Minggu, 10 Maret 2013

IGNAZ GOLDZIHER


Ignaz Goldziher
Makalah
Disusun sebagai Tugas Mata Kuliah Studi Hadits Di Barat
Copy of logo uin.jpg
Disusun oleh:
                                                         Abu Bakar
Adi Bukhari
Alam Tarlam

TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
 SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013
DAFTAR ISI

1.      DAFTAR ISI……………………………………………………………….............……......  i
2.      BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………….......…… 1
A.    Latar Belakang Masalah.................................................................................................................. 1
B.     RUMUSAN MASALAH............................................................................................................ 2
C.     TUJUAN MASALAH............................................................................................ 2
3.      BAB II : PEMBAHASAN...............................................………………………….........…….. 4
A. Beografi Ignaz Goldziher.....…………………………..……………………...................…... 4
D.    Karya-karya Goldziher.............................................................................................. 5
E.     Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits................................................................7
F.      Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits......................................................8
4.      BAB III KESIMPULA ………………………………..,.....................................................,.... 12
5.      DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..........................…...




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Mempelajari Islam tidak cukup hanya dengan mencurahkan perhatian kepada Al-Qur’an saja, karena Allah Swt menurunkan Al-Qur’an itu sekaligus dengan sesuatu yang menjelaskan maksudnya dan memberikan contoh pengamalannya, yang dinamakan dengan Hadis. Dengan demikian, mempelajari hadits adalah kewajiban bagi setiap muslim. Karena dengan memahami hadits, seorang muslim mampu menangkap dengan benar bagaimana penjelasan Nabi Muhammad SAW yang benar terkait Al-Qur’an, mampu memahami dengan benar hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh-nya, mampu menjadikan sosok Nabi Muhammad Saw sebagai Uswah Hasanah, dan mampu mentaati dengan benar semua perintah dan larangan-nya.[*]
Melihat fungsi hadits yang begitu berpengaruh bagi pembentukan hukum, tata cara ibadah, dan etika dalam Islam. Maka Hadis menjadi sangat penting kedudukannya dalam pembentukan Syari’at Islam. Sehingga apabila kedudukan Hadis ini diganggu sehingga menyebabkan keraguan terhadapnya, maka runtuhlah Islam.
Maka orang-orang yang menentang dan ingin menghancurkan islam banyak yang menyerang kedudukan Hadis, diantaranya adalah seorang Yahudi bernama Ignaz Goldziher (L. 1850-W. 1921), dengan tesisnya “Tidak ada Hadis yang benar-benar bersumber Nabi Saw dan bagian terbesar dari Hadis sekarang ini tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial.”
Ignaz Goldziher memaparkan tesisnya ini dengan Standar Ilmiah dalam bukunya Muhammedisnche Studien yang ditulis dalam bahasa Jerman pada tahun 1890. Kemudian tesis ini menjadi pijakan bagi orientalis lainnya sepertiJoseph Schacht, dan orientalis lainnya. Bahkan saking kuatnya pengaruh Goldziher, sejumlah pemikir muslim banyak yang sedikitnya terpengaruh oleh tesisnya ini. Seperti A.A.A. Fyzee, hakim muslim di Bombay, India, dan Fazlur Rahman, pemikir neomodernis asal Pakistan yang cukup populer di Indonesia.[†]
Sejak tahun 1890 ketika tesis goldziher diluncurkan belum ada karya yang dibuat dengan “Standar Ilmiah” yang mampu membantah tesis goldziher. Maka pada tahun 1966 muncullah antitesis yang dibuat oleh Muhammad Musthafa Al-‘Azhami dengan disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris yang dibukukan dengan judul ”Studies in Early Hadith Literature”. M. M. Azhami berhasil menyanggah pendapat-pendapat para orientalis, menangkis tuduhan-tuduhan palsu mereka, mengkritik pendapat-pendapat mereka dengan argumen yang kuat, meruntuhkan sumber-sumber rujukan mereka yang lemah, dan menyingkap tabir kekeliruan mereka dalam memahami sejumlah rujukan bahasa Arab.[‡]
Insya Allah, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan sekilas mengenai biografi Ignaz Goldziher, kemudian selanjutnya membahas seputar pemikiran Ignaz Goldziher serta kritik terhadap pemikirannya. Sumber rujukan makalah ini diantaranya adalah buku karangan M. M. Azami, Badri Khaeruman, dan buku-buku lainnya. Penulis pun tidak sedikit mengutip dari situs Internet terutama tentang biografi Goldziher karena kekurangan rujukan dalam bentuk buku.
















B. RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, maka beberapa rumusan masalah yang perlu dikaji dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah Beografi Ignaz Goldziher ?
2.      Apa saja Karya-karya Goldziher ?
3.      Bagaimanakah Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits ?
4.      Bagaimanakah Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits ?

C.    TUJUAN PENULISAN
              Berdasarkan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah yang menjadi titik pokok pembahasan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui bagaimanakah Beografi Ignaz Goldziher !
2.    Untuk mengetahui Apa saja Karya-karya Goldzihe !
3.    Untuk menelaah Bagaimanakah Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits !
4.    Untuk menelaah Bagaimanakah Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits!
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Beografi Ignaz Goldziher
Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Hongaria. Dia Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869.  Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Di Universitas ini, dia menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus hadits paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13 Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes. Dia juga pernah mengajar filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budhaphes tahun 1900.
Di luar negeri, dia menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi, delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana luar negeri. Tahun 1904, ia dianugerahi gelar Doktor dalam bidang kesusastraan oleh Universitas Cambridg, dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia.
Sebagai seorang orientalis yang gigih, ia berusaha menciptakan keresahan umat Islam dengan mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang membahayakan bagi umat Islam, seperti menggoyang kebenaran hadits Nabi Muhammad Saw, maka karya-karyanya menjadi sangat berbahaya, terutama berita  kebohongan dan kebodohan yang dapat menciptakan permusuhan terhadap Islam. Setelah mengenal biografi tokohnya secara lebih jelas, maka penulis akan menjelaskan lebih jauh mengenai pemikirannya.
Diskursus tentang otentisitas hadits merupakan salah satu hal yang sangat krusial dan kontroversial dalam studi hadits. Hal ini karena perbedaannya dengan al-Qur’an yang telah mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayatnya yang berbunyi: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Maka secara normatif-theologis, hadits tidak mendapatkan “garansi” akan keterpeliharaannya dari Allah Swt. Ignaz Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, tak lupa menyoroti point ini dengan menganggap negatif keberadaan hadits. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadits pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856) dan Sir William Munir dengan karyanya life of  mahomet, namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadits tersebut.
Tesis pokok Goldziher dalam kajian hadits adalah tawaran metode kritik matan yang mencakup aspek politik, sains dan sosial kultural dan tuduhan pemalsuan hadits oleh al-Zuhri.

B. Karya-karya Goldziher
1.    Al-Dzahiriyyah; Madzhabuhum wa Tarikhuhum. Karya ini ditulisnya pada tahun 1884 M. Dalam karya ini dituliskannya tentang ushul fiqh dan kaidah fiqh dalam perspektif madzhab Dzahiri. Ia juga mengutarakan pula hubungan antara madzhab Dzahiri dengan madzhab yang lain.
2.    Dirasah Islamiyyah. Karya ini terbit pada tahun 1889. Dalam karya ini Ignaz mendiskripsikan tentang paganisme (al-watsaniyyah) dan Islam. Menurut Ignaz, pergulatan yang terjadi pada masa Arab jahiliyyah melawan semangat Islam, ternyata tidak hanya terbatas pada kalangan bangsa Arab saja, tetapi juga terjadi pada seluruh bangsa yang akhirnya masuk Islam. Ignaz menjelaskan bagaiman proses terjadinya pengislaman dan nilai-nilai Islam yang menjadi unggulan atas tradisi jahiliyyah. Islam memang unggul masalah moralnya, seperti memuliakan darah bangsa Arab. Islam juga menyeru pada persamaan hak, tidak ada perbedaan derajat antar manusia, Islam juga menolak ketinggian seeseorang karena nasabnya. Semua itu tergambar dalam pondasi bahwa tidak ada keutamaan bangsa Arab atas non-Arab kecuali taqwanya Pada juz kedua dari karyanya (Disarah Islamiyyah) inilah perlu untuk diwaspadai, karena karya ini sangat penting dan mengandung unsur penyelewengan yang sangat berbahaya. Pada bagian pertama pembahasannya tentang hadis, Ignaz memaparkan sejarah dan perkembangan hadis serta mengungkapnya urgensi hadis bukan dalam arti yang sebenarnya menurut Islam. Menurutnya, hadis merupakan sember utama untuk mengetahui perbincangan politik, keagamaan dan mistisme dalam Islam. Masalah ini terjadi disepanjang masa, hadis dipakai sebagai senjata  oleh masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupun faham fiqh berupaya untuk menggunakan hadis sebagai alat menguasai persoalan kehidupan ditengah umat Islam. Jadi, hadis tidak untuk mengetahui perilaku nabi, tetapi lebih pada kepentingan kelompok tiap aliran, baik politik maupun keagamaan. Pada bagian lain dari juz kedua ini, Ignaz menjelaskan tentang pengkultusan wali di kalangan umat Islam dan berbagai hal yang berkaitan dengannya. Misalnya korelasi pengkultusan yang terjadi dalam Islam dan pengkultusan pada masa jahiliyyah. Ia membagi pengkultusan wali menurut lokasi-lokasinya yang tersebar di dunia Islam.
3.     Madzahib al-Tafsir al-Islami. Karya ini pertama kali terbit di London pada tahun 1920 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebanyak dua kali. Karya ini membincangkan tentang tafsir dan metodologinya pada masa awal dan pertengahan Islam. Selain itu Ignaz mengetengahkan kritik bahkan celaan tentang ragam qira’ah al-Quran, rasm Ustmani, dan beberapa aliran penafsiran al-Quran.
4.    Al-Aqidah wa al-Syari’ah fi al-Islam. Karya ini dicetak pada tahun 1960. Dalam karya ini Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. 
5.    Buku-buku lain yang dihasilkan Ignaz ialah al-Mu’ammarin-nay Abi Hatim pada tahun 1899, Ignaz juga menulis pendahuluan bagi buku at-tauhid-nya Muhammad ibnu Tumart Mahdi al-Muwahidun, buku ini diterbitkan oleh Lucian pada tahun 1903 di Aljazair. Dalam pengantarnya, Ignaz membahs tentang Ijtihad  dan taklid. Adapun karangan Ignaz yang paling fenomenal adalah Muhadharat fi al-Islam  dan al-Qur’an ‘Inda al-Muslimin (Leiden, 1920).
6.    Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910) membahas penilaian umum yang diberikan Ignaz tentang Islam ditinjau dari berbagai aspek. Pada pasal pertama membicarakan “Muhammad dan Islam”, pada pasal kedua membahas “pekembanagn syari’at”, disini dibahas sejarah hadis secara umum dan spesifikasi fiqh pada masa awal terbentuknya madzhab. Pada pasal ketiga membahas tentang “perkembangan ilmu kalam”, pada pasal keempat tentang “Zuhud dan Tasawuf”, yang menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan perkembangannya, yaitu ketika peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wihdatul wujud pada abad ke tujuh hijriyyah. Dalam bagian akhir buku ini mambahas tentang aliran-aliran yang terdapat dalam Islam, seperti Khawarij, Syiah, dan aliran-aliran yang muncul pada masa kontemporer, seperti Wahabiyyah, Bahaiyyah, Babiyyah, dan Ahmadiyyah.[§]
Ittijahat Tafsir al-Qur’an ‘Inda al-Muslimin, Ignaz mengulas langkah-langkah dalam menafsirkan al-Qur’an, sejarah penulisan al-Qur’an, ragam bacaan, latar belakang timbulnya keragaman penafsiran, dan berbagai hal uang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an. Pembahasannya diakhiri dengan pembicaraan kitab tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Pada bagian akhir ditemukan metode-metode tafsir modern yang dipelopori oleh ulama modern yang menyatakan terbukanya kembali pintu Ijtihad.

C. Pandangan Ignaz Goldziher terhadap Hadits
Ignaz Goldziher dalam bukunya Muhammedanisnche Studien, dia mengatakan bahwa bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. Oleh karena itu, yang dapat dibenarkan berasal dari masa hidup Muhammad SAW hanyalah Al-Qur’an, sedangkan  yang lainnya, termasuk hadis adalah ‘buatan’ kaum muslimin dari abad II dan III hijriyyah.
Dasar dari anggapan tersebut adalah “bukti-bukti” yang menunjukkan bahwa masyarakat Islam sebelum abad II dan III H., adalah masyarakat yang belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memahami dogma-dogma keagamaan, memelihara ritus keagamaan dan mengembangkan doktrin yang kompleks. Buta huruf masih merata, dan kebudayaan yang terpusat di lingkungan istana raja-raja dan hanya berkembang di kota-kota besar, ternyata masih bersifat lepas dari hubungan dengan agama. Dengan kata lain, kebudayaan Arab waktu itu masih bersifat sekular. Keadaan ini berlangsung hingga akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah di Damaskus, bahkan hingga pemerintahan beberapa Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad.
Dasar lain dari adanya anggapan tersebut di atas adalah kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadis. Sejumlah kecil memang terpelihara teksnya dengan penurunan lisan (oral-transmission) dari guru ke murid secara berantai. Tetapi sebagian besar hadis yang terkumpul dalam corpus hadis ternyata tidak dapat dipastikan benar-benar berasal dari Muhammad SAW. Karena  sulitnya mencari mana di antara sekian ratus ribu hadis yang benar-benar berasal dari masa kehidupan beliau. Dengan sendirinya hadis secara keseluruhan harus dinyatakan tidak berasal dari masa tersebut. Dengan demikian, menurut goldziher, hadis sebagai ungkapan yang berasal dari Muhammad itu adalah hadis sebagai sunnah dalam pengertian bahasanya saja, yaitu sebagai jalan hidup yang harus dilalui seseorang atau masyarakat. Jika corpus hadis diartikan sebagai pembentukan secara evolusioner hukum, yang mengatur kehidupan kaum muslimin, tidak perduli yang berasal dari masa kehidupan Muhammad SAW maupun jauh setelah itu, maka hadis memang ada. Tetapi tidaklah dapat dipertanggung jawabkan secara keseluruhan berasal dari masa hidup Nabi.[**]

D.    Kritik Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap Hadits
1.    Goldziher menuduh bahwa hadis hanya sedikit sekali yang terpelihara, karena hadits diturunkan secara lisan dari generasi umat selama abad pertama Hijriyyah. Ini dikarenakan kelangkaan peninggalan tertulis yang nyata-nyata menunjukkan bahwa hadis dipelihara dengan sadar secara tertulis “diturunkan” dari generasi ke generasi, hingga sampai pada permulaan abad II Hijriyyah, ketika ibn Syihab al-Zuhri mulai menuliskan teks-teks hadis.penulisan hadits.
M. M. Azami membuktikan dalam karyanya, bahwa Hadits diturunkan tidak hanya dengan cara lisan belaka. Ia menunjang pembuktian ini dengan menerbitkan tiga buah corpus hadis yang dieditnya dalam disertasinya, yaitu naskah-naskah Suhail Ibn Abi Shalih, Ubaidillah ibn Umar, dan Ali Al-Yaman Al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari Abad pertama hijriyyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadits mudah dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan, menjadi tidak terbukti lagi.
Penelitian atas istilah-istilah yang digunakan dalam referensi hadis menunjukkan, bahwa berita yang menyatakan Ibn Shihab Al-Zuhri adalah orang pertama yang menuliskan hadis pada permulaan abad II Hijriyyah (awwalu man dawwana al-Ilma) mengandung arti lain daripada yang diduga dan diterima secara umum selama ini. Azami membuktikan, bahwa al-Zuhri adalah pengumpul (compiler) belaka dari semua koleksi naskah-naskah hadis yang telah dibukukan selama setengah abad sebelumnya.[††]

2.    Goldziher senantiasa menggunakan suatu kejadian individual yang bersifat khusus dan terbatas untuk menjadi bukti bagi hal-hal umum yang disinyalirnya.
Goldziher menuturkan bahwa “bimbingan resmi” dan “kegiatan penguasa” untuk memalsu Hadits sudah ada sejak dini dalam sejarah islam. Dampaknya tampak dalam pesan Muawiyah kepada al-Mughirah agar ia mengucilkan Ali dan pengikutnya, serta jangan mengambil hadis-hadis mereka. Di pihak lain, Utsman dan pengikutnya supaya disanjung-sanjung dan diambil hadis-hadisnya. Pesan ini merupakan “siaran resmi” yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokan Ali demi membela kepentingan Utsman.
Goldziher menyimpulkan hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam kitab tarikh karangan Ath-Thabari, dimana Mu’awiyah berpesan kepada Al-Mughirah sebagai berikut, “jangan segan-segan mencaci dan mengecam Ali dan jangan bosan-bosan menyayangi dan memohonkan ampun untuk Utsman. Keaiban berada pada pengikut-pengikut ‘Ali, karenanya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya”.[‡‡]
  Wasiat ini oleh Goldziher dijadikan bukti bagi kebiasaan pembesar-pembesar Dinasti Umayyah untuk memasukan bias politik ke dalam pemberitaan mereka, dan karenanya pemberitaan dari mereka tidak dapat diterima kebenarannya. Goldziher tidak membatasi pemberitaan hal-hal yang bersifat politis belaka, melainkan juga mengenai periwayatan hadis dari mereka.
Maka Dr. Al-A‘zhamy menjawab, "Orang yang membaca teks-teks tersebut berikut kesimpulannya akan merasa heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran, jika dalam suatu negara, pemerintah selalu mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang. Inilah yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."[§§]

3.    Pemikiran goldziher lainnya adalah seringkali ia tidak melakukan penelitian (checking) ulang yang mendalam atas bahan-bahan kesejarahan yang mereka pakai dalam pembuktian, sehingga terjadi bahwa bahan-bahan tersebut sebenarnya justru melemahkan argumentasi mereka sendiri.[***]
Seperti kesalahan Goldziher yang menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah:
a.    Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry:
...لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث (رواه مسلم)
"Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!"
b.    Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان)
…Tuliskanlah untuk Abu Syah!...
Menurut Goldziher, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah termasuk ahl al-ra'y.[†††] Contoh lainnya adalah kritik Goldziher terhadap Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan (73-86 H/694-707 M) penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (64-73 H/685-694 M) (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.
Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?[‡‡‡]









BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Goldziher adalah orientalis yang mempunyai pemikiran di antaranya menolak kebenaran Hadits. Baginya hadits itu tidak ada yang otentik. Sebabnya, tidak ada bukti empiris yang menunjukan bahwa hadits yang beredar memang pada awalnya berasal dari Muhammad. Dalam pandangan Goldziher, yang telah terjadi adalah "back Projection." Maksudnya, para perawi hadits meriwayatkan haditsnya dengan mengatas namakan Muhammad, padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu.
Selain itu juga, Goldziher juga menegaskan, hadits itu palsu karena diriwayatkan untuk kepentingan politis dan ideologis dari kaum Muslimin yang sudah terpecah-pecah. Ia juga menyatakan, keliru kalau hukum Islam bersumber dari al-Qur'an dan hadits. Kekeliruan tersebut terletak karena mengandaikan sebelumnya pada zaman Muhammad kedua-duanya sudah tersedia. Bagi Goldziher, hadits baru mulai dihimpun pada abad ke-3 Hijriah, 200-300 tahun setelah kematian Muhammad, baru hadits itu ada dalam bentuk tulisan.
Akan tetapi ternyata tuduhan Goldziher bahwa tidak ada penulisan hadits pada abad pertama dapat dibantah oleh M. M. Azhami dengan penemuannya terhadap 3 naskah yang berisi hadits-hadits yang ditulis pada abad pertama, yakni naskah Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, naskah ‘Ubaidullah bin Umar dari Nafi, dan Naskah Ali Al-Yaman Al-Hakam, yang kesemuanya berasal dari Abad pertama hijriyyah. Dengan demikian, tuduhan bahwa hadits mudah dipalsukan dan tidak dapat diimbangi oleh makna yang otentik dan buatan, menjadi tidak terbukti lagi.











DAFTAR PUSTAKA

Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Rosdakarya. cet. 1. 2004.
M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Nashruddin Syarif, Ar-Risalah; Syarah Hadits Nabi tentang Iman, Ihsan dan Kiamat jilid 1. Bandung: Persis Pers, 2011.
Artikel Internet http://dunia-pustaka.blogspot.com/2012/01/prof-dr-muhammad-mustafa-al-azami-ulama.html.
http://kang-ihsanth.blogspot.com/2012/12/pandangan-ignaz-goldziher-terhadap.html
http://benumalik.blogspot.com/2012/11/ignaz-goldziher.html
Abdurrahman, M., “Ilmu Hadis Sebagai Sumber Pemikiran” dalam  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jld. 4, Jakarta: PT Ichtiar baru Van Houve, 2002.
GoldziherIgnaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm. London: 1971.
Wahyudin Darmalaksana, Hadits Dimata Orientalis, Bandung : Benang Merah Press.2004           








[*] Nashruddin Syarif, Ar-Risalah; Syarah Hadits Nabi tentang Iman, Ihsan dan Kiamat jilid 1. (Bandung: Persis Pers, 2011) hlm. xxii
[‡] M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. ix-x
[§] http://benumalik.blogspot.com/2012/11/ignaz-goldziher.html

[**] Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. (Bandung: PT Rosdakarya, 2004) hlm. 246-248

[††] Ibid. hlm. 253
[‡‡] Ibn Jarir Ath-Thabari, Tarikh al-Thabari, II:112

[§§] M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006) hlm. 102
[***] Badri Khaeruman. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. hlm. 246-248 
[†††]  Ibid. M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature. Terj. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. hlm. 121-122
[‡‡‡] Ibid. hlm. 608-613

Tidak ada komentar:

Posting Komentar