Rabu, 12 Agustus 2015

“HERMENEUTIK DAN KRITIK BIBLE ”

HERMENEUTIK DAN KRITIK BIBLE
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Sememter Matakuliah
“ Hermeneutika  ”
Dosen Pengampu:
Dr. Imam Annas Muslihin, M.HI
Dr. Wahidul Anam, M.Ag
Logo Stain Kediri Warna
Oleh:
Alam Tarlam
NIM : 922.001.14.010

PROGRAM PASCASARJANA
 STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN) KEDIRI
2014 / 2015
HERMENEUTIK DAN KRITIK BIBLE

ABSTRAK
Bible merupakan salah satu kitab suci tertua di dunia digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Bibel sebagai awal mula kajian hermeneutik untuk memahami sebuah teks, tuntutan realitas pembacaan teks era sekarang meniscayakan pengayaan metodologis, terutama pada teks-teks sakral semisal kitab suci keagamaan.
Dalam konteks ini, para pemikir Islam di bidang Tafsir al-Qur’an mencoba mengkaji Hermeneutika, suatu cabang ilmu menafsirkan teks yang tidak lagi memunginkan dikonfirmasi kepada pencipta/penulisnya. Sebagaimana kebenaran relatif yang dikandung oleh ta’wil (alegoric) yang dikenal dalam tafsir al-Qur’an klasik, Hermeneutika juga menyuguhkan produk analisis yang mengandung kebenaran relatif. Itulah sebabnya, Hermeneutika membutuhkan “rukun” atau persyaratan agar produk analisisnya sedekat mungkin kepada maksud pencipta teks.
Melalui analisis filsafat bahasa, makalah ini mencoba memberikan gambaran umum bagaimana hermeneutika bekerja sebagai suatu pendekatan dalam pengkajian Bible. Berdasarkan analisis tersebut ditemukan bahwa Hermeneutik dan Bibel adalah satu kesatuan bahasan yang sangat berhubungan, karena giron atau kajian hermeneutika yaitu mengkaji pemahaman teks temasuk Bible.

A.  Pendahuluan
Hermeneutika adalah suatu teori tentang interpretasi makna atau suatu ilmu untuk memahami suatu makna. Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan.[1] 
Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.[2]
Makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841).
Bible merupakan salah satu kitab suci tertua di dunia. Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin : Biblia, artinya ‘buku kecil’ : Yunani : Biblos) biasanya dipahami sebagai kitab suci kaum Kristen dan Yahudi.[3]
Ada suatu keganjilan dan kegelisahan pemakalah dalam suatu ungkapan, bahwa Bibel sebagai awal mula kajian hermeneutik untuk memahami sebuah teks. Hal ini masih dipertanyakan karena begitu banyak bahasan dan tanda tanya besar dari misteri Bibel sebagai salah satu ilmu pembahasan hermeneutik, terutama banyak sekali masalah-masalah dan kritik-kritik yang berhubungan dengan Bible. Oleh sebab itu penulis ingin menuangkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Hermeneutik dan Kritik Bible.

B.  Pengrtian Hermeneutik dan Bible
1.    Pengrtian Hermeneutik
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien yang bermakna menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan.  Jika ditelusuri berasal dari mitologi Yunani, Hermes, dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan  kepada manusia, dimana Hermes harus mampu menginterpretasikan menerjemahkan pesan yang dibawa ke dalam bahasa yang digunakan manusia. Dengan demikian, hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan sebuah teks[4], melalui percobaan.[5]
Ada juga yang mengatakan, hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gambling.[6]
                                                     Plato memilih sebutan techne hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas.
Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Schleiermacher (1990:93), menggunakan Hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti Hermeneutika baginya adalah untuk memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even better than its creator).[7]
Dari beberapa urayan di atas, pemakalah mencoba berpendapat bahwa Hermeneutik adalah sebuah bidang ilmu untuk memahami yang gelap menjadi terang, yang hitam menjadi putih, dan yang tidak tau menjadi tau terutama dalam memahami sebuah makna teks.  

2.    Pengertian Bible
Kata Bible berasal dari bahasa yunani yang diserap kedalam beberapa bahasa dunia melalui bahasa latin atau Prancis. Kata ini merupakan bentuk plural dari kata bibilon atau biblos yang berarti buku. Dalam bentuk ini, kata bible (bengan “b” kecil) berarti juga perpustakaan atau koleksi buku. Makna lain dari kata bible adalah buku yang memiliki otoritas atau karya sastra yang unggul, batu kecil yang suci atau mesin penggiling batu.
Sedangkan Bible (dengan “B” besar) berarti buku yang berisi catatan atau tulisan suci dari agama-agama, sehingga sering juga disebut dengan holy Books atau Holy Writings. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an adalah Bible kaum Muslimin. Akan tetapi ketika disebut The Bible, maka yang dimaksud khusus, yaitu menunjuk pada buku yang diterima debagai kitab suci Kristiani. The Bible bukan merupakan buku tunggal tetapi merupakan koleksi dari sejumlah buku dan surat. Bible dibagi dua bagian utama. Bagian pertama merupakan bagian terbesar disebut perjanjian lama. Bagian kedua dan merupakan bagian kecil disebut perjanjian baru.[8]

C. Hermeneutika Sebagai Suatu Pendekatan.
1. Wilayah Pendekatan Hermeneutika.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, sasaran operasiona hermeneutika  sebenarnya selalu berhubungan dengan proses pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation) dan penerjemahan (translation).[9] Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat didekati dengan hermeneutika adalah teks yang tertulis. Tapi kemudian muncul persoalan ketika pemahaman dilakukan pada teks tanpa tuan, apakah pemahaman hanya terbatas pada teks yang nampak atau mesti melibatkan aspek psioko-histiris penulisnya.
Di sinilah muncul dua aliran mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan historispsikologis. Pertama berpandangan bahwa untuk menemukan sebuah kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Kedua  berpandangan bahwa teks adalah eksposisi eksternal dan temporal semata dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif dalam teks. Mazhab inilah yang diperjuangkan oleh Schleiermacher dengan teorinya gramatical undrtanding (pemahaman gramatikal) dan psychological understanding (pemahaman psikologis).[10]
Tapi dalam perkembangan selanjutnya, wilayah hermeneutika tidak lagi terbatas pada dua mazhab di atas, akan tetapi telah diintegrasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Para ilmuan seperti sosiolog, antropolog, ekonom, sejarahwan, teolog, filosof dan para sarjana agama menggunakan hermeneutika dalam disiplin ilmunya.
Maka lahirlah, misalnya pertama, teori baru tentang perilaku manusia (human behavior) dalam ilmu jiwa yang dipahami sebagai pengaruh dan manifestasi perasaan akibat intres sistem klas dalam masyarakat. Kedua, pengembangan epistemilogis atas filsafat bahasa yang mengklaim bahwa apa yang disebut dengan “realitas kultural” sebenarnya adalah sebuah fungsi struktur bahasa yang didasarkan pada pengalaman. Ketiga, argumentasi tertinggi di kalangan filosof semisal Ludwig Wittengstein dan Martin Heidegger, bahwa semua pengalaman manusia pada dasarnya adalah sebuah penefsiran. Bahkan, hermeneutika juga digunakan dalam sosiologi interpretatif.[11]
Dengan demikian, semakin meluasnya wilayah pendekatan hermeneutika, maka klasifikasi studi hermeneutika juga menjadi terbagi, yaitu :
a. Exegesis (Tafsir atas Bible).
b.  Philology (interpretasi atas berbagai teks sastra kuno).
c. Technical Hermeneutics (interpretasi atas penggunaan dan pengembangan kaedah-kaedah bahasa).    
d. Philosophical Hermeneutics (interpretasi atas sebuah pemahaman esensial).
e. Social Hermeneutics (interpretasi atas perilaku manusia baik individu maupun sosial)[12]
Nampak dengan jelas bahwa meskipun pada awalnya wilayah operasional hermeneutika terbatas pada teks-teks kitab suci semata, tetapi pada perkembangan selanjutnya hermeneutika telah dibawa memesuki wilayahwilayah lain dan ternyata mampu diaplikasikan secara ilmiah.

2.    Langkah-Langkah Pendekatan Hermeneutika.
Dibandingkan dengan metode fenomenologi yang mencoba mengungkapkan dan mendiskripsikan hakekat agama, maka metode hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui interpretasi. Karena pada mulanya metode ini diterapkan untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan, maka tidak heran jika tradisi tekstualitas masih tetap melekat, dalam arti masih mendudukan teks sebagai perhatian sentral. Sehingga langkah-langkah yang perlu diikuti dalam melakukan penelitian dengan pendekatan hermeneutik adalah sebagai berikut :
a.    Telaah Atas Hakekat Teks.
Di dalam hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu di ciptakan. Karena wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa, maka yang menjadi pusat perhatiannya adalahhakekat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat menyempaikan sesuatu. Sebagai akibatnya, terdapat hubungan antara ‘alat penyampaian’ dan ‘apa yang disampaikan’. Tujuan dari metode ini adalah mengerti tentang apa yang disampaikan dengan cara menginterpretasikan alat penyampaiannya, yaitu teks atau bahasa tulis.
Dengan demikian, kemandirian teks yang dimaksud sebelumnya adalah kemandirian dalam semantik, yaitu interpretasi yang dilakukan harus melalui pendekatan sematik untuk mengerti pesan yang disampaikan oleh teks. Selain semantik, semiotik juga sering menjadi metode pendukung dalam hermeneutika; yaitu melihat teks sebagai sebuah tanda yang harus dimaknai.
b.    Proses Apresiasi.
Proses ini, sesungguhnya adalah bentuk ketidakpuasan atas kebenaran tekstual. Karena itu, proses ini mencoba mengapresiasikan secara historis perkembangan selanjutnya hermeneutika telah dibawa memesuki wilayahwilayah lain dan ternyata mampu diaplikasikan secara ilmiah.
Penulis atau pengarang teks. Menurut Dilthey, sebuah teks mesti diproyeksikan kebelakang dengan melihat tiga hal: a). Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku sejarah yang berkaitan dengan teks. b). Memahami makna aktivitas mereka pada hal yang berkaitan langsung dengan teks. c). Menilai peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat teks tercipta.[13]
Dengan demikian, seorang pembaca atau peneliti tidak dibiarkan tenggelam dalam lautan teks, tetapi juga harus menyelam ke dunia di mana teks diciptakan. Maka hingga di sini, pembaca akan memahami teks secara berbeda, karena wawasan masing-masing-masing berbeda pula. Jika pembaca memiliki wawasan yang luas maka mungkin kebenaran yang akan diperoleh akan menaji luas pula demikian juga sebaliknya.
c.     Proses Interpretasi.
Inilah bentuk terakhir dari proses pengkajian dengan pendekatan
hermeneutika. Ketika berhadapan dengan teks maka pembaca dinyatakan dalam situasi hermeneutika, yaitu berada pada posisi antara masa lalu dan masa kini, atau antara yang asing dan yang tak asing. Masa lalu dan asing karena tidak mengetahui masa lalu teks dan masa kini dan tak asing karena mengetahui teks yang sedang dihadapi.
Sebagai seorang yang menempati posisi antara, maka ia harus menjembatani masa lalu dan masa kini melalui interpretasi. Pembaca atau peneliti harus mampu menghadirkan kembali makna-makna yang dimaksudkan ketika teks dicipta di tengah-tengah situasi yang berbeda. Agar benar-benar memperoleh interpretasi yang benar (sesuai dengan pencipta teks), maka pembeca atau peneliti juga dituntut memiliki kesadaran sejarah, karena salah dalam memahami sejarah maka proses hermeneutika akan menjadi keliru.[14]
Ketiga proses di atas tidak dapat dipisahkan dalam tradisi hermenautika, karena hanya akan menimbulkan kebenaran a priori. Contoh  dekat ketika mengabaikan salah satunya adalah sebagai berikut : Sekedar sebagai illustrasi aktual, ketika Pramoedra Ananta Toer menerima penghargaan sastra dari Yayasan Magsaysay di Pilipina. Bagi Mochtar Lubis, yang juga pernah menerima penghargaan serupa, sangat keberatan terhadap Yayasan Ramon Magsaysay yang memberikan penghargaan tersebut.
Alasannya, antara karya sastra dan karier politik pribadi Pramoedya sangat bertentangan. Meskipun karya sastranya memiliki semangat kemanusiaan dan perlawanan terhadap penjajahan, namun pengarangnya sendiri, semasa Orde Lama, kata Mochtar Lubis, berlumuran dosa kemanusiaan dan penindasan. Lalu, tanya Moctar Lubis, bagaimana seandainya nanti ada orang semacam Hitler menulis karya sastra yang mengutuk penindasan, apakah layak sang Hitler digelari tokoh kemanusiaan?[15]
Polemik semacam inilah yang menjadi problem tersendiri dalam dunia hermeneutika jika mengabaikan proses-proses di atas. Maka sekali lagi, teks, baik tulisan maupun simbol-simbol alam (matluw dan gayr matluw) yang hadir di hadapan kita bukanlah satu-satunya pusat perhatian terbatas, tapi harus melampaui teks tersebut menjangkau esensi dan konteks kelahiran teks.
Dengan kata lain, pembaca harus mampu berdialog dengan teks dengan segala hal yang dapat membantu pemahaman yang paling dekat kepada kebenaran.

D.  Sejarah Bibel sebagai Kajian Hermeneutika
Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.
Makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast (1778-1841).
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang berpangkal pada semangat rasionalisasi, di mana akal menjadi patokan bagi kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh akal atau metafisika.
Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929).[16]
Jadi, Hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami sebuah teks suci pada awal abad 17 dan 18 M. Ketika pemikiran tentang wacana bahasa, filsafat, dan keilmuan lainnya berkembang pesat, hermeneutik mulai dilirik masyarakat Eropa untuk memamahi kitab suci Injil. Hal ini bertujuan agar mereka bisa menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia yang telah termanifestakan dalam sebuah teks bernama Injil. Sedangkan kajian hermeneutik sebagai sebuah bidang keilmuan yang mapan mulai marak pada abad ke 20.[17]

E.  Problem Bible
Bible merupakan salah satu kitab suci tertua di Dunia. Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin : Biblia, artinya ‘buku kecil’ : Yunani : Biblos) biasanya dipahami sebagai kitab suci kaum Kristen dan Yahudi.
Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan dengan “perjanjian Baru “ (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai juru selamat. Yahudi menolak klaim jesus sebagai juru selamat manusia.[18]
Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bible 39 Kitab dalam Perjanjian Lama-Nya kaum Kristen, denagan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bibel atau Jewish Bibel. Kedudukan Bibel yang di dalamnya termuat torah, bagi kaum yahudi sangat Vital.
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman dalam bukunya Who Wrote The Bible, menulis hingga kini siapa yang sebenarnya menulis kitab ini masih merupakan misteri.[19]
Selain itu Anas Adnan menyebutkan di dalam bukunya bahwa Thomas Hobbes telah menemukan di dalam observasinya bahwa Pentateukh (5 kitab pertama dalam perjanjian lama) bukanlah wahyu yang diterima dan ditulis oleh Nabi Musa, melainkan ditulis orang lain setelah kematian Musa.[20] Anas Adnan di Dalam bukunya juga mengutip pendapat simon  yang ditulis di dalam bukunya “ Histoire Critique du Vieux Testamen (1682)” bahwa Pentateukh tidak hanya ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis oleh beberapa orang. Simon juga menunjukan Analisisnya yang sistemnya berupa penyelidikan yang menyimpulkan : “ Gaya tulis Alkitab (Bible) selalu berbeda-beda. Kadang terlalu singkat, kadang sangat berlebihan “. Pada hal bentuk seperti itu tidak boleh terjadi pada kitab suci.[21]
Problem lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David (the King of Israel) digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan suaminya (Uria) ke ujung kematian. Akhirnya, ia mengawini Batsheba dan melahirkan solomon. Harper’s Bible Dictionary, mencatat sosok David sebagai : “Th Most Power full King Of Bible Israel.” Namun, David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal sebagaimana hal tersebut dalam Bible. [22]
Adian Husaini menyebutkan bahwa kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bible membuktikan banyaknya problem yang dihadapi. Dua pakar yahudi, Israel Finkelstain dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku : The Bible Unearthed : Archaelogy’s New Vision Of Ancient Israel and the Origin Of Its Sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Bibel. Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini,[23] dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.[24]
Memang bahasa asli Bible menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang berbasis pada teks yang berbasis pada teks Versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek.
Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tdak jauh berbeda dengan 160 versi lainya. Meskipun sekarang telah ada kononifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. Jadi karena Bible asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi oleh tradisi kependetaan yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja.[25]

F.   Hermeneutika Sebagai Kritik Bible
Bible terdapat beberapa kritik yang terkait, diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filosof (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism).
Kritik teks (textual criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan akurasi sebuah teks. Menganalisa teks mengakibatkan dua proses, yaitu edit (recepsion) dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang terbaik.
Kajian filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang diinginkan pengarang. Kajian pilologis bukan hanya mencakup kosa kata, morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk, signifikasi, makna bahasa dan sastra.
Kritik sastra (literary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan studi sumber. Ketika pertama kali sumber muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan didalam baya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan kandungan Bible akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatar belakangi teks Bible diteliti.[26]
Kata form criticism (krituk bentuk) adalah terjemah dari kata jerman “Formgeschichte” yang artinya “ sejarah bentuk” dan kata Formgeschichte muncul pertama kalinya didalam karya seorang sarjana dari Jerman Martin Dibctilus (1919). Disebabkan karya Dibelius dan dua karya sarjana jerman lainnya, yaitu K.L. Schmidt (1919). Dan R. Bultmaan (1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam studi Perjanjian Baru. Ketika form criticism ditetapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode tentang dakwah yesus oleh orang-orang yang mempercayainya yang mendahului penulisan Bible.kedua, dalam periode tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakanya telah beredar sebagai unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikan menurut bentuk-bentuknya. Jadi, Bibel adalah hasil memilih dan memilah yang sampai kepada para penulis Bibel dari berbagai bentuk.
Kritik redaksi (redaction criticism) di dalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada ditangan mereka. Kritik redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka. Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimaksudkan dan apa yang tidak beserta perubahan. Perubahan sumber-sumber yang diketahui pengarang Bible. Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.[27]
Metode Bible memang tepat diterapkan untuk Bible, karena Bible merupakan hasil karangan beberapa penulis. Karangan pengarang Bible terwarnai oleh latar belakang mereka masing-masing. Oleh karena itu, kononisasi, textus receptus, dan teks standar Bible memang harus ditolak. Jadi, sebenarnya Bible bukanlah kitab suci  sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat awam kristen. Bibel memuat beberapa permasalahan mendasar. Bagaimanapun ketika para sarjana barat, orientalis atau islamolog Barat mengkaji al-Qur’an, mereka membawa Biblical criticsm tidak tepat di aplikasikan ke dalam metodelogi ulumul al-Qur’an. memang ada kemiripaan antara ulumul Qur’an dan Biblical Criticism namun, terdapat juga perbedaan mendasar antara keduanya.[28]

G. Contoh Bible
Citranya ini, yang diambil dari Kitab Yehezkiel 1:10, tentang takhta Allah yang didukung oleh empat makhluk dengan empat wajah "Keempatnya mempunyai muka manusia di depan, muka singa di sebelah kanan, muka lembu di sebelah kiri, dan muka rajawali di belakang" ekuivalen dengan Injil yang "berwajah empat", adalah lambang-lambang konvensional dari para penulis Injil: singa, lembu, rajawali, dan manusia. Irenaeus berhasil menyatakan bahwa keempat Injil itu bersama-sama, dan hanya keempat Injil inilah, yang mengandung kebenaran. Dengan membaca masing-masing Injil di dalam terang yang lainnya, Irenaeus menjadikanYohanes sebagai lensa untuk membaca Matius, Markus dan Lukas.
Pada peralihan abad ke-5, Gereja Barat di bawah Paus Innosensius I, mengakui sebuah kanon Alkitab yang meliputi keempat Injil yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, yang sebelumnya telah ditetapkan pada sejumlah Sinode regional, yaitu Konsili Roma (382), Sinode Hippo (393), dan dua Sinode Kartago (397 dan 419).Kanon ini, yang sesuai dengan kanon Katolik modern, digunakan dalam Vulgata, sebuah terjemahan Alkitab dari awal abad ke-5 yang dikerjakan oleh Hieronimus atas permintaan Paus Damasus I pada 382.[29]
H.  Kesimpulan
Hermeneutika adalah suatu teori tentang interpretasi makna atau suatu ilmu untuk memahami suatu makna. Sedangkan Bible adalah salah satu kitab suci Yahudi dan Kristen. Hermeneutik dan bibel adalah satu kesatuan bahasan yang sangat berhubungan, karena giron atau kajian hermeneutika yaitu mengkaji pemahaman teks temasuk Bible.
Problem Bible diantaranya : 1. Bible merupakan kitab suci Kristen dan Yahudi namun dengan adanya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di tolak oleh yahudi karena ketidak singkronan makna kitab Kristen dan Yahudi. 2. Ketidak jelasan siapa yang membuatnya/menulisnya 3. Ketidak layakan akhlak tokoh-tokoh Bible, dan lain-lain.
Kritik tentang Bible diantaranya terdapat beberapa kritik yang terkait, diantaranya kritik teks (textual criticism), kajian filosof (philological study), kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism), dan kritik redaksi (redaction criticism).

                              DAFTAR PUSTAKA
Adnan Anas, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an dengan metode Manhaji, Surabaya : Pendidik dan Pengembangan al-Qur’an [PPQ], 2010.

Adian Husain, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, Jakarta : Gema Insani, 2005.

------------------, Problem Teks Bible, http : // www. Insistent. Com, diakses tanggal 26 maret 2012.

Armas Adnin, Metodologi Bible dalam Studi al-Qur’an : Kajian Kritik, Jakarta : Grama Insani Press, 2005.

Al-Jawahiry. Hermeneutika Al-Qur’an, Http://Blogspot.Com, 07, 2013.

Djamaluddin Dedy [et.al.], Zaman Baru Islam Indonesia, Jakarta: Wacana Mulia, 1998.

E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.


Hidayat Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998.

                                                                                                         
Jary Devid [et.al.], The Harper Collin Dictionary of Sociology, New York: Harper Collin, 1991.

Muhsin Mahfudz. Pdf-Adob Reader

Mulyono Edi, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar Hermeneutika, Yogyakarta : IRCiSoD, 2013.

Noerhadi Megatsari, “Penelitian Agama Islam” dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu Bandung: Nuansa, 2001.

Nurbayan Yayan, Pengunaan _ Hermeneutika dalam Al-Qur’an.: Http : // File. Upi . Edu / Pdf.












[1] Signifikan (Pesat atau Cepat).
[2] Al-Jawahiry. Hermeneutika Al-Qur’an, Http://Blogspot.Com, 07, 2013.
[3] Jendel Ilmu, Hermeneutika dan Kritik BibeL. File:// E:/ 20
[4] Edi Mulyono, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar Hermeneutika (Yogyakarta : Ircisod, 2013),15-17.
[6] Al-Jawahiry. Hermeneutika Al-Qur’an. Http://Blogspot.Com. 07. 2013
[7] Yayan_Nurbayan, Pengunaan_Hermeneutika dalam Al-Qur’an.: Http://File.Upi.Edu/ Pdf
[8] Jendela Ilmu, Hermeneutik dan Kritik Bibel,.......
 [9] Dedy Djamaluddin [et.al.], Zaman Baru Islam Indonesia (Jakarta: Wacana Mulia, 1998), Cet.I,  73.
[10]  Mircea Eliade (Ed), The Encyoclopedia of Religion, (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), Volume 7, 281.
[11] Pendekatan hermeneutika dalam kasus ini untuk memaknai perilaku sosial lewat aktor-aktor sosial. Lihat, Devid Jary [et.al.], The Harper Collin Dictionary of Sociology (New York: Harper Collin, 1991), 249. Sosiologi interpretatif menggunakan ‘hermeneutic’ dan ‘doble hermeneutic’ yang dalam devinisi Mohamed Arkoun disebut ‘understanding of understanding’. Lihat Komaruddin Hidayat Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1998), 117.
[12] Dedy Djamaluddin, Zaman Baru Islam Indonesia,...... 64.
[13] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1999),  Cet.V,23. 57.
[14] Noerhadi Megatsari, “Penelitian Agama Islam” dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), Cet.I, 221-223.

[15] Muhsin Mahfudz. Pdf-Adob Reader
[18] Andian Husain, Problem Teks Bible, http : // www. Insistent. Com, diakses tanggal 26 maret 2012.
[19] Adian Husain, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal (Jakarta : Gema Insani, 2005), 42.
[20] Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an dengan Metode Manhaji (Surabaya : Pendidik dan Pengembangan al-Qur’an [PPQ], 2010), 76.
[21] Ibid., 77
[22] Andian Husain, Problem Teks Bible,...
[23] Anas Adnan di dalam bukunya mengatakan bahwa Bible pertama kali menggunakan bahasa Arami, Ibrani, yunani, dan akhirnya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa didunia tanpa menunjukan bahasa aslinya. Bahasa yang dipakai oleh Yesus adalah bahasa Arami, sama dengan bahasa masyarakatnya kemudian Injil diakui berbahasa asli Ibrani, tapi tidak pernah dijumpai Injil yang Asli itu. Lihat Anas Adnan, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an ..,,..., 76.
[24] Andian Husain, Wajah Peradaban Barat ... 42-32.
[25] Andian Husain, Problem Teks Bible, http : // www. Insistent. Com, diakses tanggal 26 maret 2012, jam 19. 45.
[26] Ibid., 45.
[27] Ibid., 46.
[28] Ibid., 47.
[29] http://id.wikipedia.org/wiki/Injil


Tidak ada komentar:

Posting Komentar