Ignaz Goldziher
Makalah
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Studi
Hadits Di Barat
Disusun oleh:
Abu Bakar
Adi Bukhari
Alam Tarlam
TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
DAFTAR
ISI
1.
DAFTAR ISI……………………………………………………………….............……......
i
2.
BAB I :
PENDAHULUAN………………………………………………………….......…… 1
A. Latar
Belakang Masalah..................................................................................................................
1
B. RUMUSAN
MASALAH............................................................................................................
2
C. TUJUAN
MASALAH............................................................................................
2
3.
BAB II :
PEMBAHASAN...............................................………………………….........……..
4
A. Beografi Ignaz Goldziher.....…………………………..……………………...................…...
4
D. Karya-karya Goldziher..............................................................................................
5
E.
Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits................................................................7
F.
Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits......................................................8
4.
BAB III KESIMPULA
………………………………..,.....................................................,.... 12
5.
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..........................…...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Mempelajari Islam tidak cukup
hanya dengan mencurahkan perhatian kepada Al-Qur’an saja, karena Allah Swt
menurunkan Al-Qur’an itu sekaligus dengan sesuatu yang menjelaskan maksudnya
dan memberikan contoh pengamalannya, yang dinamakan dengan Hadis. Dengan
demikian, mempelajari hadits adalah kewajiban bagi setiap muslim. Karena dengan
memahami hadits, seorang muslim mampu menangkap dengan benar bagaimana
penjelasan Nabi Muhammad SAW yang benar terkait Al-Qur’an, mampu memahami
dengan benar hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh-nya, mampu menjadikan sosok
Nabi Muhammad Saw sebagai Uswah Hasanah, dan mampu mentaati dengan benar semua
perintah dan larangan-nya.[*]
Melihat fungsi hadits yang begitu
berpengaruh bagi pembentukan hukum, tata cara ibadah, dan etika dalam Islam.
Maka Hadis menjadi sangat penting kedudukannya dalam pembentukan Syari’at
Islam. Sehingga apabila kedudukan Hadis ini diganggu sehingga menyebabkan
keraguan terhadapnya, maka runtuhlah Islam.
Maka orang-orang yang menentang
dan ingin menghancurkan islam banyak yang menyerang kedudukan Hadis,
diantaranya adalah seorang Yahudi bernama Ignaz Goldziher (L. 1850-W. 1921),
dengan tesisnya “Tidak ada Hadis yang benar-benar bersumber Nabi Saw
dan bagian terbesar dari Hadis sekarang ini tak lain
adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang
keagamaan, politik maupun sosial.”
Ignaz Goldziher memaparkan
tesisnya ini dengan “Standar Ilmiah” dalam
bukunya Muhammedisnche Studien yang ditulis dalam bahasa
Jerman pada tahun 1890. Kemudian tesis ini menjadi pijakan bagi orientalis
lainnya sepertiJoseph Schacht, dan orientalis lainnya. Bahkan saking kuatnya
pengaruh Goldziher, sejumlah pemikir muslim banyak yang sedikitnya terpengaruh
oleh tesisnya ini. Seperti A.A.A. Fyzee, hakim muslim di Bombay, India,
dan Fazlur Rahman, pemikir neomodernis asal Pakistan yang cukup populer di
Indonesia.[†]
Sejak tahun 1890 ketika tesis
goldziher diluncurkan belum ada karya yang dibuat dengan “Standar Ilmiah” yang
mampu membantah tesis goldziher. Maka pada tahun 1966 muncullah antitesis yang
dibuat oleh Muhammad Musthafa Al-‘Azhami dengan disertasinya di
Universitas Cambridge, Inggris yang dibukukan dengan judul ”Studies
in Early Hadith Literature”. M. M. Azhami berhasil menyanggah
pendapat-pendapat para orientalis, menangkis tuduhan-tuduhan palsu mereka,
mengkritik pendapat-pendapat mereka dengan argumen yang kuat, meruntuhkan
sumber-sumber rujukan mereka yang lemah, dan menyingkap tabir kekeliruan mereka
dalam memahami sejumlah rujukan bahasa Arab.[‡]
Insya Allah, dalam makalah ini
penulis akan menjelaskan sekilas mengenai biografi Ignaz Goldziher, kemudian
selanjutnya membahas seputar pemikiran Ignaz Goldziher serta kritik terhadap
pemikirannya. Sumber rujukan makalah ini diantaranya adalah buku karangan M. M.
Azami, Badri Khaeruman, dan buku-buku lainnya. Penulis pun tidak sedikit
mengutip dari situs Internet terutama tentang biografi Goldziher karena
kekurangan rujukan dalam bentuk buku.
B. RUMUSAN MASALAH
Sehubungan
dengan latar belakang tersebut, maka beberapa rumusan masalah yang perlu dikaji
dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimanakah Beografi Ignaz Goldziher ?
2.
Apa saja Karya-karya Goldziher ?
3.
Bagaimanakah Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits ?
4.
Bagaimanakah Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits ?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan latar belakang
permasalahan dan perumusan masalah yang menjadi titik pokok pembahasan, maka
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah Beografi
Ignaz Goldziher !
2. Untuk mengetahui Apa saja
Karya-karya Goldzihe !
3. Untuk menelaah Bagaimanakah Pandangan
Ignaz Goldziher terhadap Hadits !
4. Untuk menelaah Bagaimanakah Kritik
Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits!
BAB II
PEMBAHASAN
A. Beografi Ignaz Goldziher
Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850
di kota Hongaria. Dia Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki
pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian
melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869. Pada tahun 1870 dia
pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke
Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada
beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat
menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Di Universitas ini, dia menekankan
kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus hadits paling penting di
abad ke-19. Pada tanggal 13 Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas
terakhirnya di Budhaphes. Dia juga pernah mengajar filsafat Yahudi di Jewish
Seminary Budhaphes tahun 1900.
Di luar negeri, dia menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi,
delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana luar negeri. Tahun
1904, ia dianugerahi gelar Doktor dalam bidang kesusastraan oleh Universitas
Cambridg, dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia.
Sebagai seorang orientalis yang gigih, ia berusaha menciptakan keresahan
umat Islam dengan mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang membahayakan bagi umat
Islam, seperti menggoyang kebenaran hadits Nabi Muhammad Saw, maka
karya-karyanya menjadi sangat berbahaya, terutama berita kebohongan dan
kebodohan yang dapat menciptakan permusuhan terhadap Islam. Setelah mengenal
biografi tokohnya secara lebih jelas, maka penulis akan menjelaskan lebih jauh
mengenai pemikirannya.
Diskursus tentang otentisitas hadits merupakan salah satu hal yang sangat
krusial dan kontroversial dalam studi hadits. Hal ini karena perbedaannya
dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya,
sebagaimana firman Allah SWT dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” Maka secara normatif-theologis, hadits tidak mendapatkan
“garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai
orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan
menganggap negatif keberadaan hadits. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari
pada Alois Sprenger (kritikus hadits pertama kali) dengan karyanya “Uber Das
Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856) dan Sir William Munir dengan
karyanya life of mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher
mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas
hadits tersebut.
Tesis pokok Goldziher dalam kajian hadits adalah tawaran metode kritik
matan yang mencakup aspek politik, sains dan sosial kultural dan tuduhan
pemalsuan hadits oleh al-Zuhri.
B. Karya-karya Goldziher
1.
Al-Dzahiriyyah; Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Karya ini ditulisnya pada tahun 1884 M. Dalam karya ini dituliskannya
tentang ushul fiqh dan kaidah fiqh dalam perspektif madzhab Dzahiri. Ia juga
mengutarakan pula hubungan antara madzhab Dzahiri dengan madzhab yang lain.
2. Dirasah Islamiyyah. Karya ini terbit pada tahun
1889. Dalam karya ini Ignaz mendiskripsikan tentang paganisme (al-watsaniyyah)
dan Islam. Menurut Ignaz, pergulatan yang terjadi pada masa Arab jahiliyyah
melawan semangat Islam, ternyata tidak hanya terbatas pada kalangan bangsa Arab
saja, tetapi juga terjadi pada seluruh bangsa yang akhirnya masuk Islam. Ignaz
menjelaskan bagaiman proses terjadinya pengislaman dan nilai-nilai Islam yang
menjadi unggulan atas tradisi jahiliyyah. Islam memang unggul masalah moralnya,
seperti memuliakan darah bangsa Arab. Islam juga menyeru pada persamaan hak,
tidak ada perbedaan derajat antar manusia, Islam juga menolak ketinggian
seeseorang karena nasabnya. Semua itu tergambar dalam pondasi bahwa tidak ada
keutamaan bangsa Arab atas non-Arab kecuali taqwanya Pada juz kedua dari
karyanya (Disarah Islamiyyah) inilah perlu untuk diwaspadai,
karena karya ini sangat penting dan mengandung unsur penyelewengan
yang sangat berbahaya. Pada bagian pertama pembahasannya tentang hadis, Ignaz
memaparkan sejarah dan perkembangan hadis serta mengungkapnya urgensi hadis
bukan dalam arti yang sebenarnya menurut Islam. Menurutnya, hadis merupakan
sember utama untuk mengetahui perbincangan politik, keagamaan dan mistisme
dalam Islam. Masalah ini terjadi disepanjang masa, hadis dipakai sebagai
senjata oleh masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupun
faham fiqh berupaya untuk menggunakan hadis sebagai alat menguasai persoalan
kehidupan ditengah umat Islam. Jadi, hadis tidak untuk mengetahui perilaku
nabi, tetapi lebih pada kepentingan kelompok tiap aliran, baik politik maupun
keagamaan. Pada bagian lain dari juz kedua ini, Ignaz menjelaskan tentang
pengkultusan wali di kalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan
dengannya. Misalnya korelasi pengkultusan yang terjadi dalam Islam dan
pengkultusan pada masa jahiliyyah. Ia membagi pengkultusan wali menurut
lokasi-lokasinya yang tersebar di dunia Islam.
3. Madzahib al-Tafsir
al-Islami. Karya ini pertama kali terbit di London pada tahun 1920 dan
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebanyak dua kali. Karya ini
membincangkan tentang tafsir dan metodologinya pada masa awal dan pertengahan
Islam. Selain itu Ignaz mengetengahkan kritik bahkan celaan tentang ragam
qira’ah al-Quran, rasm Ustmani, dan beberapa aliran penafsiran al-Quran.
4. Al-Aqidah wa
al-Syari’ah fi al-Islam. Karya ini dicetak pada tahun 1960. Dalam karya ini Goldziher
banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad
Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12,
Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan
pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan
ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan
lain-lainnya.
5. Buku-buku lain yang dihasilkan
Ignaz ialah al-Mu’ammarin-nay Abi Hatim pada tahun 1899, Ignaz juga
menulis pendahuluan bagi buku at-tauhid-nya Muhammad ibnu Tumart
Mahdi al-Muwahidun, buku ini diterbitkan oleh Lucian pada tahun 1903 di
Aljazair. Dalam pengantarnya, Ignaz membahs tentang Ijtihad dan taklid. Adapun
karangan Ignaz yang paling fenomenal adalah Muhadharat fi
al-Islam dan al-Qur’an ‘Inda al-Muslimin (Leiden,
1920).
6. Muhadharat fi
al-Islam (Heidelberg, 1910) membahas penilaian umum yang diberikan Ignaz tentang
Islam ditinjau dari berbagai aspek. Pada pasal pertama membicarakan “Muhammad
dan Islam”, pada pasal kedua membahas “pekembanagn syari’at”, disini dibahas
sejarah hadis secara umum dan spesifikasi fiqh pada masa awal terbentuknya
madzhab. Pada pasal ketiga membahas tentang “perkembangan ilmu kalam”, pada
pasal keempat tentang “Zuhud dan Tasawuf”, yang menguraikan sejarah timbulnya
mistisime dalam Islam dan perkembangannya, yaitu ketika peradaban Islam
berkenalan dengan Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wihdatul
wujud pada abad ke tujuh hijriyyah. Dalam bagian akhir buku ini
mambahas tentang aliran-aliran yang terdapat dalam Islam, seperti Khawarij,
Syiah, dan aliran-aliran yang muncul pada masa kontemporer, seperti Wahabiyyah,
Bahaiyyah, Babiyyah, dan Ahmadiyyah.[§]
Ittijahat Tafsir al-Qur’an ‘Inda al-Muslimin, Ignaz mengulas
langkah-langkah dalam menafsirkan al-Qur’an, sejarah penulisan al-Qur’an, ragam
bacaan, latar belakang timbulnya keragaman penafsiran, dan berbagai hal uang
berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Pembahasannya diakhiri dengan pembicaraan
kitab tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Pada bagian
akhir ditemukan metode-metode tafsir modern yang dipelopori oleh ulama modern
yang menyatakan terbukanya kembali pintu Ijtihad.
C. Pandangan Ignaz Goldziher
terhadap Hadits
Ignaz
Goldziher dalam bukunya Muhammedanisnche Studien, dia mengatakan bahwa bagian terbesar dari hadis
tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam
bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang
menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini
(masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa
kematangan”. Oleh karena itu, yang dapat dibenarkan berasal dari masa hidup
Muhammad SAW hanyalah Al-Qur’an, sedangkan yang lainnya, termasuk
hadis adalah ‘buatan’ kaum muslimin dari abad II dan III hijriyyah.
Dasar dari
anggapan tersebut adalah “bukti-bukti” yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam
sebelum abad II dan III H., adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan
yang cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus keagamaan dan
mengembangkan doktrin yang kompleks. Buta huruf masih merata, dan kebudayaan yang terpusat di lingkungan istana
raja-raja dan hanya berkembang di kota-kota besar, ternyata masih bersifat
lepas dari hubungan dengan agama. Dengan kata lain, kebudayaan Arab waktu itu
masih bersifat sekular. Keadaan ini berlangsung hingga akhir masa pemerintahan
Dinasti Umayyah di Damaskus, bahkan hingga pemerintahan beberapa Khalifah
Dinasti Abbasiyyah di Baghdad.
Dasar lain dari adanya anggapan
tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata
menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan”
dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah,
ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadis. Sejumlah kecil
memang terpelihara teksnya dengan penurunan lisan (oral-transmission) dari guru
ke murid secara berantai. Tetapi sebagian besar hadis yang terkumpul dalam
corpus hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Muhammad
SAW. Karena sulitnya mencari mana di antara sekian ratus ribu hadis
yang benar-benar berasal dari masa kehidupan beliau. Dengan sendirinya hadis
secara keseluruhan harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Dengan
demikian, menurut goldziher, hadis sebagai ungkapan yang berasal dari Muhammad
itu adalah hadis sebagai sunnah dalam pengertian bahasanya saja, yaitu sebagai
jalan hidup yang harus dilalui seseorang atau masyarakat. Jika corpus hadis
diartikan sebagai pembentukan secara evolusioner hukum, yang mengatur kehidupan
kaum muslimin, tidak perduli yang berasal dari masa kehidupan Muhammad SAW
maupun jauh setelah itu, maka hadis memang ada. Tetapi tidaklah dapat
dipertanggung jawabkan secara keseluruhan berasal dari masa hidup Nabi.[**]
D. Kritik
Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits
1. Goldziher
menuduh bahwa hadis hanya sedikit sekali yang terpelihara, karena hadits
diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad pertama Hijriyyah. Ini
dikarenakan kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa
hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke
generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah, ketika ibn Syihab
al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadis.penulisan hadits.
M. M. Azami membuktikan dalam
karyanya, bahwa Hadits diturunkan tidak hanya dengan cara lisan belaka. Ia
menunjang pembuktian ini dengan menerbitkan tiga buah corpus hadis yang
dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail Ibn Abi Shalih,
Ubaidillah ibn Umar, dan Ali Al-Yaman Al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari
Abad pertama hijriyyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadits mudah dipalsukan
dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan, menjadi tidak
terbukti lagi.
Penelitian atas istilah-istilah
yang digunakan dalam referensi hadis menunjukkan, bahwa berita yang menyatakan
Ibn Shihab Al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan hadis pada permulaan
abad II Hijriyyah (awwalu man dawwana al-Ilma) mengandung arti lain daripada
yang diduga dan diterima secara umum selama ini. Azami membuktikan, bahwa
al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka dari semua koleksi naskah-naskah
hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.[††]
2. Goldziher
senantiasa menggunakan suatu kejadian individual yang bersifat khusus dan
terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya.
Goldziher menuturkan bahwa
“bimbingan resmi” dan “kegiatan penguasa” untuk memalsu Hadits sudah ada sejak
dini dalam sejarah islam. Dampaknya tampak dalam pesan Muawiyah kepada
al-Mughirah agar ia mengucilkan Ali dan pengikutnya, serta jangan mengambil
hadis-hadis mereka. Di pihak lain, Utsman dan pengikutnya supaya
disanjung-sanjung dan diambil hadis-hadisnya. Pesan ini merupakan “siaran
resmi” yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokan Ali demi membela
kepentingan Utsman.
Goldziher menyimpulkan hal itu
berdasarkan keterangan yang terdapat dalam kitab tarikh karangan Ath-Thabari,
dimana Mu’awiyah berpesan kepada Al-Mughirah sebagai berikut, “jangan
segan-segan mencaci dan mengecam Ali dan jangan bosan-bosan menyayangi dan
memohonkan ampun untuk Utsman. Keaiban berada pada pengikut-pengikut ‘Ali, karenanya
kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya”.[‡‡]
Wasiat ini oleh
Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-pembesar Dinasti Umayyah
untuk memasukan bias politik ke dalam pemberitaan mereka, dan karenanya
pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak
membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka, melainkan juga
mengenai periwayatan hadis dari mereka.
Maka Dr. Al-A‘zhamy menjawab,
"Orang yang membaca teks-teks tersebut berikut kesimpulannya akan merasa
heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan Mu‘awiyah sudah menjadi saksi
sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran, jika dalam suatu negara, pemerintah
selalu mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang.
Inilah yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada
tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang
ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas
Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan
demkian. Dan sejauh itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang
pemalsu hadis."[§§]
3. Pemikiran
goldziher lainnya adalah seringkali ia tidak melakukan penelitian
(checking) ulang yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai
dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut sebenarnya justru
melemahkan argumentasi mereka sendiri.[***]
Seperti kesalahan Goldziher yang
menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran
penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh
kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya
masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah:
a. Hadis
tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry:
...لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث (رواه مسلم)
"Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku
selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!"
b. Hadits
tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان)
…Tuliskanlah untuk Abu Syah!...
Menurut Goldziher, hadis yang
berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl
al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh
penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini
dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang
dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak
benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan
hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits.
Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti
Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik
adalah termasuk ahl al-ra'y.[†††]
Contoh lainnya adalah kritik Goldziher terhadap Hadits “Tidak
diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid
Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan
Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab
shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik
Bin Marwan (73-86 H/694-707 M) penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat
hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (64-73 H/685-694 M) (yang
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang
sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin
Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya
pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para ulama menyatakan, tidak ada
bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli
tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H.
Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun
81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada
musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10
sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur
belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di
luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari
Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat
dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri
tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada
hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan
kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan
belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan
hadits tersebut?[‡‡‡]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Goldziher adalah orientalis yang mempunyai
pemikiran di antaranya menolak kebenaran Hadits. Baginya hadits itu tidak ada
yang otentik. Sebabnya, tidak ada bukti empiris yang menunjukan bahwa hadits
yang beredar memang pada awalnya berasal dari Muhammad. Dalam pandangan
Goldziher, yang telah terjadi adalah "back Projection." Maksudnya,
para perawi hadits meriwayatkan haditsnya dengan mengatas namakan Muhammad,
padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu.
Selain itu juga, Goldziher juga
menegaskan, hadits itu palsu karena diriwayatkan untuk kepentingan politis dan
ideologis dari kaum Muslimin yang sudah terpecah-pecah. Ia juga menyatakan,
keliru kalau hukum Islam bersumber dari al-Qur'an dan hadits. Kekeliruan
tersebut terletak karena mengandaikan sebelumnya pada zaman Muhammad kedua-duanya
sudah tersedia. Bagi Goldziher, hadits baru mulai dihimpun pada abad ke-3
Hijriah, 200-300 tahun setelah kematian Muhammad, baru hadits itu ada dalam
bentuk tulisan.
Akan tetapi ternyata tuduhan
Goldziher bahwa tidak ada penulisan hadits pada abad pertama dapat dibantah
oleh M. M. Azhami dengan penemuannya terhadap 3 naskah yang berisi
hadits-hadits yang ditulis pada abad pertama, yakni naskah Suhail bin Abu
Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, naskah ‘Ubaidullah
bin Umar dari Nafi, dan Naskah Ali Al-Yaman Al-Hakam, yang kesemuanya berasal
dari Abad pertama hijriyyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadits mudah
dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan,
menjadi tidak terbukti lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis
Kontemporer. Bandung: PT Rosdakarya. cet. 1. 2004.
M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Nashruddin Syarif, Ar-Risalah; Syarah Hadits Nabi tentang Iman,
Ihsan dan Kiamat jilid 1. Bandung: Persis Pers, 2011.
Artikel Internet
http://dunia-pustaka.blogspot.com/2012/01/prof-dr-muhammad-mustafa-al-azami-ulama.html.
http://kang-ihsanth.blogspot.com/2012/12/pandangan-ignaz-goldziher-terhadap.html
http://benumalik.blogspot.com/2012/11/ignaz-goldziher.html
http://benumalik.blogspot.com/2012/11/ignaz-goldziher.html
Abdurrahman, M., “Ilmu Hadis
Sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
jld. 4, Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002.
Goldziher, Ignaz, Muslim
Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm. London: 1971.
Wahyudin Darmalaksana, Hadits
Dimata Orientalis, Bandung : Benang Merah Press.2004
[*] Nashruddin Syarif, Ar-Risalah; Syarah Hadits
Nabi tentang Iman, Ihsan dan Kiamat jilid 1. (Bandung: Persis Pers,
2011) hlm. xxii
[†] http://dunia-pustaka.blogspot.com/2012/01/prof-dr-muhammad-mustafa-al-azami-ulama.html. diakses tanggal 16 November 2012, 4:51.
[‡] M. M. Azami, Studies in Early
Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2006) hlm. ix-x
[§] http://benumalik.blogspot.com/2012/11/ignaz-goldziher.html
[**] Badri Khaeruman. Otentisitas
Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. (Bandung: PT
Rosdakarya, 2004) hlm. 246-248
[§§] M. M.
Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. 102
[†††] Ibid. M. M. Azami, Studies in Early Hadith
Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hlm. 121-122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar