BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
al-Qur’an adalah kitab
suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan
interpretasi dan reinterpretasi secara kontinyu mengikuti perkembangan zaman.
Jelasnya, selalu dibutuhkan adanya reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai
dengan dinamika al-Qur’an sendiri.
Tafsir, sebagai usaha
memahami dan menerangkan maksud dan kandungan al-Qur’an, telah mengalami
perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya
keanekaragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan.
Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, perbedaan kecenderungan, interest,
dan motivasi mufassir. Perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan
ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari,
perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan berbagai corak penarsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran
tafsir yang bermacam-macam, lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.
Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal 2 cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal 2 cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
Di masa sahabat, sumber
untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat
dari Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan
tetapi perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka
tidak berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya.
Dengan kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan
ra'y sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga
tetap dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap
sahabat. Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat
sampai pada akhir abad pertama hijriyah.
Pada abad-abad selanjutnya,
usaha penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan
perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya
wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai
problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Di samping itu, umat
Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut
mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an. Karena problema-problema yang
ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan
hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi
rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional
terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan
perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula perkembangan corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu cenderung menafsrikan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf, keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula perkembangan corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu cenderung menafsrikan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf, keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.
Salah satu pemikir
muslim yang ikut menyumbang khazanah tafsir al-Qur’an adalah Fakhruddin al-Razi,
seorang ilmuwan yang menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Salah
satu karya fenomenalnya adalah Mafatih al-Ghayb sebuah kitab tafsir dengan gaya
pembahasan yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya, yang dikenal
sebagai kitab tafsir yang mempunyai cirri-ciri penafsiran bi al-ra’y. Untuk
mengenal lebih jauh biografi Fakruddin al-Razi dan karakter, kelebihan dan
kekurangan kitab Mafatih al-Ghayb, kami susun tulisan ini dengan sistematika
sebagai berikut.
B.
Perumusan Masalah
Berpijak dari pada latar belakang di atas maka kami merumuskan
daripada masalah tersebut sebagai sebagai berikut:
a)
Bagaimanakah
biografi penulis tafsir ?
b)
Apa
saja Karya-karyanya ?
c)
Bagaimanakah
identitas tafsir ?
d)
Bagaimanakah
Metode penafsirannya ?
e)
Darimana saja sumber
rujukan ?
f)
Apa
saja keistimewaan dari tafsir tersebut ?
g)
Bagaimana Kritik terhadap Tafsi
tersebut ?
h)
Bagaimanakah
contohnya ?
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari pada pembuatan makalah ini adalah :
a.
Untuk
mengetakui riwayat hidup penulis tafsir !
b.
Untuk
Apa saja Karya-karyanya !
c.
Untuk
mengetahui bagaimana identitas tafsir tersebut !
d.
Untuk
memahami metode apasaja yang di terapkan !
e.
Untuk
darimana saja sumber rujukan !
f.
Untuk
mengetahui keistimewaan dari tafsir
tersebut !
g.
Untuk mengetahui hal apa saja yang dikritik
terhadap Tafsi tersebut !
h.
Untuk
lebih memahami bagaimanakah ciri-cirinya !
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Fakruddin al-Razi
Fakruddin al-Razi adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H. Dari kalangan ahlu sunnah. Ia dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir.
Fakruddin al-Razi adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H. Dari kalangan ahlu sunnah. Ia dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir.
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali, al-Tamimy,
al-Bakry, al-Tabristany, al-Razy, Abu ‘Abdillah. Gelarnya adalah Fakhr al-Din,
ia juga dikenal dengan nama Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Ia lahir pada bulan Ramadan
tahun 544 H. di kota al-Ray (Kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan
sebelah timur laut Teheran) dan wafat pada hari ‘In, dalam bukunya Wafayat
al-A‘ayan, pada mulanya Fakhruddin al-Razi hidup dalam kemiskinan, tapi keadaan
itu berubah ketika ia menikahkan kedua putranya dengan dua putri dari seorang
dokter yang kaya raya. Sepeninggal dokter tersebut, kekayaan itu berpindah ke
tangan Fakhruddin al-Razi.
1. Perjalanan Keilmuan Imam Fakhruddin al-Razi
Sekian banyak para ulama yang
terkenal dan kita kenal, mayoritas mereka itu selalu keluar dari negerinya demi
untuk menuntut ilmu agama yang selalu diiringi dengan pengorbanan yang tinggi
baik dalam segi harta apalagi jiwa dan raganya, namun semua yang dikorbankan
itu terasa manis karena semua perjalanan mereka itu ikhlas dan selalu dibawah
lindungan Allah SWT, seperti Imam al-Razi yang sedang kita bahas ini, beliau
juga mengalami perjalanan yang panjang dalam menuntut ilmu. Dari negerinya
Al-ray berangkat ke negeri Khurasan, yang mana di Khurasan itu banyak ulama
besar yang berasal dari negeri itu. Muhammad ibn Muhammad Abu Shahbah, dalam
bukunya Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith menuturkan,
bahwa dari Khurasan atau lebih dikenal lagi dengan Bukhara, Imam al-Razi
melanjutkan perjalanannya ke Iraq, terus ke Syam.
Namun lebih banyak waktunya digunakan di Khawarzim untuk belajar
memperbanyak ilmunya, kemudian beliau berangkat ke negeri kota Hirah di daerah
Afganistan sampai wafat di sana.
2. Keilmuan Imam Fakhruddin al-Razi
Fakhruddin al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang tersohor dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Ia adalah pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal. Karena ketenarannya itulah, ia sering menerima berbagai kunjungan dari para ulama’ yang datang dari berbagai penjuru.
Ia mempelajari ilmu-ilmu diniah dan ‘aqliah sehingga sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam. Mengenai ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab, sehingga ia juga dipandang sebagai seorang filosof pada masanya. Dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai filosof Islam.
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri Diya’ al-Din abu al-Qasim Umar al-Razi, atau yang dikenal dengan Khatib al-Ray, ayahnya merupakan salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy. Beliau adalah seorang tokoh, ulama’ dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat al-Ray, terutama dalam bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, hadit, teologi dan tasawuf. Selain itu Fakhruddin al-Razi belajar ilmu kalam dari al-Majd al-Jily salah satu murid Imam Ghazaly-, ia juga belajar dari al-Kamal al-Sam‘any dan beberapa guru lainnya. Selain sebagai seorang intelektual yang sangat produktif, Fakhr al-Din al-Razi merupakan seorang da’i yang sangat handal dan kondang. Ia tidak hanya mahir berdakwah dengan berbahasa Arab, tapi juga lihai berdakwah dengan bahasa asing (persia).[1]
Fakhruddin al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang tersohor dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Ia adalah pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal. Karena ketenarannya itulah, ia sering menerima berbagai kunjungan dari para ulama’ yang datang dari berbagai penjuru.
Ia mempelajari ilmu-ilmu diniah dan ‘aqliah sehingga sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam. Mengenai ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab, sehingga ia juga dipandang sebagai seorang filosof pada masanya. Dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai filosof Islam.
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri Diya’ al-Din abu al-Qasim Umar al-Razi, atau yang dikenal dengan Khatib al-Ray, ayahnya merupakan salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy. Beliau adalah seorang tokoh, ulama’ dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat al-Ray, terutama dalam bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, hadit, teologi dan tasawuf. Selain itu Fakhruddin al-Razi belajar ilmu kalam dari al-Majd al-Jily salah satu murid Imam Ghazaly-, ia juga belajar dari al-Kamal al-Sam‘any dan beberapa guru lainnya. Selain sebagai seorang intelektual yang sangat produktif, Fakhr al-Din al-Razi merupakan seorang da’i yang sangat handal dan kondang. Ia tidak hanya mahir berdakwah dengan berbahasa Arab, tapi juga lihai berdakwah dengan bahasa asing (persia).[1]
B. Karya-karya Imam Fakhr al-Din al-Razi
Karya
beliau cukup beragam dari yang berbahasa Arab dan bahasa Persia dan menjadi
reverensi bagi kajian-kajian keislaman, yang berbahasa Arab diantara tulisan
beliau yang penulis miliki dokumennya sebagai berikut:
1. Mafatih al-Gaib al-Tafsir al-Kabir, Baulaq: Al-Matba’ah al-Amiriyah. 1289. H. al-Khairiyah.1307, Maktabah
al-Misriyah. 1353-1357. H, dan Bairut: Makatabah Dar al-Fikr. 1977.
2. I’tiqadat Firoq al-Muslimin wa al-Musyrikin. Diterbitkan
oleh Makatabah al-Nahdah al-Misriyah Kairo. 1938 M/1356.
3. Khalq al-Qura’an baina al-Mu’tazilah wa
Ahl al-Sunnah,Tahqiq Ahamad Hijazi al-Saqqa, Bairut: Dar al-Jil.
1992, cetakan 1.
4. 'Ismat al-Anbiya '.
Kairo: Maktabat al- Madani, 1987.
5. Al-Arba’in
fi Usul al-Din. Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah, 1987.
6. Al-Mahsul fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, Ed.
Taha Jabir al-Alwani.Vol, 3. Riadh: Lajnat al-Buhus wa al-Ta’lif wa al-Tarjamah
wa al-Nasyr, 1979.
7. Al-Masa’il
al-Khamsun fi Usul al-Din . Kairo: al-Maktab al-Saqafi, 1989.
8. Al-Matalib ‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi. Ed.
Ahmad Hijazi al-Saqqa. Vol. 8. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987.
9. Asas al-Taqdis. Ed. Ahmad Hijazi
al-Saqqa. Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah. 1986.
10. Asrar
al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil. Ed. Ahmad Hijazi
al-Saqqa. Beirut: Da al-Jil. 1992.
11. Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa
Syarh Qiwamiha. Trans.M. Saghir Hasan al-Maksumi.
Imam al-Razi’s ‘Ilm al-Akhlaq. Islamabad
Research Institut, 1969.
12. Munazarat Fakhr al-Din al-Razi fi
Bilad ma Wara’ al-Nahr. Ed. Fathalla Kholaef. Beirut: Dar
al-Masyriq, 1966.
13. Munazarat fi al-Radd ‘ala al-Nasara, Ed.
‘Abd al-Majid al-Najjar. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1986.
14. Nihayat al-I’jaz, Ed. Ibrahim
al-Samarra’i and Muhammad Barokat Abu ‘Ali. Oman: Dar al-Fikr, 1985.
15. Al-Hawi fi
al-Tibb. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. T.t
16. Manafi’
al-‘Ulum al-Agziah wa Df’u Madariha. Bairut: Dar ihya’ al-Ulum. t.t.
17. Kitab al-Qulang.(Leluere De La
Colique) Edition Critique et Trauction de Soubhi M Hammami. Aleppo
University. Institute for the History of Arabic Siense: Matba’ah Jami’ah Halb.
1403 H/1983 M.
18. Al-Nubuwwat wa Ma Yata’allaqu biha, Tahqiq
DR. Ahmad Hijazi al-Saqa.Kairo: Dar al-Kulliyat al-Azhariyah dan Bairut: Dar
ibn Zaidun. 1986.
19. Al-Mahsul
fi ‘Lmi Usul al-Fiqh. Bairu: Maktabah al-Risalah. 1997.
20. Kitab al-Nafsi wa al-Ruh wa Syarhu Quwaha. Tahqiq
DR.Muhammad Sagir Hasan al-Ma’sumi, Islamabad Fakistan: Ma’had al-Ibhas al-Islamiyah.
1968.
21. Al-Jadal wa al-Kasyif ‘an Usul
al-Dala’il wa Fusul al-‘Ilal. Istambul:Ma’had al-Makhtutat. T.t.
22. Al-Khamsin
fi Usul al-Ddin, Kairo: Kardistan. 1328.H.
23. Zamm al-Dunya, Bagdad:
Maktabah al-Qa.diriyah. t.t.
24. Al-Sirr al-Maktum fi Mukhatabat al-Syams
waal-Qamar wa al-Nujum, Istambul: Ma’had al-Makhtutat. t.t.
25. Syarh al-Isyarat wa al-Tanbihat li Ibn
Sina ma’a Syarh Nasir al-Din al-Tusi, Kairo: Matba’ah al-Khairiyah.
1320. H.
26. Syarh ‘Uyun
al-Hikmah li ibn Sina, Askureal: Da.r al-Kutub. T.t.
27.‘Araisu al-Mahsal
fi Nafa’isi al-Mafsal, Madinah: Maktabah Arif Hikmat. t.t.
28. Lubab
al-Isyarat, Kairo: Matba’ah al-Sa’adah. 1326.
29. Lawami’al-Bayanat, Syarh asma’ al-Husna wa
al-Sifat, Kairo: Maktabah al-Kulliyatal-Azhariyah. Dan Matba’ah
al-Syarafiyah. 1323.
30. Mahsal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin
min al-Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, Kairo: Matba’ah al-Husainiyah.
1323.
31. Al-Matalib
al’Aliyah, Manuskrif yang dimiliki oleh Dar al-Kutub al-Misriyah. T.t.
32. Al-Mulakhkhas
fi al-Hikamat wa al-Mantiq, Ma’had al-Makhtutat, t.t.
33. Nihayat
al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz, Kairo: Matba’ah al-Adab wa al-Mu’ayyad.
1317.
Imam Fakhruddin Ar-Razi
juga menulis beberapa kitab dalam bahasa Persia seperti: Risalah
Al-Kamaliah, wa Tahjin Ta’jiz Al-Falasafah dan Kitab Al-Barahin
Al-Baha’iyyah.[2]
C. Identitas Tafsir Mafatih al-Gaib karya
Imam Fakhr al-Din al-Razi
Tafsir ini lebih
mengutamakan kajian ilmu logika, beliau meramu di dalamnya berbagai disiflin
ilmu seperti kedokteran, Mantiq, Filasafat dan Hikmah, tanpa mengenyampinglkan
makna inti al-Qur’an dan sfirit ayat-ayatnya, dengan
menggeret teks-teks al-Qur’an jika muncul masalah logika dan istilah-istilah
ilmiah sehingga kitab Mafatih al-Gaib kehilangan
sfirit tafsirnya dan petunjuk Islam, Ulama menilai kitab ini dengan statman
yang populer “Semua ada di tafsir mafatih al-Gaib kecuali
tafsir.[3]
Tafsir ini terdiri dari
8 jilid dan relatif besar dan dicetak berkali-kali, sebelumnya
dicetak 32 juz dengan 16 jilid , Keterangan Ibn Qadi Syu’bah bahwa
Fakhr al-Din al-Razi belum menyelesaikan tafsirnya, keterangn tentang ini juga
disampaikan oleh Ibn Khalkan dalam bukunya Wafiyat al-A’yan ,
lalu siapakah yang menyempurnakan tafsir ini? sampai ayat mana Fakhr al-Din
menafsirkan? Masalah ini sangat pelik sehingga banyak ulama yang
memunculkannya. Seperti Ibn Hajar dalam kitabnya al-Durar al-Kaminah fi
A’yan al-Mi’ah al-Syaminah menyatakan bahwa yang menyelesaikan
tafsir Fakhr al-Din al-Razi adalah Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Abi Hazm Makki Najm
al-Din al-Makhzumi al-Qamuli (w. th.727 H) beliau berkebangsaan Mesir. Penulis
kitab Kasyf al-Zunun menyatakn bahwa tulisan Najm al-Din
sebagai pelengkap saja dan Qadi al-Qudat Syihab al-Din Ibn Khalil al-Khuwayyi
al-Dimasyqi[4]
sebagai pelengkap saja, sehingga bisa dilihat seperti keterangan dari Ibn
Hajar yang menyebut bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Najm
al-Din al-Qamuli dan begitu juga penulis kitab Kasyf al-Zunun meyakini
bahwa Syihab al-Din al-Khuwayyi ikut andil dalam penyempurnaan tafsir ini.
Pertanyaannya adalah sampai mana al-Razi menafsirkan? Al-Zahabi mendapatkan
keterangan dalam catatn kaki kitab Kasyf al-
Zunun yang redaksinya sebagai berikut:
الذى رأيته بخط السيد مرتضى نقلا عن شرح الشفا للشهاب , انه وصل الى
سورة الانبياء
Kami tahu dari
manuskrif Sayyid Murtada dinukil dari kitab Syarh al-Syifa oleh
Syihab al-Din al-Khuwayyi bahwa Fakhr al-Din menulis kitab tafsirnya hanya
sampai surat al-Anbiya.[5] kata
al-Zahabi ketika saya membaca tafsir surat al-Waqi’ah ayat 24 dalam tafsir ini
yaitu ayat جزاءا بما كانوا يعملون dengan paparannya bahwa Masalah pertama
dari asfek Usul, imam Fakhr al-Din al-Razi sering menyampaikan kata-kata
ini dalam menafsirkan ayat-ayat lain. Ini satu indikator bahwa al-Razi belum
sampai ayat ini dalam tafsirnya, begitu juga ketika al-Zahabi membaca surat
al-Ma'idah ayat 6 dalam tafsir ini yaitu ayat
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4
bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4
$tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah
[5] : 6)
Beliau memunculkan masalah niat dalam berwudu dengan bersandarkan dalil
ayat 5 surat al-Bayyinah :
ö@t/ (#þqä9$s% ß]»tóôÊr& ¥O»n=ômr& È@t/ çm1utIøù$# ö@t/ uqèd ÖÏã$x© $uZÏ?ù'uù=sù 7pt$t«Î/ !$yJ2 @Åöé& tbqä9¨rF{$# ÇÎÈ
“Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran
itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri
seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat,
sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS.
Al-Bayyinah [21] : 5)
Beliau menjelaskan
bahwa konsep ikhlas itu adalah Niat beliau pastikan seperti kalimatnya “kami
sudah membahasnya panjang lebar ketika membahas surat al-Bayyinah, silakan baca
untuk menambah keyakinan.”[6] Keterangn
di atas sebagai indikator bahwa beliau menafsirkan sampai surat al-bayyinah.di
antara komentar beliau yang menjadi wasiat sebelum wafat adalah sebagai
berikut”Saya telah melewati jalan ilmu Logika dan filsafat, saya tidak
mengetahui satu pun faedah yang menyamai yang kudapai dari al-Qur’an karena
sepenuhnya al-Qur’an sarat dengan upaya menjaga keagungan dan kemuliaan Allah
SWT, menutup jalan bagi yang ingin memperdalam dengan tujuan menyanggah, semua
hanya sekadar dan sebatas kemampuan saya, akal manusia lenyap dalam jalan yang
jauh dan pendekatan yang rahasia.[7] Bahkan diceritakan
bahwa al-Razi menyesal dengan telah disibukkan dengan ilmu kalam, ini terbukti
dengan ungkapan beliau Laitani lam asytaghil bi ‘ilm
al-kalam kemudian beliau menangis.[8]
D. Metode, sistematika dan karekteristik kitab
Tafsir Mafatih al-Gaib
A. Metode tafsir dan
Corak (Laun) tafsir
1. Perhatian al-Razi terhadap matematika dan filsafat,
sebagaimana bisa dikatakan bahwa al-Razi banyak menyimpang kajian ilmu
matematika dan ilmu alam dan lain-lain, sebagai ilmu yang baru dari ilmu agama
pada zaman itu, seperti aturan tata surya, al-Razi banyak menyanggah
pandapat para filosof.[9]
2. Ulama yang memandang tafsir ini bagian dari metode
tafsir bi al-Ra’yi menjabarkan seorang penafsir
al-Qur’an berpegang pada ijtihadnya bukan berpegang pada asar yang diambil dari
para sahabat, dalam tafsir ini juga pertimbangan bahasa Arab juga ilmu yang
dibutuhkan secara pasti harus diketahui oleh yang hendak menafsirkan al-Qur’an,
ijtihad yang dibangun di atas dasar-dasar yang benar, kaidah yang dipergunakan
oleh seetiap orang yang hendak menafsirkan ayat al-Qur’an, corak tafsir ini ada
yang diterima ada juga yang ditolak, model tafsir ini diterima sepanjang
penafsirnya memenuhi syarat-syarat yang berikut :
a) Memilki I’tikad yang benar-benar mematuhi ajaran agama.
b) Mempunyai tujuan yang benar, artinya seorang
penafsir dengan karya tafsirnya harus semata-mata bertujuan mendekatkan diri
kepada Allah, bukan untuk tujuan lain seperti untuk disanjung dan lain-lain.
c) Seornag penafsir harus berpegang teguh kepada
dalil Nakli dari Nabi, Shahabat dan orang-orang hidup sezaman dengan mereka
serta harus menghindari segala yang tergolong bid’ah, seorang penafsir harus
menguasai ilmu yang dibutuhkan seperti bahsa Arab, dengan menjauhi 4
perkara berikut yaitu :
1) Menghindari sikap terlalu berani menduga-duga
kehendak Allah di dalam kalamnya tanpa memenuhi syarat sebagai penafsir
2) Memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya Allah berwenang
mengetahuinya
3) Menghindari
dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
4) Menghindari tafsiran seseorang tanpa alasan
dan menganggap tafsirnya yang paling benar.[10]
Dan al-Razi memenuhi
syarat-syarat di atas.
B. Sistematika
Nampaknya al-Razi tidak
menyusun kitab tafsir ini dengan berurut sebagai satu kitab dan tidak mengikuti
urutan surat sesuai dengan urut mushaf, ini diketahui dari catatan tanggal yang
beliau cantumkan di akhir beberapa surat, beliau sebut bahwa beliau
menyelesaikan penafsiran satu surat dalam jangka waktu tertentu kemudian beliau
menyebut surat berikutnya yang sesuai dengan urut mushaf yang beliau tulis
sebelumnya.[11]
Sepertinya al-Razi
menganggap setiap surat yang ditafsirkan sebagai satu kitab
tersendiri ini bisa dipahami dari ungkapan beliau dalam mukaddimah kitab ini. Beliau
menafsirkan Ayat dari sudut yang beragam, dari kebahasaan, fikih dan lain-lain
dan selanjutnya melakukan istinbat hukum barulah beliau menyebut berbagai
masalah yang memungkinkan untuk dibahas sesuai dengan muatan dan isyarat Ayat
dengan mengatakan “Dalam ayat ini ada beberapa masalah“ Selanjutnya menganalisa
masalah satu persatu sekalipun disana ada sanggahan tetap beliau iringi dengan
jawaban, karena beliau sangat suka melakukan istinbat hukum dengan bukti
pernyataan beliau dalam mukaddimah tafsirnya dan saat menafsirkan
surat al-Fatihah “Saya pernah katakan bahwa bisa diistinbatkan hukum dari surat
al-Fatihah ini segala faedah dan segala sfiritnya 10.000 masalah dan itu tidak
mungkin dalam anggapan para pendengki dari lawan-lawannya.[12]
Di awal kitab ini
penulis tidak mengarahkan pembaca untuk kembali menengok pembahasan yang sudah
lewat tapi arahan ini banyak di akhir kitab ini. Ibn Asyur berpendapat lain,
al-Razi ketika mantap menulis tafsir di akhir hayatnya beliau sangat matang
dalam kemampuan menulis karya terakhir beliau, ada sejumlah rancangan dan
cita-cita di tangan para muridnya, dasar itulah beliau terima untuk menulis,
beliau ikutkan bahasan susulan setelah bahasan pokok, Sfirit kitab ini dari al-Razi
seluruhnya , penulisan awal-awal adalah beliau sedangkan untuk akhir-akhir adalah
tulisan murid-murid beliau. Menuliskan komentar-komentar juru tulis merupakan
tradisi penulisan dalam penulisan kitab-kitab islam, di sini terdapat
kemungkinan besar dan tentu juru tulis tidak mungkin kecuali dari kalangan ahli
ilmu dan bisa saja mencantumkan komentar-komentar yang tentu tidak berlawanan
dengan sumber dan sfirit tafsir yaitu penulisnya.[13]
Al-Razi memperhatikan
penjelasan munasabah ayat dan surat, sehingga al-Razi tidak cukup menyebut
hanya satu munasabah walaupun kadang terkesan berlebihan.
C. Karekteristik
Dalam kitab ini ada
informasi langsung mengenai keadaan penulis , perdebatan dan perjalanannya
seperti apa yang bisa dibaca di akhir surat Yunus , penulis berkata “Saya
menyelesaikan tafsir surat ini hari sabtu bulan Rajab tahun 601, dada saya
sedang terhimpit dan banyak dirundung duka, anak saya tercinta Muhammad
meninggal dunia, semoga Allah menerima arwahnya dan memberi rahmat dan
ampunannya, saya berharap kepada siapa saja dari kaum muslimin yang membaca
kitab ini dan mengambil mampaatnya untuk berkenan
kiranya mengkhususukan untuk hamba Allah yang miskin ini do’a semoga
diberi rahmat dan ampunanNya.[14]
Beliau juga menyebut
perjalannya ke Khawarizmi dalam rangka perdebatan yang direncanakan
dengan kaum Nasrani beliau singgung ketika menafsirkan ayat 61 surat Ali Imran
:
ô`yJsù y7§_!%tn ÏmÏù .`ÏB Ï÷èt/ $tB x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# ö@à)sù (#öqs9$yès? äíôtR $tRuä!$oYö/r& ö/ä.uä!$oYö/r&ur $tRuä!$|¡ÎSur öNä.uä!$|¡ÎSur $oY|¡àÿRr&ur öNä3|¡àÿRr&ur ¢OèO ö@ÍktJö6tR @yèôfuZsù |MuZ÷è©9 «!$# n?tã úüÎ/É»x6ø9$# ÇÏÊÈ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah
datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah
kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan
isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah
kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang
yang dusta”. (QS. Ali-Imran
[3] : 61)
Ketika bertepatan saya
di Khawarizmi saya kabarkan kedatangan seorang Nasrani yang mengaku
kedalaman dan kebenaran mazhabnya maka aku mendatanginya …dst.
Beliau paparkan
perdebatnnya seputar ketuhanan nabi Isa dan pertanyaan ketidakbenaran konsep
itu dengan berbagai macam argumentasi, beliau akhiri cerita dengan
ungkapan …sampai di sana orang Nasrani tersebut terdiam setelah semua
argumentasinya terpatahkan”
Kekuatan kitab
ini nampak dari upaya pertama dan berhasil dalam merenggut monopoli
ilmu pengetahuan oleh dua kelompok yaitu Muhaddis\in dan ahli sastra Arab yang
konsen terhadap ilmu balagah dan sekaligus memberi peluang bagi dua kelompok
lain yaitu yang konsen dengan Ushuluddin dan Usul Fiqh, al-Razi menguasai dua
disiflin ilmu ini sehingga para ulama mengikuti jejaknya dengan menyelami
tafsir dengan dominasi dua disiflin ilmu ini dengan demikian tafsir telah
menuju arah baru.
D. Mazhab
Dalam fikih Beliau
tidak fanatisme Mazhab, ini bisa disimpulkan dari komentarnya saat
menafsirkan ayat sadakah “Ayat ini tidak ada yang menunjukkan apa yang menjadi
pegangan Syafi’i.[15]
Dalam Aqidah, aliran
Pandangn al-Razi tentang Mu’tazilah berpendapat sebagaimana ahli sunnah
kebanyakan, meyakini apa yang telah diyakini dari masalah ilmu kalam, tidak ada
kesempatan yang tertinggal tanpa diisi dengan membantah mu’tazilah.[16] Tidak
meninggalkan satu masalahpun dari maslah I’tizal yang terhubung dengan tujuan
tafsirnya kecuali al-Razi memberi bantahan dan penolakan sekaligus menepis
argumentasi mereka dan menguatkan mazhab Ahli Sunnah.[17]
E. Sumber rujukan tafsir Mafatih al-Gaib
Al-Razi
banyak mengutip pendapat para Imam Mufassirin seperti Ibn Abbas, Ibn Kalby,
Mujahid, Qatadah, al-Sudy dan Sa’d Ibn Jubair. Sedangkan dari kajian bahasa
banyak menukil dari Kibar al-Ruwat seperti al-Asma’i, Abu Ubaidah, juga dari
Ulama-ulama di bawah kurun mereka seperti al-Zajjaj, dan al-Mubarrad, adapun
untuk kajian tafsir beliau banyak menukil dari tafsir Muqatil Ibn Sulaiman
al-Maruzi, Abu Ishak al-Ssa'labi, Abu al-Hasan Ali Ibn Ahmad al-Wahidi, Ibn
Qutaibah Muhammad Jurair al-Tabari, Abu Bakr al-Baqilani dan Faurak al-Qaffal
al-Syasyi Ibn Arafah.
Kaitannya
dengan Muktazilah, al-Razi banyak menukil dari Abu Muslim al-Ashfahani, al-Qadi
Abd al-Jabbar,dan al-Zamakhsyari, apa yang dinukil dari al-Zamakhsyar ini
semata-mata untuk membantah dan mematahkan argumentasi Muktazilah.
F.
Keistimewaan Tafsir Mafatih al-Ghayb
Dari sekian banyak ulama yang
meneliti tentang tafsirnya Al-Razi, maka ditemukanlah beberapa keistimewaan
yang terdapat dalam tafsirnya antara lain :
1)
Dia sangat mengutamakan tantang
munasabah (korelasi) surat dan ayat dengan keilmuan yang berkembang. Bahkan tak
jarang ia menyebutkan lebih dari satu munasabah untuk satu ayat tertentu atau
surat tertentu.
2)
Dia bisa menghubungkan tafsir itu
dengan ilmu riyad}iyah (matematika) dan falsafah, serta ilmu-ilmu lain yang
dianggap baru di kalangan agama pada masanya.
3) Dia bisa
menjelaskan tentang akidah yang yang berbeda dan bisa mencocokkan di mana perbedaan itu.
4) Dia mengemukakan tentang balaghah
al-Qu'an dan menjelaskan beberapa kaidah usul.
G. Kritik
terhadap Tafsir Mafatih al-Ghayb
Kitab ini
juga tidak luput dari kritik para ulama’ dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa
kritik tersebut antara lain:
1.
Fakhruddin al-Razi terlalu banyak
mengumpulkan masalah dan pembahasan dalam tafsirnya, sampai pembahasan yang
tidak bersangkut-paut dengan ayat atau surat yang ditafsirkan pun ia sebutkan.
Bahkan lebih tegas lagi, beberapa ulama’ mengatakan bahwa “Di dalamnya
terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.”
2.
Dalam tafsir tesebut, ia terlalu
banyak mencantumkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tafsir, secara
berlebihan.
3.
At-Tufi (w.716 H/1316 M.) mengatakan
bahwa banyak kekurangan yang ditemukan dalam kitab Tafsir al-Kabir.
4.
Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar
banyak melontarkan kritikan terhadap cara penafsiran ayat al-Qur’an yang
dilakukan Fakhruddin, diantaranya Fakhruddin al-Razi adalah seorang ahli tafsir
yang sangat sedikit pengetahuannya tentang sunnah, pendapat para sahabat,
tabi’in dan pendapat tokoh-tokoh salaf. Akan tetapi penulis kurang setuju
dengan pendapat ini karena sedikitnya sunnah Rasulullah saw atau pendapat
sahabat yang dipakai al-Razi bukan karena sedikit pengetahuannya, akan tetapi
karena luasnya ra’yu yang dia gunakan sehingga ada kesan sunnah yang digunakan
hanya sedikit sekali.
Diantara beberapa kritikan yang menghujat metode yang dilakukan oleh al-Razi ini sebenarnya telah diketahui oleh al-Razi sendiri ketika masih hidup. Bahkan ia pernah mengatakan,
“Kalau engkau menghayati kandungan yang ada dalam al-Qur’an secara cermat dan benar, maka engkau nanti akan yakin bahwa pendapat yang menghujat metode yang saya lakukan adalah pendapat yang salah”.
Menurut
Fakhruddin al-Razi, metode yang ia lakukan itu lebih baik daripada menfsirkan
al-Qur’an dengan hanya berkutat pada pembahasan gramatika dan sastra suatu
ayat.
H. Contoh-penafsiran
al-Razi kaitannya dengan Imamah Abu bakr ra dan Ali kw.
Terlebih
dahulu penulis mengajak pembaca untuk mencermati tafsiran al-Razi terhadap surat
al-Fatihah ayat 7 berikut :
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÌÈ Å7Î=»tB ÏQöqt ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ $tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang
2. Segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam
3. Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
4. Yang
menguasai di hari Pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah,
dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan
6. Tunjukilah
Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah
[1] : 1-7)
Ketika menafsirkan ayat
ini al-Razi menunjukkan Imamah Abu Bakr ra, karena telah kami sebut bahwa Taqdir ayat
ini adalah اهدنا صراط الذين انعمت
عليهم mendukung ayat ini tentang orang yang akan
mendapatkan kenikmatan kelak adalah mereka yang disebutkan dalam surat al-Nisa
ayat 69-70. Tidak diragukan lagi bahwa yang terdepan dari al-Shiddiqin adalah
Abu Bakr ra, maka makna ayat adalah Allah telah mmerintah kita memohon hidayah
seperti yang didapat oleh Abu Bakr ra dan yang termasuk golongan ini, karena
andai kata Abu Bakr zalim tentu tidak patut meneladaninya, seperti
kami sebut ayat ini tunjukannya adalah Imamah Abu Bakr ra.[18]
Berikut kita
lihat tafsiran al-Razi untuk surat al-Nisa ayat 69-70 yang
dimaksud sebagai beriku :
`tBur ÆìÏÜã ©!$# tAqߧ9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍkön=tã z`ÏiB z`¿ÍhÎ;¨Y9$# tûüÉ)ÏdÅ_Á9$#ur Ïä!#ypk¶9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)Ïùu ÇÏÒÈ Ï9ºs ã@ôÒxÿø9$# ÆÏB «!$# 4 4s"x.ur «!$$Î/ $VJÎ=tã ÇÐÉÈ
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. yang
demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui”. (QS. An-Nisa [4] : 69-70)
Al-Razi menyebut
beberapa masalah dalam penjelasan ayat ini :
Masalah pertama,
Asbab al-Nuzul al-Ayat, sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan Sauban
seorang budak yang menemui Rasulullah saw dalam keadaan mukanya sudah berubah,
tubuhnya kurus dan nampak di wajahnya air muka kesedihan, Rasulullah
menanyakan akan kabar dan keadaannya, tapi Sauban menjawab “Ya Rasulullah tidak
ada masalah dan penyakit padaku kecuali rasa rindu yang sangat
kepadamu, aku panik selalu sampai aku melihatmu dan aku ingat akhirat dan kalau
aku masuk syorga tidak bisa bertemu denganmu karena engkau berada pada derajat
Nabi sedangkan aku hanya seorang budak, apa lagi kalau aku tidak masuk syorga
aku tidak akan melihatmu selamanya, maka turunlah ayat ini, dikatakan oleh al-Sudie,
sekelompok orang dari kaum Anshar berkata “Ya Rasulullah kalau engkau berada di
tingkat tertinggi di syorga apa yang bisa kami perbuat kalau kami
rindu kepadamu? Turunlah ayat ini, dijelaskan oleh Muqatil bahwa ayat ini turun
berkaitan dengan seorang dari Ans}ar berkata kepada Rasulullah, kalau kami
pulang dari bersama engkau ke keluarga kami, kami rindu kepadamu dan tidak ada
yang bisa kami lakukan kecuali kembali kapadamu lalu teringat derajatmu di
syorga bagaimana kami melihatmu jika rindu kepadamu ? turunlah ayat
ini, dan beberapa riwayat lain dari asbab nuzul ayat ini.
Masalah kedua,
Kewajiban melakukan satu ketaatan, karena cukup beramal dengan lafal
yang meunjukkan atas sifat yang menunjukkan pengertian cukupnya beramal dari
sisi ketetapan dan tercapainya nama yang diperintahkan walaupun
hanya sekali.
Masalah ketiga,
Bukanlah yang dimaksudkan dengan ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul akan
menempatkan semua dalam satu posisi derajat, karena tuntutan penyamaan derajat
antara yang mulia dan kurang mulia (fadhil danmafdhul) ini
tidak boleh kata al-Razi, tapi yang dimaksud kemungkinan bagi mereka untuk
saling melihat kelak di syorga sekalipun jauh tempat, karena Hijab jika
disingkap maka semua bisa saling menyaksikan, jika hendak saling mengunjungi,
Allah memberi kemampuan bagi mereka untuk itu, seperti inilah pungsi
dari واو المعية dalam
pungsi tunjukan bahasa kata al-Razi.
Masalah keempat,
Allah menyebut tiga sifat para Nabi, Siddiqin, Syuhada’ dan Salihin, para
mufassirin sepakat bahwa Nabi berbeda dengan mereka yang disebut dalam istilah
di atas, dengan pendapat-pendapat sebagai berikut :
Tiga sifat ini tertuju bagi satu person yang
disifati, karena bisa saja satu orag memilki tiga sifat ini
sekaligus.
Masing-masing sifat di atas untuk sekelompok
orang, pendapat ini lebih dekat dengan kebenaran karena setiapma’tuf berbeda
dengan ma’tuf ‘alaih , berarti Nabi bukan orang yang disebut
setelahnya, begitu juga siddiqinbukanlah orang yang disebut setelahnya.
Kemudian al-Razi
mengelaborasi tiga sifat di atas sebagai berikut :
1. Sifat Shiddiq adalah istilah untuk orang yang selalu benar
yang merupakan sifat mulia orang-oarang mukmin karenashiddiq cukuplah
menjadi kemuliaan karena tidaklah iman itu kecuali karena membenarkan, sehingga
cukuplah dusta itu menjadi ketercelaan karena tidaklah kekufuran kecuali karen mengingkari,
lebih lanjut al-Razi menjelaskan tentang Siddiq menurut para
mufassir bahwa siapa saja yang membenarkan tentu tidak dibarengi dengan
keraguan dialah Siddq, firmanNya dalam surat al-Hadid ayat 19
:
úïÏ%©!$# tbrÝÁt `tã È@Î6y «!$# $pktXqäóö7tur %[`uqÏã Nèdur ÍotÅzFy$$Î/ öLèe tbrãÏÿ»x. ÇÊÒÈ
“(yaitu)
orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki
(supaya) jalan itu bengkok. dan mereka Itulah orang-orang yang tidak percaya
akan adanya hari akhirat”. (QS. Huud [11] : 19)
2. Assiddiqun
adalah sahabat-sahabat nabi yang mulia.
3. Assiddiq adalah
nama bagi mereka yang lebih dahulu membenarkan Rasulullah saw sehingga menjadi
panutan bagi yang lain, kalau demikian maka Abu bakrlah yang paling pantas
berpredikat al-s}iddi>q karena adanya riwayat yang populer bahwa
Rasulullah bersabda:
ما عرض الاسلام علي احد
الا وله نبوة غير ابي بكر فانه لك …
Hadis ini menunjukkan
bahwa ketika Abu Bakr ditawarkan Islam dia menerima dan tidak menolak dan diam,
andaikata islamnya setelah keislaman orang lain tentu dikatakan bahwa
Rasulullah keliru karena memebelakangkan tawaran Islam untuk Abu Bakr, padahal
ini akan menjadi kekeliruan bagi Abu Bakr tetapi bagi Rasul dan
siapa saja meyakini seperti ini dihukumi kafir, ketika batal kepemilikan
predikat ini kita tahu bahwa Rasul tidak keliru menawarkan islam
kepadanya, dan hadist di atas menjelaskan bahwa Abu Bakr tidak menolak,
sehingga terhimpun dua hal yaitu pertama Abu bakr orang
pertama masuk Islam, kedua Abu bakr adalah panutan bagi
segenap manusia, kalaupun karena adanya isyarat yang
dikatakan bahwa Ali lebih awal masuk Islam dari Abu Bakr, dalam hal
ini siapapun yang menggunakan akalnya pasti memastikan bahwa Ali pada saat yang
sama tidaklah menjadi panutan bagi sekalian manusia karena Ali masih dalam usia
anak-anak pada saat itu yang masih dalam pendidikan dan asuhan Rasulullah saw
sebagai kerabat, sedangkan Abu Bakr tidak dekat dengan Rasul karena alasan
kekerabatan, keislaman seperti dialah menjadikan orang lain tertarik kepada
Islam, karena ulama tafsir sepakat bahwa setelah Abu Bakr, berimanlah
dalam tempo singkat Usman Ibn Affan ra, Talhah, Zubair, Sa’d Ibn Abi
Waqas, Usman Ibn Mazh’un Radhiyallahu ’anhum ajma’in, islam Abu Bakr
menjadi panutan para tokoh ini, kesimpulannya, kalau Abu Bakr pertama masuk
Islam dan menjadi contoh teladan, dalam hal ini tentu dialah orang yang paling
berhak menyandang sifat Ini, jika demikian maka cocok sekali menjadi
sebaik-baik manusia setelah Rasiulullah.[19]
Lebih lanjut al-Razi
memaparkan, kalau lebih awal masuk Islam seharusnya pahala lebih besar seperti
sabda Rasulullah”Man sannasunnatan,,,,dst, setelah Abu Bakr banyak
berjihad yang memetik hasil gemilang, diantaranya banyaknya para kibarsahabat
yang masuk Islam juga seperti Usman, Talhah, Zubair, Sa’d Ibn Abi Waqas, Usman
Ibn Maz’un dan AliRadiyallahu ‘anhum Ajma’in. Ali berjihad di
perang Uhud dan perang Ahzab untuk memerangi kaum kafir, jihadnya Abu Bakr
untuk memperluas para pemeluk islam sedangkan jihad Ali ra untuk memerangi kaum
kafir, jadi jihad dengan tujuan pertama yaitu untuk mengajak masuk Islam lebih
afd}al, lebih lagi ketika melihat bahwa jihad Abu Bakr ketika
Rasulullah dalam keadaan saat lemah, sedangkan Ali berjihad pada
perang Uhud dan perang Ahzab saat Islam sudah kuat, tentulah jihad saat lemah
lebih afdol dibanding dengan jihad di masa islam sudah kuat.
Firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 10 :
$tBur ö/ä3s9 wr& (#qà)ÏÿZè? Îû È@Î6y «!$# ¬!ur ÛWºuÏB ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 w ÈqtGó¡o Oä3YÏB ô`¨B t,xÿRr& `ÏB È@ö6s% Ëx÷Gxÿø9$# @tG»s%ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNsàôãr& Zpy_uy z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qà)xÿRr& .`ÏB ß÷èt/ (#qè=tG»s%ur 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÉÈ
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian
hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit
dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah
menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(QS. Al-Hadid [57] : 10)
Berbagai macam tawaran
alasan al-Razi untuk melegitimasi Imamah Abu Bakr ra, Berikut yang berisi
tentang penyinggungan al-Razi tentang Abu Bakr ada di surat al-Nur ayat 22
:
wur È@s?ù't (#qä9'ré& È@ôÒxÿø9$# óOä3ZÏB Ïpyè¡¡9$#ur br& (#þqè?÷sã Í<'ré& 4n1öà)ø9$# tûüÅ3»|¡yJø9$#ur úïÌÉf»ygßJø9$#ur Îû È@Î6y «!$# ( (#qàÿ÷èuø9ur (#þqßsxÿóÁuø9ur 3 wr& tbq7ÏtéB br& tÏÿøót ª!$# óOä3s9 3 ª!$#ur Öqàÿxî îLìÏm§ ÇËËÈ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nuur [24] : 22)
Dalam kajian ayat surat
al-Nuur ini al-Razi memunculkan sembilan masalah, setelah menyajikan kajian
dalam masalah pertama al-Razi pada masalah kedua memunculkan gagasan penafsiran
sebagai berikut; Konsensus Para mufassir bahwa yang dimaksud Ulul Fadli dalam
ayat ini adalah Abu Bakr dengan alasan dia adalah sebaik-baik manusia setelah
Rasulullah baik dari sisi dunianya atau sisi agama, tetapi kebaikan yang
dilihat dari sisi dunia adalah tidak benar karena esensi pujian ini
kepadanya padahal pujian Allah karena kelebihan Duniawi tidak
mungkin, sebab kalau demikian maka assa’ah adalah pengulangan,
jelaslah yang dimaksud kelebihan disini adalah kelebihan dari sisi agama,
al-Razi mengundang andaikata ada yang tidak setuju dengan konsensus para
mufassirin tentang kekhususan ayat ini berkaitan dengan Abu Bakr, kami katakan
kepada setiap yang menelaah kitab-kitab tafsir dan Hadits akan tahu kekhususan
ayat ini tentang Abu Bakr telah sampai kepada derajat Mutawatir, kalau
menyanggah hal ini berarti menyanggah Hadis} mutawatir, ayat ini juga
menunjukkan adanya orang yang terbaik setelah Rasulullah , telah menjadi
kesepakatan umat yang dimaksud adalah Abu Bakr atau Ali , kalau kami
jelaskan bahwa kalau yang dimaksud bukan Ali tentu Abu Bakr, ada dua
jalan untuk meyakini ayat ini tidak menunjuk kepada Ali yaitu:
Pertama, ayat sebelumnya membahas tentang putri Abu Bakr. Kedua, Allah
sifati dengan Ulissa’ah saat itu Ali ra tidak dari golongan Ulissa’ah, selanjutnya
al-Razi memberi sifat Abu Bakr dengan sifat yang sangat tinggi
yaitu:
1. Pemakaian kata Damir jamak (kata ganti nama untuk person
lebih dari dua) pertanda ketinggian derajat dalam agama.
2. Pemberian sifat Ulil Fadli mutlak
kepada beliau tanpa dikaitkan dengan orang lain.
3. Pemberian Allah kepada Abu Bakar adalah pemberian yang lazim dan pantas.
4. Pemakaian min pada منكم untuk pembeda dari mukmin yang lain.
5. Memungkinkan menarik makna Fadl kepada makna ketaatan.
6. Sa’ah adalah sifat
kedermawanan dan pengorbanan.
7. Kezaliman yang dilakukan oleh kerabat dianggap lebih kejam, kebaikan yang
dibalas dengan kejelekan juga sangat kejam lebih lagi kalau di lakukan oleh
keluarga, Kasus Mastah yanga telah menyakiti hati Abu Bakr tapi Allah
memerintahkan Abu Bakr agar tidak putus dengan segala kebaikan terhadap orang
yang menyakiti beliau, bukankah itu membutuhkan perjuangn besar? dan
seterusnya, al-Razi memberikan tidak kurang dari 14 alasan dalam
mengemukakan kemuliaan Abu Bakr.[20]
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir Mafatih
al-Gaib, yang disusun oleh seorang multi ahli, dengan gaya bahasa yang
mudah dicerna dan dipahami serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan
pengarang tentang keadaan saat itu.
Tafsir Mafatih
al-Gaib hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat terdahulu
dan sekarang dalam memahami al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang
ada di dalamnya. Al-Razi cukup mengakomodir perbedaan pendapat di
kalangan fuqaha, ahli Filsafat, theolog dan aliran mazhab lainnya beliau nyaris
tidak melihat pendapat pribadi terhadap perbedaan pendapat ini tapi dengan
menyajikan pendapat mufassir di atasnya, lebih lagi kepada pendapat para
sahabat dan kemungkinan mengambil semuanya dengan argumentasi masing-masing.dan
penulis meyakini prinsif al-Razi dengan pemahaman tidak ada kebenaran mutlak
dalam setiap pendapat dan penafsiran terbukti setiap ujung paparan
penafsirannya selalu diakhiri dengan kalimat والله اعلم بالصواب, sangat relevan
sekali kalau tafsir ini menjadi kajian lanjutan setelah tafsir-tafsir yang lain
di pondok pesantren dan menjadi kitab kajian di perguruan tinggi Islam yang
bukan hanya menjadi kitab Rujukan tetapi menjadi muatan kurikulum.
[1]
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/tafsir-mafatih-al-ghaib-karya-fakruddin.html
[2]
http://basirun74.blogspot.com/2011/04/tafsir-mafatih-al-gaib-imam-al-razi.html
[4] lihat Mu’jam
al-Mufassirin min Sadr al-Islam wa hatta al-Asr al-Hadir oleh Adil
Nuaihid (Bairut: Mu’assasah Nuaihid al-Taqafiyah.1988),jilid 1. hal. 35.
[6] Ibid.Azzahabi.Al-Tafsir
Wa al-Mufassirun.h.208
[8] Fahd bin
Abd Rahman bin Sulaiman al-Rumi. Buhus fi Ulum al-Tafsir wa Manahijih .
(Kairo: Maktabah al-Taubah .1419. h), hal. 154
[10] Oleh Muhammad
Mansur dari al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, oleh Abu Hasan al-Asy’ari dalam
tulisannya di Antologi Studi Tafsir (Klasik dan Moderen), (Yogyakarta: Fak.
Usuludin IAIN sunan kalijaga. 2002), hal. 95
[12] Ibid,.
Lamhat,. hal. 287. dan lihat Mafatih
al-Gaib…jilid 1.hal. 8. al-Razi membuktikan dengan
tafsiran surat al-Fatihah saja sampai menjadi satu jilid dengan 300 halaman
[14] Mustafa
Dib Baga dan Muhyiddin Dib Musatawa. Al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an.(Damsyik:
Darul Ulum al-Islamiyah.1998), hal. 288.
[15] Muhammad
Lutfi al-Sibag. Lamhat Fi Ulum al-Qur’an Wa Ittijahat al-Tafsir. (Bairut:
al-Kutub al-Islami. 1990 ) hal. 289
[18] Lihat Mafatih
al-Gaib ,(Bairut: Maktabah dar al-Fikr.1977), juz
10, Jilid 12, hal. Dan lihat juga apa yanag disampaikan oleh al-Zamakhsyari
dalam tafsirnya Al-Kasysyaf ketika menafsirkan
kalimat al Siddiqin menurutnya mereka adalah
semulia-mulia sahabat para Nabi yang lebih awal menyatakan keimananya seperti
Abu Bakr ra dan mereka benar dalam perkataan dan perbuatan
mereka, al-Zamakhsyari , al-Kasysyaf ,(kairo: Maktabah al-Abikah.t.t),
jilid 2.hal. 104
[19] Lihat Mafatih
al-Gaib , (Bairut: Maktabah dar al-Fikr.1977), juz
10, Jilid 12, hal.dan lihat juga apa yanag disampaikan oleh
al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf ketika menafsirkan
kalimat al-Siddiqin menurutnya mereka adalah
semulia-mulia sahabat para Nabi yang lebih awal menyatakan keimananya seperti
Abu Bakr ra dan mereka benar dalam perkataan dan perbuatan mereka, al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf
,(kairo: Maktabah al-Abikah.t.t), jilid 2.hal. 104.