Minggu, 10 Maret 2013


BAB I
PENDAHULUAN
Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bentuk lafal Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril, diriwayatkan secara mutawatir, diawali oleh surat al-Fatihah di akhiri oleh surat an-Nas, di tulis dalam mushaf hanya masalah teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Alquran.[1]  
Keberadaan Alquran ditengah-tengah umat Islam, karena berfungsi sebagai petunjuk dan pembeda, sehingga menjadi tolak ukur antara kebenaran dan kebatilan serta keinginan untuk memahami petunjuk yang terdapat didalamnya yang telah melahirkan beberapa metode untuk memahami Alquran. Kemudian munculah karya-karya tafsir yang beranekaragam yang kesemuanya berkeinginan untuk memahami apa yang terdapat didalam Alquran agar dapat membimbing dan menjawab permasalahan-permasalahan umat Islam dimuka bumi ini.
Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri karena telah menjadi fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka dalam menafsirkan Alquran. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran tapi juga pada sisi-sisi lain dari ilmu-ilmu keislaman yaitu: Ilmu Fiqh, Aqidah dan Politik.
Terlepas dari perkembangan tafsir yang pesat  maka tidak etis jika melewatkannya tanpa adanya kajian-kajian terhadap kitab-kitab tafsir tersebut. Kajian terhadap kitab tafsir sangatlah perlu untuk meneliti, menggukur, menimpang bahkan untuk mengkritik kitab tersebut, karena kitab tafsir merupakan produk pemikiran manusia dan tidaklah sakral. Salah satu kitab tafir yang pantas diperhitungkan adalah kitab Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran ‘Adzim wa al-sab’i al-Matsani karya Al-alusi.



BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR RUHUL MA’ANI KARYA AL-ALUSI

A.    Histori-Biografi Al-Alusi
Al-Alusi adalah nama sebuah keluarga yang telah menampilkan banyak anggota keluarganya menjadi intelektual-intelektual (ulama) terkemuka di Baghdad pada abad ke-19 dan ke-20. Nama itu berasal dari Alus, satu daerah ditepi Barat sungai Eufrat antara Abu Kamal dan Ramadi. Nenek moyang keluarga itu (yang pada ujungnya bersambung dengan al-Hasan dan al-Husein) putra Ali bin Abi Thalib, melarikan diri kesana dari serangan Holago, dan anak cucunya juga kemudian lari dan kembali ke Baghdad pada abad ke-11 H/17 M.
Nama lengkapnya adalah Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217 H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak. Melalui kitab tafsirnya  Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran ‘Adzim wa al-sab’i al-Matsani. Ia adalah seorang yang genius, mula-mula belajar pada ayahnya sendiri yaitu Syeikh Ali al-Suwaidi yang juga ulama besar, kemudian pada Syeikh Khalid al-Naqsyabandi. Ia pernah diberi tugas untuk memimpin lembaga pendidikan al-Marjaniyyah, jabatan pimpinan yang hanya diberikan kepada orang yang terpandai di dalam negeri. Beberapa bulan kemudian pada tahun 1248 H, ia diserahi jabatan Mufti dalam Madzhab Hanafi yang dilepasnya pada tahun 1267 H.
Ruh al-Ma’ani dapat dikatakan merupakan rangkuman-rangkuman kitab-kitab tafsir sebelumnya. Ia mengutip dari tafsir Ibn ‘Athiyyah, Abi Hayyan, al-Khasyaf, Abi Su’ud, al-Baidhawi, al-Fakhr al-Razi, kecuali dalam bidang fiqh ia berpihak pada madzhab Abu Hanifah. Dalam bidang aqidah (kalam), ia adalah seorang Sunni dan menentang paham Mu’tazilah dan Syi’ah.[2]
Hasil karya tulisan beliau antara lain: Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan lain-lain. Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Maani disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi.

B.     Latar Belakang Penyusunan Kitab
Latar belakang penyusunan kitab Ruhul Ma’ani ini berasal dari mimpi al-Alusi pada suatu malam, yaitu pada malam jum’at di bulan rajab tahun 1252 H. Di dalam mimpi tersebut ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi lalu disuruh untuk memperbaiki bekas-bekas dari kerusakan yang ada padanya, kemudian ia mengangkat salah satu tangannya ke langit dan meletakkan tangan yang satunya lagi ke tempat air, lalu ia terbangun dari tidurnya. Kemudian ia menemukan ta’wil dari mimpinya tersebut pada beberapa kitab bahwa hal tersebut adalah suatu isyarat yang menyuruh ia untuk menyusun kitab tafsir. Pada bulan sya’ban tepatnya pada malam jum’at tanggal 16 sya’ban tahun 1252 H al-Alusi mulai menyusun sebuah kitab tafsir yakni kitab tafsir al-Alusi ini dan pada saat itu umurnya 34 tahun (pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan Ibn Sultan Abdul Majid Khan), dan ia selesai menyusun kitab tersebut pada malam selasa di bulan rabi’ul akhir tahun 1267 H (disusun dalam kurun waktu 15 tahun). Setelah ia meninggal kitab tersebut disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al-Alusi.[3]
Adapun yang memberikan nama kitab tafsir ini adalah perdana menteri saat itu (wazirul wuzaroi) yang bernama Ridho pasya setelah lama al-Alusi mempertimbangkan judulnya, dan ketika Ridho Pasya memberi nama tersebut, al-Alusi pun setuju, yakni dengan nama Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani (semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul matsani/ al-Fatihah).[4]
Kitab tafsir ini sempat mengundang takjub dan senang Sultan Abdul Majid Khan ketika ia mengunjungi kota qistintiniyyah (sekarang kostantinopel atau istanbul, ibukota turki) pada tahun 1267 H. Al-Alusi menetap di kota ini selama dua tahun (1267 H-1269 H). Menurut suatu kisah, diceritakan bahwa dalam masa penyusunan kitab ruhul ma’ani ini terdapat suatu kisah/cerita yang ajaib, yakni bahwa al-Alusi seharian penuh menggunakan waktunya untuk mengajar, sedangkan pada malam hari juga dipergunakan untuk mengajar, jadi kemungkinan al-Alusi hanya menyusun kitab tersebut pada malam hari saja.[5]

C.     Metodologi Penafsiran
Berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber sumber penafsiran.
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tahlili.[6] Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Mashadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi berusaha memadukan sumber al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran Alquran dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alusi digolongkankan kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ra’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah kitabnya (pada faedah yang kedua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya tersebut.[7]

D.    Kecenderungan Aliran (Naz’ah/Ittijah)
Naz’ah/Ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan, pemikiran yang jelas yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada satu tujuan. Dalam penjelasannya al-Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafadz. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
Menurut aliran ini ayat memiliki dua makna, makna dzahir dan makna bathin yang berupa isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh nabi SAW atau para wali atau Arbab al Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk mendekati Allah SWT). Tafsir semacam ini apabila didasari istinbath yang bagus, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan memiliki dalil penguat yang menunjukkan kebenarannya tanpa ada yang menentang maka dapat diterima. Apabila tidak demikian maka danggap pembodohan.
Menurut Ibn al Qayyim, Tafsir Isyari/Sufi dapat diterima dengan empat syarat, yaitu:
  1. Tidak berlawanan dengan makna ayat
  2. Makna yang diajukan itu sendiri benar
  3. Di dalam lafadz terdapat isyarat makna tersebut
  4. Makna isyari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling menetapkan)
Contoh Tafsir Isyari adalah penafsiran Ibn Abbas pada ayat “aza jaa nasr Allah sa al fath”. Menurut beliau apabila kaum muslimini sudah bisa menaklukkan Mekkah berarti pertanda ajal Rasulullah SAW sudah dekat. Al  Alusi mengemukakan riwayat Izz bi Abd al Salam bahwa Khalifah Ali memutuskan untuk memerangi Mu’awiyah berdasar makna isyari dari ayat (حمعسق), tapi sayang tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal ini.
E.     Keistimewaan dan Kelemahannya
1.      Keistimewaan
a.       Penjelasan yang diberikan sangat luas dengan memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah (hubungan antar surat/ayat), asbab al nuzul (sebab turunnya Alquran), i’rab (ketatabahasaan).
b.      Banyak merujuk pendapat para ahli tafsir terdahulu dan syair-syair Arab.
c.       Banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh ayat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa, sehingga memperkaya khazanah keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan terhadap al Qur’an.
2.      Kelemahan
a.       Keluasan pembahasan terkadang juga menjemukan, terutama bagi pembaca pemula
b.      Munasabah dan asbab al nuzul jarang dijelaskan
c.       Sangat jarang mengemukakan dalil nash baik Alquran maupun Hadits

F.      Komentar Para Ulama Tentang Tafsir Ruh al-Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).[8]
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan Alquran berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan Alquran berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang shahih. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Shabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah dan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syubah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M Quraish Shihab, Rasyid Ridha juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak luput dari kritikan. Seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.[9]

                                                       




BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi menggunakan metode tahlili, pendekatan sufistik (menurut adz-Dzahabi ini hanya sedikit) , bahasa serta ilmu-ilmu lainnya. Dengan ijtihadnya dalam penafsirannya berimplikasi pada corak tafsirnya disebut sebagai tafsir bil-ra’yi. Sumber sumber yang dipakai, di samping dirayah juga riwayah. Sistematika isi penafsirannya adalah menyebutkan ayat-ayat Alquran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat, dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadits atau qaul tabi’in, menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu), menafsirkan dengan ayat-ayat lain, memberikan keterangan dari hadits Nabawi bila ada, mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu. Kandungan isi penafsirannya ada yang membahas tentang ayat-ayat kauniyah, cerita israiliyat, tentang qiraah, dan pertentangannya dengan aliran yang bukan suni, dan lain sebagainya.



[1] Ahmad Izzan. Ulumul quran. (Bandung: Tafakur/ Kelompok HUMANIORA 2009), Cet 3,
 hlm    30.
[2] DEPAG. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: CV ANDA UTAMA 1993) Jilid 1, hlm 108.
[3] Adz-Dzahabi .at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadis, 2005), hlm 303.
[4] Al-Alusi. Ruhul Ma’ani  (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971),  hlm 4.
[6]Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 156
[7] Al-Alusi, Ruhul Ma’ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah, 1971), hlm 6
[8] Adz-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Darul Hadis, 2005.
[9] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004), hlm 159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar