematika yang
digunakan Imam Muslimtergolong sangat baik, ini dapat dilihat dari
cara beliau mengklasifikasikan hadis-hadis kedalam tema beasr dalam beberapa
bagian yang secara khusus membincang persoalan tertentu. Kitab hadis ini
menurut hemat penulis sepintas memberikan nuansa fiqh, diawali dengan muqaddimah,
kemudian pada bagian pertama (Imam Muslimmenyebutnya ‘kitab’)
beliau membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280
hadis, disusul dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh (34 bab dan 111
hadis), hâid, shalat dan lain sebagainya, untuk lebih lengkapnya berikut tabel
dari sistematika penulisan kitab Sohih Muslim[11].
No
|
Nama Kitab
|
Jumlah
|
|
Bab
|
Hadis
|
||
.
|
Muqaddimah
|
74
|
-
|
1
|
Iman
|
96
|
280
|
2
|
Taharah
|
34
|
111
|
3
|
Haid
|
33
|
126
|
4
|
Shalat
|
52
|
285
|
5
|
Masajid wa Mawadi’ al-Shalat
|
56
|
316
|
6
|
Shalat al-Musafirin wa al-Qasriha
|
56
|
312
|
7
|
Al-Jum’ah
|
19
|
73
|
8
|
Al-Aidain
|
5
|
22
|
9
|
Al-istisqa’
|
5
|
17
|
10
|
Al-Kusufh
|
5
|
29
|
11
|
Al-Janaiz
|
37
|
108
|
12
|
Al-Zakat
|
56
|
177
|
13
|
As-Siyam
|
40
|
222
|
14
|
Al-I’tikaf
|
4
|
10
|
15
|
Al-Hajj
|
97
|
522
|
16
|
An-Nikah
|
24
|
110
|
17
|
Ar-Rada’
|
19
|
32
|
18
|
At-Talaq
|
9
|
134
|
19
|
Al-Li’an
|
1
|
20
|
20
|
Al-Atq
|
7
|
26
|
21
|
Al-Buyu’
|
21
|
123
|
22
|
Al-Masaqah
|
31
|
143
|
23
|
Al-Faraid
|
5
|
21
|
24
|
Al-Hibah
|
4
|
32
|
25
|
Al-Wasiyah
|
6
|
22
|
26
|
An-Nadzar
|
5
|
13
|
27
|
Al-Aiman
|
13
|
59
|
28
|
Al-Qasamah Wa al-Maharibin Wa al-Qishas Wa al-Diyat
|
11
|
29
|
29
|
Al-Hudud
|
11
|
46
|
30
|
Al-Aqdiyat
|
11
|
21
|
31
|
Al-Luqathah
|
6
|
19
|
32
|
Al-Jihad
|
51
|
150
|
33
|
Al-Imarah
|
56
|
185
|
34
|
Asha’id wa al-Dzhabaih wa ma yu’kilu hayawan
|
12
|
60
|
35
|
Al-Adaha
|
8
|
45
|
36
|
Al-Asyribah
|
35
|
188
|
37
|
Al-Libas
|
35
|
127
|
38
|
Al-Adab
|
10
|
45
|
39
|
As-Salam
|
41
|
155
|
40
|
Al-fadhz
|
5
|
21
|
41
|
Al-Syiir
|
2
|
10
|
42
|
Ar-Ruyah
|
5
|
23
|
43
|
Al-Fadail
|
36
|
174
|
44
|
Fadail as-Sahabah
|
60
|
232
|
45
|
Al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab
|
51
|
166
|
46
|
Al-Qadar
|
8
|
34
|
47
|
Al-Ilmu
|
6
|
16
|
48
|
Ad-dzkr wa Du’a wa taubah wa Istigfar
|
27
|
101
|
49
|
At-Taubah
|
11
|
60
|
50
|
Shifat al-Munafiqin
|
1
|
83
|
51
|
Al-Jannah wa Shifat Nafsiha wa Ahliha
|
40
|
84
|
52
|
Al-Fitan wa syarait as Sa’ah
|
28
|
143
|
53
|
Al-Zuhud wa ar Rafaiq
|
20
|
75
|
54
|
At-Tafsir
|
8
|
34
|
D. Pendapat Para Tokoh Tentang Kitab Sohih Muslim
Menurut beberapa tokoh
ahli hadis, menyatakan bahwa kitab Sohih Muslim ini memiliki
berbagai macam keunggulan, sedikitnya ada enam poin yang bisa dijadikan
argumentasi:
1) Susunan isinya
tergolong tertib dan sangat sistematis
2) Pemilihan redaksi
matan hadisnya sangat teliti dan cermat
3) Proses seleksi dan
akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak terjadi tercampurnya satu
matan hadis dengan matan hadis yang lain
4) Penempatan dan
pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit
sekali terjadi pengulangan atau penyebutan Hadis
5) Kitab Sahih Muslim
sangat membantu untuk mencari Hadis dan mengistimbatkan suatu hukum,
sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai dengan suatu
masalah
6) Kitab ini
menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab, sehingga memudahkan para
pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada.
Namun dari kelebihan
yang dimiliki, kitab hadis ini pun tidak sepi dari kritik yang membangun. Sebut
saja kritik yang dilontarkan oleh sebagian besar ulama ahli hadis yang
menempatkan kitab hadis Imam Muslim pada urutan kedua setelah
kitab hadis karyaImam Bukhari, hal ini terjadi dikarenakan terlalu
longgarnya syarat yang diterapkan oleh imam Muslim dalam menentukan
hadis sohih. Dalam kasus penentuan kesahihan hadis, imam Bukhori mensyaratkan
harus bertemu (liqâ) antara murid dan guru, sedangkanimam Muslim cenderung
‘mengabaikan’ liqâ sebagai standarisasi hadis sohihnya, tetapi
dicukupkan dengan sezaman (mu’asyârah) antara murid dan gurunya[12].
Syaikh Ibnu Shalah
mengatakan, dalam kitab Sahih Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw, Imam
Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang menurutku berkualitas
sahih aku letakkan dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam kitab
ini hanya hadis-hadis yang kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut
Syaikh Ibnu Shalah membuat orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya
terdapat hadis yang kesahihannya diperseisihkan dalam kitab hadis Imam
Muslim[13]
E. Jumlah Hadis dalm Shahih Muslim
Menurut perhitungan M. Fu’ad ‘Abd al Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadis.
Metode perhitungan tidak didasarkan pada sistem isnad, tapi pada
subjek. Seperti kita ketahui, muhatditsin biasa menghitung
melalui isnad. Maka, jika metode ini kita terapkan, jumlahnuya mungkin akan
meningkat dua kali.[14]
F. Kesimpulan
Nama lengkap imam Muslim adalah Abu
Al-Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi al-Nisyaburi. Ia dinisbatkan kepada
Nisyabur karena dilahirkan di kota Naisyabur Iran pada tahun 204 H/820 M. Ia
juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qushairi ibn Kan’an ibn Rabi’ah ibn
Sha’ Sha’ah suatu keluarga bangsawan besar di Naisabur. Karena rihlah (perjalanan)
untuk belajar hadis merupaka unsur penting, Imam Muslim mengunjungi hampir
seluruh pusat pengetahuan berkali-kali. Perjalanan pertamanya, barangkali,
adalah ke Mekah untuk berhaji ditahun 220 H. dalam perjalan ini ia belajar dari
Qa’nabi dan lain-lain lalu kembali ke negri asalnaya dalm waktu singkat.
Nampaknya rihlah-Nya yang sesungguhnya dimulai sekitar tahun 230 H.
ia berangkat ke Irak, Hijaj, Siria, dan Mesir. Terakhir kali ke Baghdad adalah
tahun 259 H. Imam Muslim meninggal dunia pada tanggal 25 rajab tahun 261 H
DI Nashar Abad, salah satu perkampungan di Naisabur.
Latar belakang penulisan kitab, secara garis besar kitab hadis Imam
Muslim lahir atas ‘desakan’ kebutuhan masyarakat akan pentingnya
otentifikasi hadis dikarenakan banyak bertebaran hadis palsu yang digunakan
oleh sebagian kalangan untuk mendukung hasrat ‘politis’nya.
Menurut beberapa tokoh
ahli hadis, menyatakan bahwa kitab Sohih Muslim ini memiliki
berbagai macam keunggulan, di antaranya:
1) Susunan isinya
tergolong tertib dan sangat sistematis
2) Pemilihan redaksi
matan hadisnya sangat teliti dan cermat
3) Proses seleksi dan
akumulasi matannya sangat teliti
4) Penempatan dan
pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat teratur
5) Kitab Sahih Muslim
sangat membantu untuk mencari Hadis dan mengistimbatkan suatu hukum
6) Kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam
satu tema bab
[1] Kamaruddin, Metode
Kritik Hadis (Jakarta, Penerbit Hikmah 2009) , 1
[2] M. Shaleh Putuhena, Historiografi
Haji Indonesia (Yogyakarta, LKis 2007), 10-13
[4] Zainul Arifin,
Studi Kitab Hadis (Surabaya : Pustaka Al-Muna, 2010), 106
[5] Ibid,.
107
[6] http://as87751.blogspot.com/2012/10/shahih-imam-muslim.html
[7] Dosen Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2003), 60.
[11] Ibid,.
68-69
[12] Walaupun sebagian besar
menempatkan kitab Sohih Muslim pada urutan kedua dari segi
‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab hadis Imam Bukhari,
namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al Hafidz Syaikhul HakimAbi
‘abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko sepakat bahwa kitab
hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan pertama diatas
kitab hadis Imam Bukhari. Lihat Imam Nawawi, Terjemah Sahih
Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002), 53-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar