BAB I
PENDAHULUAN
Alquran
ialah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bentuk lafal
Arab dengan perantaraan Malaikat Jibril, diriwayatkan secara mutawatir, diawali
oleh surat al-Fatihah di akhiri oleh surat an-Nas, di tulis dalam mushaf hanya
masalah teknis bagi penyampaian dan pemeliharaan Alquran.[1]
Keberadaan
Alquran ditengah-tengah umat Islam, karena berfungsi sebagai petunjuk dan
pembeda, sehingga menjadi tolak ukur antara kebenaran dan kebatilan serta
keinginan untuk memahami petunjuk yang terdapat didalamnya yang telah
melahirkan beberapa metode untuk memahami Alquran. Kemudian munculah
karya-karya tafsir yang beranekaragam yang kesemuanya berkeinginan untuk
memahami apa yang terdapat didalam Alquran agar dapat membimbing dan menjawab
permasalahan-permasalahan umat Islam dimuka bumi ini.
Luasnya
keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri karena telah menjadi
fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang
berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka
dalam menafsirkan Alquran. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan yang
terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran tapi juga pada sisi-sisi
lain dari ilmu-ilmu keislaman yaitu: Ilmu Fiqh, Aqidah dan Politik.
Terlepas
dari perkembangan tafsir yang pesat maka
tidak etis jika melewatkannya tanpa adanya kajian-kajian terhadap kitab-kitab
tafsir tersebut. Kajian terhadap kitab tafsir sangatlah perlu untuk meneliti,
menggukur, menimpang bahkan untuk mengkritik kitab tersebut, karena kitab
tafsir merupakan produk pemikiran manusia dan tidaklah sakral. Salah satu kitab
tafir yang pantas diperhitungkan adalah kitab Ruh al-Ma’ani fi tafsir
al-Quran ‘Adzim wa al-sab’i al-Matsani karya Al-alusi.
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR RUHUL
MA’ANI KARYA AL-ALUSI
A. Histori-Biografi
Al-Alusi
Al-Alusi
adalah nama sebuah keluarga yang telah menampilkan banyak anggota keluarganya
menjadi intelektual-intelektual (ulama) terkemuka di Baghdad pada abad ke-19
dan ke-20. Nama itu berasal dari Alus, satu daerah ditepi Barat sungai Eufrat
antara Abu Kamal dan Ramadi. Nenek moyang keluarga itu (yang pada ujungnya
bersambung dengan al-Hasan dan al-Husein) putra Ali bin Abi Thalib, melarikan
diri kesana dari serangan Holago, dan anak cucunya juga kemudian lari dan
kembali ke Baghdad pada abad ke-11 H/17 M.
Nama
lengkapnya adalah Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi
al-Bagdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya’ban tahun 1217
H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak. Melalui kitab tafsirnya Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran ‘Adzim wa
al-sab’i al-Matsani. Ia adalah seorang yang genius, mula-mula belajar pada
ayahnya sendiri yaitu Syeikh Ali al-Suwaidi yang juga ulama besar, kemudian
pada Syeikh Khalid al-Naqsyabandi. Ia pernah diberi tugas untuk memimpin
lembaga pendidikan al-Marjaniyyah, jabatan pimpinan yang hanya diberikan kepada
orang yang terpandai di dalam negeri. Beberapa bulan kemudian pada tahun 1248
H, ia diserahi jabatan Mufti dalam Madzhab Hanafi yang dilepasnya pada tahun
1267 H.
Ruh
al-Ma’ani dapat dikatakan merupakan rangkuman-rangkuman kitab-kitab tafsir
sebelumnya. Ia mengutip dari tafsir Ibn ‘Athiyyah, Abi Hayyan, al-Khasyaf, Abi
Su’ud, al-Baidhawi, al-Fakhr al-Razi, kecuali dalam bidang fiqh ia berpihak
pada madzhab Abu Hanifah. Dalam bidang aqidah (kalam), ia adalah seorang Sunni
dan menentang paham Mu’tazilah dan Syi’ah.[2]
Hasil
karya tulisan beliau antara lain: Hasyiyah ‘ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu
logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham
al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs Ruh al-Maani fi Tafsir
al-Quran al-Azmi wa al-Sab’i al-Masani dan lain-lain. Beliau wafat pada tanggal
25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma’ruf al-Karkhi, salah
seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. Setelah meninggal, kitab
Ruh al-Maani disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu’man al-Alusi.
B. Latar
Belakang Penyusunan Kitab
Latar
belakang penyusunan kitab Ruhul Ma’ani ini berasal dari mimpi al-Alusi pada
suatu malam, yaitu pada malam jum’at di bulan rajab tahun 1252 H. Di dalam
mimpi tersebut ia disuruh Allah SWT untuk melipat langit dan bumi lalu disuruh
untuk memperbaiki bekas-bekas dari kerusakan yang ada padanya, kemudian ia
mengangkat salah satu tangannya ke langit dan meletakkan tangan yang satunya
lagi ke tempat air, lalu ia terbangun dari tidurnya. Kemudian ia menemukan
ta’wil dari mimpinya tersebut pada beberapa kitab bahwa hal tersebut adalah
suatu isyarat yang menyuruh ia untuk menyusun kitab tafsir. Pada bulan sya’ban
tepatnya pada malam jum’at tanggal 16 sya’ban tahun 1252 H al-Alusi mulai
menyusun sebuah kitab tafsir yakni kitab tafsir al-Alusi ini dan pada saat itu
umurnya 34 tahun (pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan Ibn Sultan Abdul
Majid Khan), dan ia selesai menyusun kitab tersebut pada malam selasa di bulan
rabi’ul akhir tahun 1267 H (disusun dalam kurun waktu 15 tahun). Setelah ia
meninggal kitab tersebut disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al-Alusi.[3]
Adapun
yang memberikan nama kitab tafsir ini adalah perdana menteri saat itu (wazirul
wuzaroi) yang bernama Ridho pasya setelah lama al-Alusi mempertimbangkan
judulnya, dan ketika Ridho Pasya memberi nama tersebut, al-Alusi pun setuju,
yakni dengan nama Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani
(semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul matsani/
al-Fatihah).[4]
Kitab
tafsir ini sempat mengundang takjub dan senang Sultan Abdul Majid Khan ketika
ia mengunjungi kota qistintiniyyah (sekarang kostantinopel atau istanbul,
ibukota turki) pada tahun 1267 H. Al-Alusi menetap di kota ini selama dua tahun
(1267 H-1269 H). Menurut suatu kisah, diceritakan bahwa dalam masa penyusunan kitab
ruhul ma’ani ini terdapat suatu kisah/cerita yang ajaib, yakni bahwa
al-Alusi seharian penuh menggunakan waktunya untuk mengajar, sedangkan pada
malam hari juga dipergunakan untuk mengajar, jadi kemungkinan al-Alusi hanya
menyusun kitab tersebut pada malam hari saja.[5]
C. Metodologi
Penafsiran
Berbicara
metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam
melakukan penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah
metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber sumber penafsiran.
Metode
yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tahlili.[6]
Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang
mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat
yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa,
asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain.
Mashadir
(sumber-sumber) penafsiran yang dipakai al-Alusi berusaha memadukan sumber
al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi
atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran Alquran dan ijtihad dirinya
dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat
dipertanggungjawabkan akurasinya. Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alusi digolongkankan
kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya
atau ra’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah kitabnya (pada
faedah yang kedua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan
argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya
tersebut.[7]
D.
Kecenderungan Aliran (Naz’ah/Ittijah)
Naz’ah/Ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan,
pemikiran yang jelas yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada
satu tujuan. Dalam penjelasannya al-Alusi memiliki
kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafadz. Kecenderungan
penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
Menurut
aliran ini ayat memiliki dua makna, makna dzahir dan makna bathin yang berupa
isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh nabi SAW atau para
wali atau Arbab al Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk
mendekati Allah SWT). Tafsir semacam ini apabila didasari istinbath yang bagus,
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan memiliki dalil penguat yang menunjukkan
kebenarannya tanpa ada yang menentang maka dapat diterima. Apabila tidak demikian
maka danggap pembodohan.
Menurut Ibn
al Qayyim, Tafsir Isyari/Sufi dapat diterima dengan empat syarat, yaitu:
- Tidak berlawanan dengan makna ayat
- Makna yang diajukan itu sendiri benar
- Di dalam lafadz terdapat isyarat makna tersebut
- Makna isyari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling
menetapkan)
Contoh Tafsir Isyari adalah penafsiran Ibn
Abbas pada ayat “aza jaa nasr Allah sa al fath”. Menurut beliau apabila
kaum muslimini sudah bisa menaklukkan Mekkah berarti pertanda ajal Rasulullah
SAW sudah dekat. Al Alusi mengemukakan riwayat Izz bi Abd al Salam
bahwa Khalifah Ali memutuskan untuk memerangi Mu’awiyah berdasar makna isyari
dari ayat (حمعسق), tapi sayang tidak ada penjelasan lebih detail tentang
hal ini.
E.
Keistimewaan dan Kelemahannya
1.
Keistimewaan
a.
Penjelasan yang diberikan sangat luas dengan
memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah (hubungan antar
surat/ayat), asbab al nuzul (sebab turunnya Alquran), i’rab (ketatabahasaan).
b.
Banyak merujuk pendapat para ahli tafsir terdahulu dan
syair-syair Arab.
c.
Banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh
ayat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa, sehingga memperkaya khazanah
keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan terhadap al Qur’an.
2.
Kelemahan
a.
Keluasan pembahasan terkadang juga menjemukan,
terutama bagi pembaca pemula
b.
Munasabah dan asbab al nuzul jarang dijelaskan
c.
Sangat jarang mengemukakan dalil nash baik
Alquran maupun Hadits
F. Komentar Para Ulama Tentang Tafsir Ruh al-Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma'ani
dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang
mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat atau ilham dan ta'wil
sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh
al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan
tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam
tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).[8]
Ada ulama sependapat
dengan al-Dzahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk
menafsirkan Alquran
berdasarkan isyarat-isyarat,
melainkan menafsirkan Alquran berdasarkan apa yang
dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang shahih. Meskipun
tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari,
tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan
corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari
sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Shabuni sendiri juga menyatakan
bahwa al-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah
dan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat
dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian
tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu
Syu’bah, tafsir Ruh al-Ma’ani
merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para
mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap
pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M Quraish
Shihab, Rasyid Ridha juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik
di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut
pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak luput
dari kritikan. Seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya,
bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.[9]
BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi menggunakan
metode tahlili, pendekatan sufistik (menurut adz-Dzahabi ini hanya sedikit) ,
bahasa serta ilmu-ilmu lainnya. Dengan
ijtihadnya dalam penafsirannya berimplikasi pada corak tafsirnya disebut
sebagai tafsir bil-ra’yi. Sumber sumber yang dipakai, di samping dirayah juga
riwayah. Sistematika isi penafsirannya adalah menyebutkan ayat-ayat Alquran dan
langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat, dalam analisisnya,
terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu,
namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip
riwayat hadits atau qaul tabi’in, menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat
yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu),
menafsirkan dengan ayat-ayat lain, memberikan keterangan dari hadits Nabawi
bila ada, mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu. Kandungan isi
penafsirannya ada yang membahas tentang ayat-ayat kauniyah, cerita israiliyat,
tentang qiraah, dan pertentangannya dengan aliran yang bukan suni, dan lain
sebagainya.
[1] Ahmad Izzan. Ulumul quran. (Bandung: Tafakur/
Kelompok HUMANIORA 2009), Cet 3,
hlm 30.
[2] DEPAG. Ensiklopedi Islam. (Jakarta: CV ANDA UTAMA 1993)
Jilid 1, hlm 108.
[3] Adz-Dzahabi .at-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Darul Hadis,
2005), hlm 303.
[4] Al-Alusi. Ruhul Ma’ani (Beirut-Libanon: Idarah Tiba’ah Munirah,
1971), hlm 4.
[6]Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004),
hlm 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar