SYARAT-SYARAT
MUFASSIR
DALAM
MENAFSIRKAN AL-QUR’AN
A.
Pendahuluan
Tafsir adalah ilmu
yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang bertujuan supaya umat atau masyarakat
sekitar mengetahui apa makna-makna dan isi kandungan al-Qur’an.
Rasulullah SAW adalah mufassir
pertama al-Qur’an dan merupakan sumber tafsir bi al-ma’tsur,[1]
kemudian berlanjut kepada masa Sahabat, Tabiin, dan Tabiit-Tabiin
(pengikut tabiin) yang mana sudah mulai semakin berkembangan seperti dalam hal
pengkajian kandungan al-Qur’an dengan menciptakan kitab-kitab tafsir yang
merupakan kegiatan para ulama dalam mengkaji kandungan al-Qur’an secara lebih
mendalam dari berbagai sisi keilmuan yang menghasilkan suatu kitab tafsir hasil
karyanya.
Upaya menafsirkan
al-Qur’an dengan benar merupakan pembukaan tentang seruan, risalah dan syariat
Islam. Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan para pakar dalam bentuk
untuk kembali menelaah al-Qur’an dan tafsirnya. Salah satu indikator luapan
perhatian untuk kembali bersandar kepada al-Qur’an (al-Ruju’ ila AlQur’an)
dengan menggali ke-hidayahannya[2]
berupa ilmu dan amaliyahnya.[3]
Mufasir adalah orang
yang berkaryaa membuat kitab tafsir dan orang yang menjabarkan apa isi dalam
kandungan al-Qur’an. Dengan begitu syakralnya al-Qur’an dan kehati-hatian para
ulama dalam menafsirkan al-Qur’an maka di bentuklah suatu aturan, syarat-syarat,
kaidah-kaidah dan apa saja kretaria mufasir dalam membentuk/membuat suatu
tafsir, sehingga menimbulkan tafsir tersebut layak dijadikan sumber acuan atau
tidak.
Begitu pital dan
sangat menggelitiknya permasalahan ini sehingga pemakalah ingin lebih meneliti
bagaimana syarat-syarat seorang mufasir dalam membuat suatu karyanya sehingga
mempengaruhi makna dan hukum yang di ungkapkanya. Kemudian penulis
mencurahkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Syarat-Syarat Mufassir
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an.
B.
Definisi Tafsir Dan Mufassir
Tafsir menurut etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti (الإيضاح والتبيين)
“menjelaskan”.[4]
Lafal dengan makna ini yang mana terdapat
di dalam al-Qur’an, yaitu :
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33)
Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.
Selain itu, kata tafsir berasal dari
derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti
(الإبانةوالكشف)
“menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga
bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[5]
Adapun secara istilah, para ulama
mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara
satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân
fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى
الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه
“Ilmu
untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu
‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan
hikmahnya.”[6]
Sementara
itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل
لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد.
“Ilmu
yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan
manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan
penjelasan makna.”[7]
Definisi
tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
“Ilmu yang membahas perihal Al-Quran
Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala
berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”
Dari beberapa pendapat
di atas, dapat diartikan bahwa Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami
dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang bertujuan supaya umat atau masyarakat sekitar mengetahui apa
makna-makna isi kandungan al-Qur’an.
Husain
bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih
panjang:
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى
بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته
جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
“Mufassir
adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui
maksud Allah ta‘ala dalam al-Qur’an
sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir
dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain
itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau
menuliskannya.”[8]
Setelah begitu banyak definisi-definisi tentang Tafsir
dan Mufasir, pemakalah mencoba berpendapat bahwa tafsir merupakan bentuk suatu
aktifitas atau karya (seseorang) dalam menuangkan insfirasinya dari berbagai
pengetahuan di dalam ilmu tafsir dalam menuangkan maksud dan makna isi
kandungan al-Qur’an, sedangkan Mufasir nama sebutan orang yang mengarang tafsir
tersebut.
C.
SYARAT-SYARAT MUFASSIR
1. Aspek
Pengetahuan
Aspek
pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang
membantu dan memiliki urgensitas untuk
menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan
memiliki kapabilitas untuk menafsirkan al-Qur’an karena tidak terpenuhi
faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus
dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan
syarat-syarat seorang alim.
Syarat yang berkaitan dengan aspek
pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua,
yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan
metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan
lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[9]
Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Bahasa Arab karena dengannya
seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya
sesuai dengan objek.
b.
Tashrîf (sharaf) karena dengannya
dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu
kata.
c.
Isytiqâq (derivasi) karena
suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda,
maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح).
d.
Al-Ma‘âni karena dengannya
dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi
manfaat suatu makna.
e.
Al-Bayân karena dengannya
dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi
perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
f.
Al-Badî‘ karena dengannya
dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi
keindahan suatu kalimat.
Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah
yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir
agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) al-Qur’an.
g.
Ilmu qirâ’ah karena
dengannya dapat diketahui cara mengucapkan al-Qur’an dan kuat tidaknya model
bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
h.
Ushûluddîn (prinsip-prinsip
dien) yang terdapat di dalam al-Qur’an
berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada
Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan
mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
i.
Ushul fiqih
karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi
penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
j.
Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab
turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan
peristiwa diturunkannya.
k.
An-Nâsikh wa al-Mansûkh
agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari
ayat selainnya.
l.
Fiqih.
m. Hadits-hadits
penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak
diketahui).
n.
Ilmu muhibah, yaitu ilmu
yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Ilmu-ilmu di atas merupakan alat
bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir
kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an tanpa menguasai
ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yi (akal) yang
dilarang.[10]
Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak
menafsirkan dengan ra’yi
(akal) yang dilarang.
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer,
menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[11],
maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu
di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1.
Mengetahui secara sempurna
ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap al-Qur’an yang turut
membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2.
Mengetahui pemikiran filsafat,
sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu
mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan
hakikat dan sikap al-Qur’an
Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah
berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta
keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3. Memiliki
kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk
memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas,
seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan al-Qur’an. Manhaj
(metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di
kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj
ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan
dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsîr bil ma’tsûr
tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.
a). Menafsirkan
Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an
Ayat
al-Qur’an
terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain.
Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain.
Contoh
penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an adalah firman Allah ta‘ala
dalam surah
Al-Fatihah: 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ *
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.”
Orang-orang
yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan
barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
b). Menafsirkan
Al-Qur’an
dengan As-Sunnah
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiap hukum
yang diputuskan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berasal
dari pemahamannya terhadap al-Qur’an.
Allah ta‘ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS An-Nisa’: 105)[12]
Contoh penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah di
antaranya adalah terdapat pada penafsiran kata
azh-zhulmu (kezaliman) dalam
firman Allah ta‘ala,
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا
إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang
yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka
itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.”
(QS. Al-An‘am :
82)
Ahmad,
Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata,
“Tatkala turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur
adukkan iman mereka dengan kezaliman’, para sahabat merasa keberatan.
Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat
kezaliman terhadap dirinya?’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya artinya
bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan
oleh seorang hamba shalih (Lukman), ‘Sesungguhnya syirik adalah
kezaliman yang besar’. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat
itu) adalah syirik.”[13]
c). Mengambil
pendapat para sahabat
Abu
Abdurrahman As-Salma, seorang tabi’in yang mulia, meriwayatkan dari para senior
penghapal al-Qur’an
dari sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila
turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga
mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, “Kami
mempelajari al-Qur’an,
ilmu, dan amal secara keseluruhan.”[14]
Diriwayatkan
dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‘ud, bahwa ia berkata, “Barangsiapa di
antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para
sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling
mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling
baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallâhu
‘alaihi wa sallam dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan
ikutilah atsar mereka.”[15]
Para
sahabat menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, lalu dengan As-Sunnah.
Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam, mereka melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab
tulen, menyaksikan turunnya al-Qur’an,
dan menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
sementara al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir
sahabat dan lebih memprioritaskannya dari pada tafsir generasi
sesudahnya karena pada diri mereka terpenuhi sarana-sarana untuk melakukan
ijtihad sebagai berikut:
Pertama, mereka mengetahui
maksud dan rahasia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui
ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab.
Kedua, mereka mengetahui
adat dan karakter bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat
yang berkaitan dengan perbaikan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta’ala,
(إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي
الْكُفْرِ) “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah
menambah kekafiran” (QS At-Taubah: 37) dan (وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
ظُهُورِهَا) “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya” (QS Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat dipahami
oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah.
Ketiga,
mereka
mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya al-Qur’an al-Karim. Hal ini
membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan
Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan
bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin.
Keempat,
mereka
mengetahui asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena mereka
menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang
disebutkan Al-Qur’an.
Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh
karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullâh ta‘âlâ mengatakan,
‘Mengetahui asbâb an-nuzûl dapat membantu untuk memahami suatu ayat
karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap
musabab.’[16]
Kelima,
mereka
memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan
kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak
faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah
perjalanan hidup para sahabat radhiyallâhu ‘anhum. Dengan faktor-faktor
tersebut, para sahabat banyak memahami ayat al-Qur’an Al-Karim yang
tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.[17]
Contoh tafsir sahabat di antaranya
adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ta‘ala,
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا
أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا
مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
“Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang rapat, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman?”
(QS Al-Anbiya‘: 30)
Ibnu
Abbas mengatakan, “Langit dahulu rapat, yaitu tidak menurunkan hujan. Bumi
dahulu rapat, yaitu tidak mengeluarkan tumbuhan. Lalu Allah memisahkan langit
dengan hujan dan bumi dengan tumbuhan.” Seseorang kemudian datang kepada Ibnu
Umar radhiyallâh ‘anhumâ dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh Ibnu
Abbas. Ibnu Umar berkata, “Aku katakan, mengapa aku harus heran terhadap
keberanian Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur’an. Sekarang engkau telah
mengetahui bahwa ia dianugerahi ilmu.” Atsar ini diriwayatkan oleh Abu
Nu‘aim dalam Al-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnya dalam Al-Itqân.[18]
d). Mengambil
pendapat para kibâr (senior) tabi’in.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama
mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukil dari tabi‘in. Pendapat yang
dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi‘in termasuk tafsir
bil ma’tsûr karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat.
Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang
paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi‘in. Ia mengatakan,
“Ilmu paling utama dalam tafsir al-Qur’an,
makna hadits, serta pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar
yang berasal dari sahabat, tabi‘in, dan orang-orang yang mengikuti mereka
hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani.”[19]
Setelah menempuh manhaj tafsir bil ma’tsûr
terlebih dahulu, barulah seorang mufassir diperbolehkan menggunakan ra’yunya
dalam menafsirkan al-Qur’an
dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab,
menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma’tsûr akan berhenti
pada makna-makna, pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh
riwayat-riwayat yang ada.[20]
Sementara
itu, tafsir bir ra’yi yang sesuai dengan kaidah itulah yang justru
berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Karena tafsir yang demikian
yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum,
dan problematika kehidupan lainnya.[21]
2. Aspek
Kepribadian
Adapun syarat kedua yang harus
terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek
kepribadian. Aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus
dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam
menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya.
Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang
alim.
Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang
tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya
rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan,
hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau
bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk
kepada akalnya. Semua
ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada
sebagian lainnya. Saya katakan, sebagaimana firman Allah SWT :
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي
الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku
akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa
alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
Sufyan
bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas
adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai al-Qur’an.’ Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim.”[22]
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, para ulama
yang berkecimbung dibidang tafsir mengungkapkan pendapatnya, diantaranya :
a. Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh
seorang mufassir, yaitu:
1.
Akidah yang lurus
2.
Terbebas dari hawa nafsu
3.
Niat yang baik
4.
Akhlak yang baik
5.
Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.
Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya
ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.
Memperlihatkan taubat dan
ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang
8.
Tidak bersandar pada ahli bid‘ah
dan kesesatan dalam menafsirkan
9.
Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada
akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.[23]
b. Syaikh
Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir, yaitu:
1.
Mengamalkan ilmunya dan bisa
dijadikan teladan
2.
Jujur dan teliti dalam penukilan
3.
Berjiwa mulia
4.
Berani dalam menyampaikan
kebenaran
5.
Berpenampilan simpatik
6.
Berbicara tenang dan mantap
7.
Mendahulukan orang yang lebih
utama dari dirinya
8.
Siap dan metodologis dalam
membuat langkah-langkah penafsiran[24]
c. Syaikh
Thahir Mahmud Muhammad Ya‘kub juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan
sifat-sifat mufassir. Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah
sebagai berikut :
1. Akidah
yang shahih dan pemikiran yang bersih
2. Maksud
yang benar dan niat yang ikhlas
3. Mentadabburi
dan mengamalkan al-Qur’an
secara mendalam
4. Mengetahui
pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an Al-Karim dan tafsirnya,
seperti ilmu qiraah, asbâb an-nuzûl, nâsikh dan mansûkh
5. Bersandar
pada naql (penukilan) yang benar
6. Mengetahui
bahasa Arab dan uslubnya
7.
Tidak segera menafsirkan
berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan berdasarkan atsar
8.
Ketika terdapat beragam makna i‘rab,
wajib memilih makna yang sesuai dengan atsar yang shahih sehingga i‘rab
mengikuti atsar
9.
Mengetahui kaidah-kaidah yang
dikemukakan salafush shalih untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an
Termasuk
adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari
perkara-perkara berikut ketika menafsirkan al-Qur’an:
1.
Terlalu berani menjelaskan
maksud Allah ta‘ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata
bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh
menafsirkan jika menguasainya.
2.
Terlalu jauh membicarakan
perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasyâbihât.
Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib
setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah
atas hamba-hamba-Nya.
3.
Mengikuti hawa nafsu dan
anggapan baik (istihsân).
4.
Tafsir untuk menetapkan madzhab
yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara
tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga
memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada
madzhabnya dengan segala cara.
5.
Tafsir dengan memastikan bahwa
maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang
secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ
تَعْلَمُونَ
D.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, sampailah kita pada
satu kesimpulan bahwa tafsir al-Qur’an
adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Oleh karena
itu, sebagaimana dinyatakan Prof. Syed Naquib Al-Attas, di dalam tafsir tidak
ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi
yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subjektif atau yang
berdasarkan hanya pada ide-ide relativisme historis, seakan-akan perubahan
semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan
istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.
Menafsirkan al-Qur’an tanpa landasan
ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa
yang berkata tentang al-Qur’an
tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi
[2874]).
[1] Al-Marhalah al-Ula, Kurun Istimewa di Mana Lahirnya Penafsirqn
Resmi yang Langsung Ditangani Rasulullah Saw. Lihat Muhammad Husai
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I (Mesir: Dar al-Kutub al Hadis,
1976), h. 10. Lihat Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Suyuti, Al-Tafsir fi Ulum
al-Qur’an II Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 420-422.
[2] Diperlukannya penyusunan tafsir Islam murni yang sesuai dengan
tuntutan zaman, lihat Nash Abu Zayd, Rethinking the Qur’an to Wards a
Humanistic (Amsterdam: Humanstic Press, 2004),
3. Lihat juga Zahiruddin Baidhawi, al-Ruju’
Ila al-Qur’an, dari kekebalan Fondasionalisme Menuju Pencerahan Hermeneutis” dalam
Pradana Boy-M. Hifni Faig (Ed), Kembali ke Al-Qur’an Menafsir Makna Zaman (Malang:
UMM Press, 2004), 52.
[6] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin
Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA:
Maktabah At-Taubah. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I. 13.
[8] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh
‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr
al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[9] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah
Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li
Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[10] Macam-macam tafsir bi
al-Ra’yi terbagi dua, diantaranya : pertama, Ra’yi yang Terpuji, ialah
tafsir al-Qur’an yang didasari oleh kaidah-kaidah penafsiran. Sedangkan yang ke dua Ra’yi
yang Tercela, suatu penafsiran yang tidak memakai kaidah-kaidah penafsiran
dan hanya semata-mata keinginan seseorang dengan nafsunya sendiri dalam
menafsirkan al-Qur’an. Thameem Ushama diterjemahkan oleh Hasan Basri dan
Amroeni, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Jakarta : Riora Cipta, 2000), 15.
[12] Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb
Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn
Al-Jauziyyah, 55.
[13] Abu Syuhbah, Muhammad. Al-Isrâiliyât wa
Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. (KSA:
Maktabah As-Sunnah, . 1408 H), 50-51
[20] Problematika tafsir bil ma’tsûr menurut para ulama adalah
banyaknya riwayat yang lemah dan palsu.
[21] Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Al-Quran dan Tafsir” dalam Jurnal
Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101.
[22] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî
‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts
wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net
pada 6 September 2007.
[23]Adh-Dhawy,Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245
Diakses pada 30 Agustus 2007.
[24] Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits
fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332.
Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi
Ilmu Al-Quran. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.), 417-418.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar