JOHN WANSBROUGH
A. Latar Belakang
Al-Qur’an bagaikan matahari yang menyinari
teriknya siang, bagaikan rembulan yang menyinari gelapnya malam, dan udara yang
memberikan kehidupan bagi seluruh Alam. Keindahan al-Qur’an merupakan anugrah
dari Allah dan manfaatnya sangat luar biasa tidak terbatas oleh ruang dan waktu,
dari dulu sampai sekarang.
Tradisi kesarjanaan orientalis Barat mengambil pijakan dasar
bahwa al-Qur’an memiliki historisitas yang tidak mungkin dikesampingkan.
Historisitas transmisi yang menghantarkan al-Qur’an pada umat sekarang niscaya dilakukan, termasuk juga content al-Qur’an itu sendiri. Di
atas semua itu, final destinantion dari kesemua
rangkaian transmisi terseebut hanya sampai pada Muh}ammad dan para sahabatnya.
Ini berarti bahwa Muh}ammad merupakan the only source of al-Qur’an. Kesimpulan bahwa al-Qur’an
adalah “word of Muh}ammad” bukanlah hal
mengejutkan dari tradisi oreientalisme Barat.
Dalam
dunia Muslim pun tak ketinggalan menghendaki statemen serupa, misalnya Wansbrough,
dengan tesis mengenai “triadik” keislaman (baca: Muh}ammad, Islam, dan al-Qur’a>n) dalam Qur’anic Studies : Sources and Methods
of Scriptual Interpretation, termasuk kategori pertama
(historisisme). Wansbrough berkesimpulan bahwa kenabian Muh}ammad merupakan
duplikasi dari kenabian Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat Arab saat itu. Al-Qur’a>n, menurut Wansbrough, adalah
konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang kenabian.[1] Pada sub-bab berikutnya
akan disinggung bukti-bukti yang dimaksud Wansbrough mengenai “duplikasi”
Muhammad pada kenabian Musa.
Dalam sekelumit keteranang di atas,
betapa luar biasanya al-Qur’an begitu dasyatnya kajian ilmu al-Qur’an, yang
mana tidak hanya muslim yang mengkaji al-Qur’an, bahkan para orientalis pun
dengan ikut menyelami dan mendalami bagaimana kajian al-Qur’an.
Namun penulis ada rasa penasaran dan
gelisah sebagaimana teori “triadik” yang diluncurkan John
Wansbrough, maka dengan rasa kegelisahannya, penulis
mencurahkannya dalam sebuah makalah yang berjudul “John Wansbrough”.
B. Biografi John Wansbrough dan Karya-karyanya
John Wansbrough adalah seorang yang terkemuka di London. Ia
memulai karir akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi staf pengajar
di Department Sejarah di School of Oriental and African Studies (SOAS
University of London). Ia juga seorang penyuka kajian literatur. Ia banyak meneliti
tentang sejarah perdagangan di kawasan Mediterania dan yang berkaitan dengan
Yahudi-Arab. Tatkala dirinya meneliti dokumen Zaman Pertengahan dengan fokus
pada kajian literatur berbasis produk budaya, di sinilah awal mula ketertarikan
Wansbrough dengan studi al-Qur’a>n.[2]
Mengkaji
al-Qur’a>n bukan perkara
mudah. Selain bahasa Arab kaya akan makna, bahasa Arab memiliki warisan sejarah
yang panjang, termasuk al-Qur’a>n sebagai rujukan utamanya. Namun hal ini tidak
menghalangi Wansbrough untuk meneliti al-Qur’a>n. Menurutnya, kekayaan literatur
Arab menyerupai literatur Inggris yang menurutnya sangat kaya. Keseriusan
wansbrough mempelajari al-Qur’an dibuktikan dengan menulis beberapa artikel mengenai bahasa
Arab, antara lain : 1) A Note on Arabic Rethoric,[3] 2) Arabic Rhetoric and Qur’anic Exegesis,[4]
3) Maja>z al-Qur’a>n : Peripharastic Exegesis,[5] dan buku
berjudul, 4) The Sectarian
Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History,[6] yang diterbitkan
setelah Qur’ani
Studiesnya.
Ini membuktikan bahwa Wansbrough “sungguh-sungguh” terjun meneliti al-Qur’a>n karena telah
mempersiapkan diri dengan baik dengan menguasai dan mengkaji bahasa Arab.
John Wansbrough dikenal sebagai sarjana Yahudi
yang getol mengembangkan madzhab barunya dalam kajian ketimuran dan Afrika di
Universitas di mana dia mengabdikan ilmunya.[7]
Ia adalah penulis produktif, terbukti dari
banyaknya literatur yang ditulisnya. Salah satunya adalah Qur'anic Studies:
Source And Methods of Scriptual Interpretation. Buku ini ditulis John
Wansbrough dalam waktu 1968 sampai dengan Juli 1972 dan dicetak tahun 1977 di
Oxford University Press.
Karya pertamanya ini menjelaskan sumber-sumber
(asal-usul) dan komposisi al-Qur’an, dan tafsir yang dilakukan oleh orang
Muslim serta prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an. Karya lainnya adalah The
Sectarian Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History,
yang ditulis sekitar tahun 1977, tetapi baru diterbitkan pada tahun 1978. Karya
keduanya ini, berusaha menggambarkan perkembangan evolusi tema-tema doktrin
Islam yang melalui kajian biografi tradisisonal Nabi Muhammad (sira and
maghazi) serta melalui kajian doktrin teologi kaum Muslim sebagai komunitas
sosial.
Secara umum
karya John Wansbrough memberikan kritik yang tajam atas kenabian Muhammad dan
al-Qur’an. Kenabiannya dianggap sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian nabi
Musa as. yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Arab. Al-Qur’an, menurut John Wansbrough bukan merupakan sumber biografis
Muhammad, melainkan sebagai konsep yang disusun sebagai teologi Islam tentang
kenabian. Oleh karena itu, pemikiran yang dilontarkan John Wansbrough banyak
berseberangan dengan pemikir lainnya baik di kalangan orientalis Barat maupun
pemikir muslim.[8]
Beberapa Artikel di antaranya adalah: pertama, "A
Note on Arabic Rethoric" dalam Lebende Antike: Symposium Fur Rudolf
Suhnel, 1967. Kedua, "Arabic Rethoric and Qur'anic Exegesis, BSOAS,
xxxi, 1969". Ketiga, dalam Buletin of the School of Oriental and
African Studies. Majas al-Quran : Peripharastic Exegesis, BSOAS (Bulletin
of the School of Oriental and African Studies), xxxiii, 1970. Melalui
ketiga artikel ini, John Wansbrough mencoba menganalisis dan menguji
keoriginalitasan bahasa Arab klasik, melalui pendekatan sastra dan
linguistik. Ketiga artikel di atas merupakan dasar bagi penulisan
karyanya Qur'anic Studies: Source And Methodes of Scriptual Interpretation.
Pada tahun 1977 terbit buku ad-Dirasat al-Qur'aniyyah; Mashadir wa Manahij
Fi Takwil al-Kitab al-Muqaddas yang ditulis John Wansbrough
(1928-2002).
Di buku itu John Wansbrough menerapkan kritik
sastra dan kritik bentuk untuk studi al-Qu’ran. Beberapa kesimpulan dari
kajiannya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dia berpendapat bahwa struktur al-Qu’ran
yang sekarang adalah hasil perkembangan tradisi periwayatan yang kuat mengakar
dan telah menganggap tradisi sebagai satuan-satuan yang independen dari wacana
kenabian yang diriwayatkan secara oral selama berabad-abad lamanya, dan pada
akhirnya menjadi teks undang-undang yang menjadi rujukan.
2. Kanonisasi teks al-Qur’an tidak dikenal pada
masa kenabian hingga akhir abad kedua hijriyah.
3. Semua hadith yang tegas terkait pengumpulan
al-Qur’an di masa Nabi ditolak dan tidak dapat dipercaya secara historis. Akan
tetapi, di belakang semua itu ada tujuan-tujuan tersembunyi yang dibuat oleh
ahli fiqih untuk menjelaskan ajaran-ajaran syariat yang tidak ditemukan di dalam
teks-teks al-Qur’an atau di sana ada keserupaan dengan eksperimen periwayatan
teks-teks Pantekosta yang asli dengan jalan verbalis atau perundangan Taurat berbahasa
Ibrani.[9]
C. Historisitas Al-Qur’an dalam Pandangan John
Wansbrough
Pada umumnya, gagasan bahwa Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama “dalam
sejarah” telah diterima oleh banyak kalangan. Pandangan bahwa sejarah merupakan
“medan percobaan”, di mana Tuhan melakukan intervensi dalam peristiwa-peristiwa
sejarah adalah kebenaran yang paling penting yang dibuktikan oleh kedua agama
tersebut, terlepas dari persoalan teologis. Penekanan pada aspek kesejarahan di
atas didorong oleh upaya untuk menemukan bukti-bukti yang dapat menunjukkan
kebenaran mutlak atau kepalsuan dari sebuah agama. Tentu saja, upaya ini sangat
tergantung pada pandangan sejarah tertentu yang digunakan oleh para sejarawan.
Hipotesa bahwa sumber-sumber yang tersedia untuk menjelaskan dasar-dasar
historis agama, khususnya kitab suci, yang di dalamnya terdapat data sejarah
yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan implikasi-implikasi sejarah yang
positif. Dalam hal ini, pendekatan historis berasumsi bahwa motivasi penulis
sumber kitab suci adalah sama seperti motivasi sejarawan untuk merekam “apa
yang sesungguhnya terjadi.”[10]
Terlepas dari persolan teologis, ilmu modern berusaha
mendekati Islam dengan cara yang sama, yang secara tradisional memperlakukan
Yahudi dan Kristen sebagai agama sejarah, yaitu agama yang terpancang dalam
sejarah. Relevansi dari asumsi ini akan menggiring untuk bersikap sama terhadap
sumber-sumber yang tersedia dalam kajian Islam masa awal sebagaimana gambaran
sikap terhadap kajian Yahudi dan Kristen.
Dari sumber-sumber ini, setidaknya akan didapatkan
rekaman atau data-data yang mendukung untuk menganalisis tentang apa yang
sesungguhnya terjadi dalam sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam dalam
hal ini, al-Qur’an yang menjadi sumber ajarannya, dalam pandangan para orientalis
Barat, memiliki tabir historis yang perlu diungkapkan dalam kajian ini.[11]
Setidaknya terdapat empat pendapat yang berkembang di
kalangan orientalis Barat berkaitan dengan asal-usul atau sumber al-Qur’an.
1. Bahwa asal usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal
dari tradisi Yahudi.
2. Bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal
dari tradisi Kristen.
3. Bahwa asal-usul atau sumber genetik al-Qur’an berasal
dari kedua tradisi keagamaan Semit, yaitu Yahudi dan Kristen, yang secara
serempak mempengaruhinya.
4. Bahwa latar belakang al-Qur’an Islam adalah milieu
Arab, meskipun banyak terdapat unsur-unsur Yahudi-Kristen yang diserap dalam
formasi dan perkembangannya.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, John Wansbrough
berpandangan bahwa historisitas al-Qur’an merupakan sesuatu yang mengada-ada.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa al-Qur’an bukanlah sumber sejarah yang
otoritatif, dan tidak cukup menjadi bukti dalam mengungkap sumber dan asal-usul
geneologisnya sendiri juga Islam. Skeptisisme Wansbrough ini terutama
disebabkan oleh sangat sedikitnya bahan-bahan yang dapat memberikan kesaksian
yang “netral” untuk mengkaji Islam pada masa awal, baik kuantitas data
arkeologis, bukti numismatik, bahkan dokumen-dokumen yang terkait dengan
historisitas al-Qur’an. Bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber di luar
komunitas Islam sendiri tidak cukup banyak dan upaya merekonstruksi bahan-bahan
tersebut ke dalam kerangka historis menghadapi banyak kesulitan.
Lebih jauh, Wansbrough memandang bahwa semua korpus
dokumentasi Islam masa awal sebagai hal yang tidak dapat dipercaya. Semua yang
berusaha dibuktikan oleh al-Qur’an, dan apa yang berusaha dijelaskan oleh
karya-karya tafsir, sirah dan teologi, adalah bagaimana rangkaian peristiwa dunia
yang terpusat pada masa Muhammad diarahkan oleh Tuhan.
Seluruh komponen sejarah ini, yang disebut “Sejarah
Penyelamatan Islam”, adalah sarana untuk menyaksikan titik iman yang sama
dengan Yahudi dan Kristen, yaitu pemahaman sejarah yang melihat peran Tuhan
dalam mengarahkan urusan-urusan manusia. Akan tetapi, sejarah penyelamatan ini,
dalam pandangan Wansbrough, tidak dapat membuktikan apa yang sesungguhnya
terjadi pada masa awal Islam, melainkan hanya berbentuk sastra yang mempunyai
konteks historisnya sendiri. Oleh karena itu, al-Qur’an harus didekati dengan
analisis sastra.[12]
D.
Persoalan
Kenabian
Sebagai Titik Tolak Wansbrough Mengkritik Al-Qur’a>N
Banyak
klaim dalam ayat-ayat al-Qur’a>n
yang melegitimasi Muh}ammad sebagai utusan Tuhan, yang menjadi “penutup” para
Nabi (QS 33:40) sekaligus “mengkoreksi” ajaran-ajaran terdahulu (QS 5:6 yaitu
Taurat, dan QS 3:3 yaitu Taurat dan Injil). Namun, jika dibaca secara
“terbalik”,[13]
seperti yang dilakukan Wansbrough, yang terjadi justru mendelegitimasi kenabian
Muh}ammad. Sebagai contoh, dalam QS 7:157 muncul penegasan bahwa Muh}ammad
adalah nabi sekaligus rasul yang termaktub dalam kitab Taurat dan Injil.
Karenanya, Wansbrough yakin jika Muh}ammad tak lain adalah seorang “visioner
hebat” yang, melalui surah Al A'raaf [7]:157:
tûïÏ%©!$#
cqãèÎ7Ft
tAqߧ9$# ¢ÓÉ<¨Z9$#
¥_ÍhGW{$#
Ï%©!$#
¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã
Îû
Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur NèdããBù't
Å$rã÷èyJø9$$Î/
öNßg8pk÷]tur
Ç`tã Ìx6YßJø9$#
@Ïtäur ÞOßgs9 ÏM»t6Íh©Ü9$#
ãPÌhptäur
ÞOÎgøn=tæ y]Í´¯»t6yø9$# ßìÒtur öNßg÷Ztã öNèduñÀÎ) @»n=øñF{$#ur
ÓÉL©9$#
ôMtR%x.
óOÎgøn=tæ 4
úïÏ%©!$$sù
(#qãZtB#uä ¾ÏmÎ/
çnrâ¨tãur
çnrã|ÁtRur
(#qãèt7¨?$#ur
uqZ9$# üÏ%©!$# tAÌRé&
ÿ¼çmyètB
y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$#
ÇÊÎÐÈ
Orang-orang
yang mengikut Rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka.[14]
Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka
Itulah orang-orang yang beruntung.[15]
Ayat
di atas, mampu menyajikan fakta yang membuat dirinya seolah ditakdirkan untuk
hadir di dunia, sebagai janji Tuhan yang secara khusus ditujukan kepada para
Ahli Kitab.[16]
Dalam dua bukunya, yaitu Qur’anic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation dan The Sektarian Milieu: Content and
Composition of Islamic Salvation History, John Wansbrough mengemukakan kritik
terhadap nilai sumber dari sudut pandang sastra, dengan tujuan untuk melepaskan
pandangan teologis dari sejarah dalam melihat asal-usul Islam. Hal ini
disebabkan oleh pandangan John Wansbrough tentang tidak adanya kelayakan dalam
penggunaan metode kritik historis terhadap sumber-sumber sejarah Islam masa
awal tersebut.[17]
Wansbrough
mengkritik proses pengangkatan Muh}ammad sebagai nabi yang tidak sama dengan
Samuel dan Musa. Hal ini berimplikasi pada adanya kecurigaan Wansborugh pada
kenabian Muh}ammad (bi’s|ah Muh}ammad).
Wansbrough berkesimpulan ada 3 teori
penting tentang kenabian Muh}ammad yang digunakan Muh}ammad untuk melegitimasi
dirinya. Ketiga teori ini adalah purification, the
beatific vision,
dan the ascencion/noctural journey.[18]
Pertama, purification atau penyucian diri adalah dogma Islam akan kesucian “dada”
Muh}ammad dari kesalahan, sebagaimana tertuang dalam surah Alam Nasyrah [94] :
1-3.
óOs9r& ÷yuô³nS y7s9 x8uô|¹ ÇÊÈ $uZ÷è|Êurur
Ztã
x8uøÍr ÇËÈ üÏ%©!$# uÙs)Rr&
x8tôgsß ÇÌÈ
Bukankah Kami telah melapangkan untuk-Mu
dada-Mu?, dan Kami telah menghilangkan dari pada-Mu beban-Mu, yang memberatkan
punggung-Mu ?.[19]
Hal
ini berimplikasi pada “label” ‘is}mah (kerterhindaran dari berbuat dosa) Muh}ammad yang membuat
kenabiannya sempurna. Sebagai bukti nyata, Muh}ammad pernah menolak tawaran
kekuasaan dan kekayaan yang ditawarkan kafir Quraysh kepadanya. Ini menjadi
bukti ‘ismah Muh}ammad.[20]
Kedua, the beatific vision
dipahami sebagai petunjuk langsung Tuhan
kepada seorang hamba terpilih dalam bentuk pengindraan-langsung (direct visual
perception). Dalam hal ini, Muh}ammad mendapatkan pengetahuan yang tidak
biasa yang itu didapatkannya dari Alla>h, sebagaimana dikisahkan dalam surah
An-Najm [53]:11-18. Surah At Takwiir [81] : 19-25, dan Surah Al Fath [48] : 27.
$tB
z>xx.
ß#xsàÿø9$#
$tB
#r&u
ÇÊÊÈ ¼çmtRrã»yJçFsùr&
4n?tã
$tB
3tt
ÇÊËÈ ôs)s9ur
çn#uäu
»'s!÷tR
3t÷zé&
ÇÊÌÈ yZÏã
ÍouôÅ
4ygtFZçRùQ$#
ÇÊÍÈ $ydyYÏã
èp¨Zy_
#urù'pRùQ$#
ÇÊÎÈ øÎ)
Óy´øót
nouôÅb¡9$#
$tB
4Óy´øót
ÇÊÏÈ $tB
sø#y
ç|Çt7ø9$#
$tBur
4ÓxösÛ
ÇÊÐÈ ôs)s9
3r&u
ô`ÏB
ÏM»t#uä
ÏmÎn/u
#uö9ä3ø9$#
ÇÊÑÈ
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.[21]
Maka Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah
dilihatnya? dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.[22]
di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar.[23]
¼çm¯RÎ)
ãAöqs)s9
5Aqßu
5OÌx.
ÇÊÒÈ Ï
>o§qè%
yZÏã
Ï
ĸöyèø9$#
&ûüÅ3tB
ÇËÉÈ 8í$sÜB
§NrO
&ûüÏBr&
ÇËÊÈ $tBur
/ä3ç6Ïm$|¹
5bqãZôfyJÎ/
ÇËËÈ ôs)s9ur
çn#uäu
È,èùW{$$Î/
ÈûüÎ7çRùQ$#
ÇËÌÈ $tBur
uqèd
n?tã
É=øtóø9$#
&ûüÏYÒÎ/
ÇËÍÈ $tBur
uqèd
ÉAöqs)Î/
9`»sÜøx©
5OÅ_§
ÇËÎÈ
Sesungguhnya al-Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang
dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang
mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang ditaati di
sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah
sekali-kali orang yang gila. dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di
ufuk yang terang. dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk
menerangkan yang ghaib. dan al-Qur'aan itu bukanlah Perkataan syaitan yang
terkutuk.[24]
ôs)©9
Xy|¹
ª!$#
ã&s!qßu
$töä9$#
Èd,ysø9$$Î/
( £`è=äzôtGs9
yÉfó¡yJø9$#
tP#tysø9$#
bÎ)
uä!$x©
ª!$#
úüÏZÏB#uä
tûüÉ)Ïk=ptèC
öNä3yrâäâ
z`ÎÅ_Çs)ãBur
w cqèù$srB
( zNÎ=yèsù
$tB
öNs9
(#qßJn=÷ès?
@yèyÚsù
`ÏB
Èbrß
Ï9ºs
$[s÷Gsù
$·6Ìs%
ÇËÐÈ
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang
kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan
memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut
kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah
mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu
kemenangan yang dekat.[25]
Ketiga, the ascencion atau mi’ra>j,
yaitu proses “naiknya” Muh}ammad ke hadapan Tuhan. Terkait pula di dalamnya
adalah Isra>‟,
yaitu perjalanan malam hari, dari Masjid al-H}ara>m menuju Masjid
al-Aqs}a>, sebagaimana dikisahkan dalam Surah Al- Israa'[17] : 1.
z`»ysö6ß üÏ%©!$# 3uó r& ¾ÍnÏö7yèÎ/
Wxøs9 ÆÏiB
ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$#
n<Î)
ÏÉfó¡yJø9$# $|Áø%F{$#
Ï%©!$#
$oYø.t»t/ ¼çms9öqym
¼çmtÎã\Ï9
ô`ÏB !$oYÏG»t#uä 4
¼çm¯RÎ)
uqèd ßìÏJ¡¡9$# çÅÁt7ø9$#
ÇÊÈ
Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.[26]
Menurut
Wansbrough, ada yang harus dicurigai dari fakta Isra> dan Mi’ra>j ini. Selain hanya mencantumkan saksi mata‘abd yang adalah Muh}ammad sendiri (pada QS 17:1), perjalanan isra>’
pada QS 17:1 juga menyerupai kisah isra>’
versi Musa dalam al-Qur’a>n Surah Thaahaa [20] : 77 dan Surah Asy Syu'araa' [26] : 52.
ôs)s9ur !$uZøym÷rr& 4n<Î) #ÓyqãB
÷br& Îó r& Ï$t7ÏèÎ/ ó>ÎôÑ$$sù öNçlm; $Z)ÌsÛ Îû
Ìóst7ø9$# $T¡t6t
w ß#»srB
%Z.uy
wur 4Óy´ørB ÇÐÐÈ
Dan Sesungguhnya telah Kami wahyukan
kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam
hari, Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu tak usah
khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)".[27]
* !$uZøym÷rr&ur 4n<Î) #ÓyqãB
÷br& Îó r& üÏ$t6ÏèÎ/
/ä3¯RÎ)
tbqãèt7FB
ÇÎËÈ
Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada
Musa : "Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani
Israil), karena Sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli".[28]
Ayat
di atas, sama denganag Bibel (Keluaran 12:29-34).[29]
Yang menjadi pertanyaan, apakah ini pada QS 17:1 benar-benar isra>’
tentang Muh}ammad atau menceritakan isra>’
Musa?, dengan bukti keterangan tentang
Musa pada ayat selanjutnya QS 17:2.[30]
$oY÷s?#uäur ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$#
çm»oYù=yèy_ur
Wèd
ûÓÍ_t6Ïj9
@ÏäÂuó Î) wr& (#räÏGs?
`ÏB
ÎTrß WxÅ2ur
ÇËÈ
Dan Kami berikan kepada Musa kitab
(Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan
firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.[31]
Ketiga
hal di atas tampak seperti “sihir” Muh}ammad. Selain itu, al-Qur’a>n yang memiliki kemukjizatan “tekstual” (I’ja>z
al-Qur’a>n) menambah Wansbrough yakin akan adanya sihir di balik diri
Muh}ammad melalui agama yang dibawanya.[32]
Persoalan “meragukan”
kenabian Muh}ammad oleh Wansbrough rupanya diikuti oleh beberapa orintalis
lain. Dua peneliti Israel, D. Nevo dan Judith Koren, yang wilayah kajiannya
berkisar pada bukti-bukti arkeologis dan epigrafis[33]
(termasuk saat Arab menjelajah ke seantero dunia), berpendapat cukup ekstrem
dengan sebuah tesis bahwa asal muasal agama dan negara di kawasan Arab tidak
mengindikasikan adanyakemunculan Islam sampai era kekhalifahan Abbasyiyah.[34]
Artinya, dalam pandangan mereka, ada jeda panjang mengenai asal muasal dan awal
kemunculan Islam.
Sementara itu, Suliman Bashear, yang concern melakukan kritik atas sumber-sumber
Islam, mengatakan bahwa Muh}ammad, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai
utusan Tuhan yang membawa agama Islam, “sebagian biografinys” diambil dari
seseorang bernama Muh}ammad bin al-Hanifiyya, yang hidup di pertengahan-hingga-akhir abad VII M.31
Pernyataan Bashaer secara implisit mengatakan bahwa figuritas Muh}ammad, selain
berasal dari Muh}ammad sendiri, sebagiannya adalah bentukan para penganut
ajaran Islam. Pelemahan kenabian Muh}ammad dilanjutkan dengan mendelegitimasi
al-Qur’a>n sebagai kitab suci, yang dalam pandangan Wansbrough
al-Qur’a>n tak lain adalah “alat” legitimasi bagi Muh}ammad,
sebagaimana dijelaskan berikut.[35]
E. Analisis John Wansbrough dalam Studi Al-Qur’an dan
Pendapat Para Tokoh Mengenai Wansbrough
Tesis yang dikemukakan John Wansbrough banyak
mengundang pro-kontra di kalangan para pengkaji yang memiliki otoritas dalam
studi al-Qur’an, baik dari kalangan orientalis sendiri maupun dari kalangan
Muslim. Akan tetapi, tanpa mengurangi kapasitas para pengkaji yang lain, wacana
yang dikemukakan oleh Andrew Rippin dan Fazlur Rahman tampaknya cukup mewakili
perdebatan dalam kajian ini.
Secara umum, Andrew Rippin sependapat dengan John
Wansbrough. Atas dasar pemikiran bahwa Islam adalah agama dalam sejarah, Rippin
membenarkan penggunaan analisis sastra oleh Wansbrough dalam mengkritisi al-Qur’an,
sebagaimana juga dipergunakan dalam mengkritisi kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Hal ini disebabkan oleh posisi Islam yang tidak historis karena tidak ada
dukungan berupa bukti ekstra literer dalam data arkeologis yang tersedia.
Sumber-sumber berupa teks berbahasa Arab dari kalangan muslim sendiri, lanjut
Rippin, terdiri dari literatur-literatur yang ditulis dua abad setelah fakta
sejarah terjadi.
Selanjutnya, apa yang dikemukakan Wansbrough berkaitan
dengan sumber-sumber Islam masa awal, menurut Rippin, bukanlah hal yang baru.
Dalam hal ini Rippin beralasan bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah
lebih dulu menyatakan hal demikian. Keduanya memahami bahwa sabda-sabda yang
disandarkan kepada Muhammad dan digunakan untuk mendukung posisi hukum atau
doktrin dalam Islam sebenarnya berasal dari periode kemudian, dari masa-masa
ketika posisi hukum dan doktrin ini sedang mencari dukungan dari apa yang
disebut sebagai sunnah.
Sementara dalam menanggapi tesis-tesis John Wansbrough
dan pembelaan Andrew Rippin terhadap metode dan hasil yang dicapainya, Fazlur
Rahman menyatakan bahwa keampuhan metode historis sebenarnya sudah cukup
membuktikan tentang keaslian bahan-bahan historis kaum Muslim, dan pengalihan
kepada suatu metode analisa sastra yang murni tidak diperlukan.[36]
Fazlur Rahman juga memberikan kritik terhadap tesis
Wansbrough bahwa al-Qur’an merupakan perpaduan berbagai tradisi yang berbeda.
Rahman menilai bahwa Wansbrough belum sepenuhnya memahami fenomena substitusi
ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini diakui sendiri oleh al-Qur’an
dan dinamakan naskh yang berarti substitusi atau penghapusan. Untuk menjadi
substitusi harus ada ayat baru sebagai pengganti ayat yang lama. Inilah sebuah
keharusan kronologis yang sulit dipertahankan bila al-Qur’an hanya merupakan
perpaduan serentak dari berbagai tradisi.
Fazlur Rahman juga menilai bahwa Wansbrough kurang
memiliki data-data historis mengenai asal-usul, sifat atau karakter, evaluasi
dan person-person yang terlibat dalam apa yang dia sebut sebagai
tradisi-tradisi tersebut. Sejumlah persoalan penting dalam al-Qur’an, menurut
Fazlur Rahman, hanya dapat dipahami dalam terma-terma kronologis yang
terbentang dalam suatu dokumen yang tunggal. al-Qur’an tidak dapat dipahami
sebagai sebuah perpaduan unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan. Dengan
demikian, tesis Wansbrough yang didasarkan pada adanya repetisi dan duplikasi
dalam al-Qur’an tidaklah tepat, karena hal tersebut lebih mencerminkan
perkembangan tema atau misi kenabian Muhammad dalam tahapan-tahapan
kronologisnya.[37]
Berikutnya, pembelaan Rippin yang menyatakan bahwa
Wansbrough bukanlah orang pertama yang mempermasalahkan sumber-sumber data
Islam yang awal ini pun tidak luput mendapat dikritik dari Fazlur Rahman.
Memang benar bahwa Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht telah mendahului
Wansbrough, tetapi keduanya mempelopori pendekatan ini dalam hubungannya dengan
kritik hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz Goldziher dan Yosepht Schacht
bersandar pada metode sejarah untuk menunjukkan bahwa hadits-hadits tertentu
muncul setelah hadits lainnya. Oleh karena itu, lanjut Rahman, tidak jelas
logika apa yang dipakai oleh Rippin untuk menawarkan metode sejarah Goldziher
dan Schacht untuk mendukung analisis sastra Wansbrough, karena metode yang
terakhir bersifat arbitrer.[38]
Mengenai alasan Rippin tentang adanya beberapa pengkaji
yang menekankan latar belakang Arab Islam dengan kontribusi Yahudi dan Kristen,
Fazlur Rahman berpendapat bahwa Wansbrough telah melampau batas-batas yang
dapat diterima akal dalam memandang al-Qur’an sebagai manifestasi sektarian
Yahudi-Kristen sepenuhnya. Pada faktanya, di Arab sendiri.[39]
Terlepas dari perdebatan di atas, perkembangan yang
terjadi menunjukkan bahwa metode analisis sastra juga sudah diterapkan oleh
sebagian pemikir Muslim. Mohammed Arkoun, misalnya, sangat menyayangkan jika di
kalangan Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Di samping itu,
dia pun menyayangkan bahwa kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci yang
telah digunakan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa
menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu terus ditolak oleh pendapat
kesarjanaan Muslim. Menurut Mohammed Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang
sesuai dengan apa yang selama ini ingin dikembangkannya, di mana intervensi
ilmiah John Wansborugh cocok dengan framework yang diusulkannya. Framework
tersebut memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti
bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan
sebuah refleksi yang hasilnya akan cukup meresahkan bagi kalangan
fundamentalis.[40]
Penolakan kalangan Muslim terhadap pendekatan
kritis-historis al-Quran, dalam pandangan Mohammed Arkoun, lebih bernuansa
politis dan psikologis. Politis karena mekanisme demokratis masih belum
berlaku, dan psikologis karena kegagalan pandangan muktazilah mengenai
ke-makhluk-an al-Quran dalam ranah ilmu kalam. Padahal, menurut Mohammed
Arkoun, mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat
yang kemudian dijadikan ”tak terpikirkan” dan makin menjadi ”tak terpikirkan”
karena kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.[41]
Berkaitan dengan apa yang diusahakan oleh Nasr Hamid
Abu Zayd seorang intelektual asal Mesir, Mohammed Arkoun menyayangkan sikap
para ulama Mesir yang menghakimi Nasr Hamid Abu Zayd tersebut. Padahal
metodologi Nasr Hamid Abu Zayd, menurut Mohammed Arkoun, memang sangat layak
untuk diaplikasikan kepada al-Quran. Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa
al-Quran sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum
Muslim, tetapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Quran adalah teks
linguistik-historis-manusiawi yang berkembang dalam tradisi Arab.[42]
E. Kesimpulan
John Wansbrough adalah seorang yang terkemuka
di London. Ia memulai karir akademiknya tahun 1960. Pada saat itu, ia menjadi
staf pengajar di Department Sejarah di School of Oriental and African
Studies (SOAS University of London). Ia juga seorang penyuka kajian literatur. Ia banyak
meneliti tentang sejarah perdagangan di kawasan Mediterania dan yang berkaitan
dengan Yahudi-Arab. Tatkala dirinya meneliti dokumen Zaman Pertengahan dengan
fokus pada kajian literatur berbasis produk budaya, di sinilah awal mula
ketertarikan Wansbrough dengan studi al-Qur’a>n.
John Wansbrough menerapkan kritik studi al-Qur’an,
diantaranya:
1. Dia berpendapat bahwa struktur al-Qu’ran
yang sekarang adalah hasil perkembangan tradisi periwayatan yang kuat mengakar
dan telah menganggap tradisi sebagai satuan-satuan yang independen dari wacana
kenabian yang diriwayatkan secara oral selama berabad-abad lamanya, dan pada
akhirnya menjadi teks undang-undang yang menjadi rujukan.
2. Kanonisasi teks al-Qur’an tidak dikenal pada
masa kenabian hingga akhir abad kedua hijriyah.
Wansbrough
berkesimpulan ada 3 teori penting tentang kenabian, diantaranya :
a).
Purification atau
penyucian
b).
Sebagai petunjuk langsung Tuhan kepada seorang hamba
terpilih dalam bentuk pengindraan-langsung
c). the ascencion atau mi’ra>j,
yaitu proses “naiknya” Muh}ammad ke hadapan Tuhan
Selanjutnya, menurut Fazlur Rahman hanya dapat
dipahami secara kronologis dan antara satu dengan yang lainnya merupakan keutuhan.
Dalam memperkuat argumennya Rahman memberikan ilustrasi tentang mukjizat dan
komunitas yang berkembang akibat perbedaan waktu. Oleh karena itu, tesis John
Wansbrough tersebut dibangun berdasarkan duplikasi dan repetisi dalam
al-Qur’an.
Selanjutnya masih menurut Rahman, dalam menganalisis
al-Qur’an tentang versi kisah Syu’aib, Wansbrough tidak menghayati tentang
bentuk-bentuk kisah al-Qur’an. Adanya kisah-kisah yang berbeda itu merupakan
suatu I’jaz tersendiri bagi al-Qur’an dan pengulangannya menunjukkan arti
tersendiri. Pada masalah inilah kiranya Wansbrough sendiri belum mampu
menghayati pendekatan fenomenologisnya, meskipun ia telah membaca teorinya.
Sependapat dengan M. al-Fatih Suryadilaga, lahirnya
tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh John Wansbrough di atas tidak didasari
atas pemahaman Islam yang utuh. Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran yang
semacam ini dan yang berkembang banyak di kalangan Barat (orientalis) cenderung
menimbulkan berbagai konflik antar agama.
Namun demikian, bagi umat Islam pun seharusnya tidak
menjadi sang pengadil bagi penganut lainnya,
lebih-lebih bila orang tersebut belum mengetahui benar ajaran agama lain untuk
mampu melepaskan baju ideologis diri sendiri karena bisa saja hal itu menjadi
seperti apa yang digagas Wansbrough layak disebut bom atomnya Yahudi-Ktisten
atas Islam sebagaimana pemikir Islam yang telah membabat berbagai ketimpangan
Kristen.
Daftar Pustaka
Arif Junaidi Ahmad, Analisis Sastra
Al-Quran, Studi pemikiran John Wansbrough tentang otentitas Redaksi final
Al-Quran), pusat penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2002.
Arkoun Mohammed. terj.
Machasin, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997.
C. Martin
Richard, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, (Surakarta:
Muhammadiyyah University, 2002.
Fazlur Rahman. terj. Anas Mahyuddin, Tema
Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996.
Hadjati
Moely, Metodologi Analisis Sastra John. . http://blogspot.co.id. 01,
2014.
Himpian Sang
perai.blogspot.com diunduh 17.36, 13 Nopember 2013.
Pesantren
Sastra.blogspot.com diunduh 17.40 13 Nopember 2013.
Rippin, Andrew, terj.
Zakiyuddin Bhaidawy, “Analisis Sastra Terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah:
Metodologi John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam
dalam Studi Agama, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002.
Salim Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Quran
Kaum Liberal, Jakarta : Kelompok Gema Insani, 2010.
Sang Perai Himpian.blogspot.com diunduh
17.36, 13 Nopember 2013.
Segovia Carlos
A, “John Wansbrough and The Problem of Islamic Origins in Recent Scholarship: A
Farewell to The Traditional Account” dalam Carlos A. Segovia dan Basil Lourié, The
Coming of The Comforter: When, Where. And to Whom?; Studies on the Rise of
Islam and Various Other Topics in Memory of John Wansbrough (tanpa
keterangan kota penerbit, penertbit, dan tahun terbit.
Suryadilaga Alfatih, “Pendekatan
Historis John Wansbrough dalam Studi al-Qur’a>n” dalam Abdul Mustaqim dan
Sahiron Syamsuddin, Studi al-Qur’an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 213. Dikutip
kembali oleh Ahmad Fathurrohman, Menelaah Pemikiran John Wansbrough Tentang
Muh}Ammad, Al-Qur’a>N, Dan Islam, Yogyakarta : Dalam Makalah Kajian
Al-Qur’a>n Orientalis, Program Studi Agama Dan Filsafat Konsentrasi Studi
Qur’An dan Hadis Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Wansbrough
John, Qur’anic Studies: Sources and Methods
of Scriptural Interpretation, New York: Prometheus Books, 2004.
Wansbrough
John, “A Note on Arabic Rhetoric”,
Berlin, Labende antike: Symposion für Rudolf Sühnel, 1967.
Wansbrough
John, “Arabic Rhetoric and Qur‟anic Exegesis”,
Bulletin
of The School of Oriental and African Studies, 1968.
Wansbrough
John, “Maja>z al-Qur‟a>n: Peripharastic Exegesis”, Bulletin of The
School of Oriental and African Studies, 1970.
Wansbrough John,
The Sectarian Millieu: Content and
Composition of Islamic Salvation History, Oxford: Oxford University Press,
1978.
[1] Alfatih Suryadilaga, “Pendekatan Historis
John Wansbrough dalam Studi al-Qur’a>n” dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron
Syamsuddin, Studi al-Qur’an Kontemporer : Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir (Jogjakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), 213. Dikutip kembali
oleh Ahmad Fathurrohman, Menelaah Pemikiran John Wansbrough Tentang Muh}Ammad,
Al-Qur’a>N, Dan Islam (Yogyakarta : Dalam Makalah Kajian Al-Qur’a>n
Orientalis, Program Studi Agama Dan Filsafat Konsentrasi Studi Qur’An dan Hadis
Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013), 5.
[2] John Wansbrough, Qur’anic
Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (New York: Prometheus Books,
2004), xiii.
[3] John Wansbrough, “A Note on
Arabic Rhetoric”, (Berlin, Labende antike: Symposion für Rudolf Sühnel, 1967),
55-63.
[4] John Wansbrough, “Arabic
Rhetoric and Qur‟anic Exegesis”, (Bulletin of The School of
Oriental and African Studies, 1968), volume xxxi, 469-485.
[5] John Wansbrough, “Maja>z al-Qur‟a>n: Peripharastic Exegesis”, (Bulletin of The School of
Oriental and African Studies, 1970), volume xxxiii, 247-266.
[6] John Wansbrough, The
Sectarian Millieu: Content and Composition of Islamic Salvation History (Oxford: Oxford University
Press, 1978).
[7] Ahmad Arif Junaidi, Analisis
Sastra Al-Quran (Studi pemikiran John Wansbrough tentang otentitas Redaksi
final Al-Quran), pusat penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2002), 17.
[9] Fahmi Salim, Kritik
Terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal (Jakarta : Kelompok Gema Insani,
2010), 198-199.
[10] Richard C. Martin, Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama, (Surakarta: Muhammadiyyah University,
2002), 201.
[14] Maksudnya:
dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang
berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh
diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja
atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang
melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.
[15] Surah Al A'raaf [7]:157.
[16] Wansbrouh memuji “efek” ayat
tersebut dengan “...the search for proof-texts (testimonia) wasnotably successful.”
John Wansbrough, Qur’anic Studies…, h. 63.
[21] Ayat 4-11
menggambarkan Peristiwa turunnya wahyu yang pertama di gua Hira.
[22] Sidratul
Muntaha adalah tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang telah
dikunjungi Nabi ketika mi'raj.
[26] Surah Al Israa'[17] : 1.
[29] Perpindahan dari suatu tempat
ke tempat lain yang “dibantu” Tuhan juga terjadi pada Nabi Ilya>s (Elijah), sebagaimana terekam
dalam I Kings 18:12, II Kings 2:11, Ezekiel 2:12, 8:3, 11:1, dan 43:5. John
Wansbrough, Qur’anic Studies…, hlm. 68.
[31] Surah Al Israa'[17] : 2.
[32] Bagian i’ja>z
al-qur’a>n
sengaja tidak dijelaskan
di sini karena ditakutkan penjelasan kemukjizatan al-Qur‟a>n akan mengaburkan fokus
pembaca dalam makalah ini. Karenanya, pembaca dapat merujuk ke tulisan aslinya.
Rujuk John Wansbrough, Qur’anic Studies…, h. 79-84.
[33] Arkeologi: ilmu yang mempelajari
kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan benda peninggalannya, dinamakan
juga “ilmu purbakala”. Epigrafi: kajian tulisan kuno pada prasasti. Sumber:
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[34] Carlos A. Segovia, “John
Wansbrough and The Problem of Islamic Origins in Recent Scholarship: A Farewell
to The Traditional Account” dalam Carlos A. Segovia dan Basil Lourié, The
Coming of The Comforter: When, Where. And to Whom?; Studies on the Rise of
Islam and Various Other Topics in Memory of John Wansbrough (tanpa
keterangan kota penerbit, penertbit, dan tahun terbit), hlm. xxv.
[36] Ibid,...
[38] Rippin, Andrew, terj. Zakiyuddin Bhaidawy, “Analisis
Sastra Terhadap Al-Qur’an, Tafsir, dan Sirah: Metodologi John Wansbrough”,
dalam Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar