Rabu, 20 Maret 2013

Tafsir Mafatih al- Ghaib


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
al-Qur’an adalah kitab suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan interpretasi dan reinterpretasi secara kontinyu mengikuti perkembangan zaman. Jelasnya, selalu dibutuhkan adanya reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan dinamika al-Qur’an sendiri.
Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, perbedaan kecenderungan, interest, dan motivasi mufassir. Perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan berbagai corak penarsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam, lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.
             Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal 2 cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat. Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai pada akhir abad pertama hijriyah.
Pada abad-abad selanjutnya, usaha penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Di samping itu, umat Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an. Karena problema-problema yang ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
             Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula perkembangan corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu cenderung menafsrikan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf, keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.
Salah satu pemikir muslim yang ikut menyumbang khazanah tafsir al-Qur’an adalah Fakhruddin al-Razi, seorang ilmuwan yang menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Salah satu karya fenomenalnya adalah Mafatih al-Ghayb sebuah kitab tafsir dengan gaya pembahasan yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya, yang dikenal sebagai kitab tafsir yang mempunyai cirri-ciri penafsiran bi al-ra’y. Untuk mengenal lebih jauh biografi Fakruddin al-Razi dan karakter, kelebihan dan kekurangan kitab Mafatih al-Ghayb, kami susun tulisan ini dengan sistematika sebagai berikut.

B.  Perumusan Masalah
Berpijak dari pada latar belakang di atas maka kami merumuskan daripada masalah tersebut sebagai sebagai berikut:
a)    Bagaimanakah biografi penulis tafsir ?
b)   Apa saja Karya-karyanya ?
c)    Bagaimanakah identitas tafsir ?
d)   Bagaimanakah Metode penafsirannya ?
e)    Darimana saja sumber rujukan ?
f)    Apa saja  keistimewaan dari tafsir tersebut ?
g)   Bagaimana Kritik terhadap Tafsi tersebut ?
h)   Bagaimanakah contohnya ?

C.  Tujuan Masalah
Tujuan dari pada pembuatan makalah ini adalah :
a.    Untuk mengetakui riwayat hidup penulis tafsir !
b.    Untuk Apa saja Karya-karyanya !
c.    Untuk mengetahui bagaimana identitas tafsir tersebut !
d.   Untuk memahami metode apasaja yang di terapkan !
e.    Untuk darimana saja sumber rujukan !
f.     Untuk mengetahui keistimewaan dari tafsir tersebut !
g.    Untuk mengetahui hal apa saja yang dikritik terhadap Tafsi tersebut !
h.    Untuk lebih memahami bagaimanakah ciri-cirinya !
















BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Fakruddin al-Razi
            Fakruddin al-Razi adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H. Dari kalangan ahlu sunnah. Ia dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir.  
                         Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali, al-Tamimy, al-Bakry, al-Tabristany, al-Razy, Abu ‘Abdillah. Gelarnya adalah Fakhr al-Din, ia juga dikenal dengan nama Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Ia lahir pada bulan Ramadan tahun 544 H. di kota al-Ray (Kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Teheran) dan wafat pada hari ‘In, dalam bukunya Wafayat al-A‘ayan, pada mulanya Fakhruddin al-Razi hidup dalam kemiskinan, tapi keadaan itu berubah ketika ia menikahkan kedua putranya dengan dua putri dari seorang dokter yang kaya raya. Sepeninggal dokter tersebut, kekayaan itu berpindah ke tangan Fakhruddin al-Razi.
1.    Perjalanan Keilmuan Imam Fakhruddin al-Razi
 Sekian banyak para ulama yang terkenal dan kita kenal, mayoritas mereka itu selalu keluar dari negerinya demi untuk menuntut ilmu agama yang selalu diiringi dengan pengorbanan yang tinggi baik dalam segi harta apalagi jiwa dan raganya, namun semua yang dikorbankan itu terasa manis karena semua perjalanan mereka itu ikhlas dan selalu dibawah lindungan Allah SWT, seperti Imam al-Razi yang sedang kita bahas ini, beliau juga mengalami perjalanan yang panjang dalam menuntut ilmu. Dari negerinya Al-ray berangkat ke negeri Khurasan, yang mana di Khurasan itu banyak ulama besar yang berasal dari negeri itu. Muhammad ibn Muhammad Abu Shahbah, dalam bukunya Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith menuturkan, bahwa dari Khurasan atau lebih dikenal lagi dengan Bukhara, Imam al-Razi melanjutkan perjalanannya ke Iraq, terus ke Syam.
Namun lebih banyak waktunya digunakan di Khawarzim untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudian beliau berangkat ke negeri kota Hirah di daerah Afganistan sampai wafat di sana.

2.    Keilmuan Imam Fakhruddin al-Razi
            Fakhruddin al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang tersohor dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Ia adalah pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal. Karena ketenarannya itulah, ia sering menerima berbagai kunjungan dari para ulama’ yang datang dari berbagai penjuru.
            Ia mempelajari ilmu-ilmu diniah dan ‘aqliah sehingga sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam. Mengenai ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab, sehingga ia juga dipandang sebagai seorang filosof pada masanya. Dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai filosof Islam.
            Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri Diya’ al-Din abu al-Qasim Umar al-Razi, atau yang dikenal dengan Khatib al-Ray, ayahnya merupakan salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy. Beliau adalah seorang tokoh, ulama’ dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat al-Ray, terutama dalam bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, hadit, teologi dan tasawuf. Selain itu Fakhruddin al-Razi belajar ilmu kalam dari al-Majd al-Jily salah satu murid Imam Ghazaly-, ia juga belajar dari al-Kamal al-Sam‘any dan beberapa guru lainnya. Selain sebagai seorang intelektual yang sangat produktif, Fakhr al-Din al-Razi merupakan seorang da’i yang sangat handal dan kondang. Ia tidak hanya mahir berdakwah dengan berbahasa Arab, tapi juga lihai berdakwah dengan bahasa asing (persia).[1]

B.  Karya-karya Imam Fakhr al-Din al-Razi
            Karya beliau cukup beragam dari yang berbahasa Arab dan bahasa Persia dan menjadi reverensi bagi kajian-kajian keislaman, yang berbahasa Arab diantara tulisan beliau yang penulis miliki dokumennya sebagai berikut:
1.    Mafatih al-Gaib al-Tafsir al-Kabir, Baulaq: Al-Matba’ah al-Amiriyah. 1289. H. al-Khairiyah.1307, Maktabah al-Misriyah. 1353-1357. H, dan Bairut: Makatabah Dar al-Fikr. 1977.
2. I’tiqadat Firoq al-Muslimin wa al-Musyrikin. Diterbitkan oleh Makatabah al-Nahdah al-Misriyah Kairo. 1938 M/1356.
3.  Khalq al-Qura’an baina al-Mu’tazilah wa Ahl al-Sunnah,Tahqiq Ahamad Hijazi al-Saqqa, Bairut: Dar al-Jil. 1992, cetakan 1.
4. 'Ismat  al-Anbiya '. Kairo: Maktabat al- Madani, 1987.
5.  Al-Arba’in fi Usul al-Din. Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah, 1987.
6.  Al-Mahsul fi ‘Ilm Usul al-Fiqh, Ed. Taha Jabir al-Alwani.Vol, 3. Riadh: Lajnat al-Buhus wa al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1979.
7. Al-Masa’il al-Khamsun fi Usul al-Din . Kairo: al-Maktab al-Saqafi, 1989.
8. Al-Matalib ‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi. Ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa. Vol. 8. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987.
9. Asas al-Taqdis. Ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa. Kairo: Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyah. 1986.
10. Asrar al-Tanzil  wa Anwar al-Ta’wil. Ed. Ahmad Hijazi al-Saqqa. Beirut: Da al-Jil. 1992.
11. Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Qiwamiha. Trans.M. Saghir Hasan al-Maksumi. 
     Imam al-Razi’s ‘Ilm al-Akhlaq. Islamabad Research Institut, 1969.
12.  Munazarat Fakhr al-Din al-Razi fi Bilad  ma Wara’ al-Nahr. Ed. Fathalla Kholaef. Beirut: Dar al-Masyriq, 1966.
13. Munazarat fi al-Radd ‘ala al-Nasara, Ed. ‘Abd al-Majid al-Najjar. Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1986.
14. Nihayat al-I’jaz, Ed. Ibrahim al-Samarra’i and Muhammad Barokat Abu ‘Ali. Oman: Dar al-Fikr, 1985.
15. Al-Hawi fi al-Tibb. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. T.t
16. Manafi’ al-‘Ulum al-Agziah wa Df’u Madariha. Bairut: Dar ihya’ al-Ulum. t.t.
17.  Kitab al-Qulang.(Leluere De La Colique) Edition Critique et Trauction de Soubhi M Hammami. Aleppo University. Institute for the History of Arabic Siense: Matba’ah Jami’ah Halb. 1403 H/1983 M.
18.  Al-Nubuwwat wa Ma Yata’allaqu biha, Tahqiq DR. Ahmad Hijazi al-Saqa.Kairo: Dar al-Kulliyat al-Azhariyah dan Bairut: Dar ibn Zaidun. 1986.
19.  Al-Mahsul fi ‘Lmi Usul al-Fiqh. Bairu: Maktabah al-Risalah. 1997.
20.  Kitab al-Nafsi wa al-Ruh wa Syarhu Quwaha. Tahqiq DR.Muhammad Sagir Hasan al-Ma’sumi, Islamabad Fakistan: Ma’had al-Ibhas al-Islamiyah. 1968.
21.  Al-Jadal wa al-Kasyif ‘an Usul al-Dala’il wa Fusul al-‘Ilal. Istambul:Ma’had al-Makhtutat. T.t.
22. Al-Khamsin fi Usul al-Ddin, Kairo: Kardistan. 1328.H.
23. Zamm al-Dunya, Bagdad: Maktabah al-Qa.diriyah. t.t.
24.  Al-Sirr al-Maktum fi Mukhatabat al-Syams waal-Qamar wa al-Nujum, Istambul: Ma’had al-Makhtutat. t.t.
25. Syarh al-Isyarat wa al-Tanbihat li Ibn Sina ma’a Syarh Nasir al-Din al-Tusi, Kairo: Matba’ah al-Khairiyah. 1320. H.
26. Syarh ‘Uyun al-Hikmah li ibn Sina, Askureal: Da.r al-Kutub. T.t.
27.‘Araisu al-Mahsal fi Nafa’isi al-Mafsal, Madinah: Maktabah Arif Hikmat. t.t.
28.  Lubab al-Isyarat, Kairo: Matba’ah al-Sa’adah. 1326.
29. Lawami’al-Bayanat, Syarh asma’ al-Husna wa al-Sifat, Kairo: Maktabah al-Kulliyatal-Azhariyah. Dan Matba’ah al-Syarafiyah. 1323.
30. Mahsal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin min al-Ulama’ wa al-Hukama’ wa al-Mutakallimin, Kairo: Matba’ah al-Husainiyah. 1323.
31. Al-Matalib al’Aliyah, Manuskrif yang dimiliki oleh Dar al-Kutub al-Misriyah. T.t.
32. Al-Mulakhkhas fi al-Hikamat wa al-Mantiq, Ma’had al-Makhtutat, t.t.
33. Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz, Kairo: Matba’ah al-Adab wa al-Mu’ayyad. 1317.

Imam Fakhruddin Ar-Razi juga menulis beberapa kitab dalam bahasa Persia seperti: Risalah Al-Kamaliahwa Tahjin Ta’jiz Al-Falasafah dan Kitab Al-Barahin Al-Baha’iyyah.[2]

C.  Identitas Tafsir Mafatih al-Gaib karya Imam Fakhr al-Din al-Razi
Tafsir ini lebih mengutamakan kajian ilmu logika, beliau meramu di dalamnya berbagai disiflin ilmu seperti kedokteran, Mantiq, Filasafat dan Hikmah, tanpa mengenyampinglkan makna inti al-Qur’an dan sfirit ayat-ayatnya, dengan menggeret  teks-teks al-Qur’an jika muncul masalah logika dan istilah-istilah ilmiah sehingga  kitab  Mafatih al-Gaib kehilangan sfirit tafsirnya dan petunjuk Islam, Ulama menilai kitab ini dengan statman yang populer “Semua ada di tafsir mafatih al-Gaib kecuali tafsir.[3]
Tafsir ini terdiri dari 8 jilid dan relatif besar dan dicetak berkali-kali, sebelumnya dicetak  32 juz dengan 16 jilid , Keterangan Ibn Qadi Syu’bah bahwa Fakhr al-Din al-Razi belum menyelesaikan tafsirnya, keterangn tentang ini juga disampaikan oleh Ibn Khalkan dalam bukunya Wafiyat al-A’yan , lalu siapakah yang menyempurnakan tafsir ini? sampai ayat mana Fakhr al-Din menafsirkan? Masalah ini sangat pelik sehingga banyak ulama yang memunculkannya. Seperti Ibn Hajar dalam kitabnya al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Syaminah  menyatakan bahwa yang menyelesaikan tafsir Fakhr al-Din al-Razi adalah Ahmad Ibn Muhammmad Ibn Abi Hazm Makki Najm al-Din al-Makhzumi al-Qamuli (w. th.727 H) beliau berkebangsaan Mesir. Penulis kitab Kasyf al-Zunun menyatakn bahwa tulisan Najm al-Din sebagai pelengkap saja dan Qadi al-Qudat Syihab al-Din Ibn Khalil al-Khuwayyi al-Dimasyqi[4] sebagai pelengkap saja, sehingga bisa dilihat seperti keterangan dari Ibn Hajar  yang menyebut bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Najm al-Din al-Qamuli dan begitu juga penulis kitab Kasyf al-Zunun  meyakini bahwa Syihab al-Din al-Khuwayyi ikut andil dalam penyempurnaan tafsir ini. Pertanyaannya adalah sampai mana al-Razi menafsirkan? Al-Zahabi mendapatkan keterangan dalam catatn kaki kitab Kasyf al-
Zunun  yang redaksinya sebagai berikut:
الذى رأيته بخط السيد مرتضى نقلا عن شرح الشفا للشهاب , انه وصل الى سورة الانبياء
Kami tahu dari manuskrif Sayyid Murtada dinukil dari kitab Syarh al-Syifa oleh Syihab al-Din al-Khuwayyi bahwa Fakhr al-Din menulis kitab tafsirnya hanya sampai surat al-Anbiya.[5] kata al-Zahabi ketika saya membaca tafsir surat al-Waqi’ah ayat 24 dalam tafsir ini yaitu ayat جزاءا بما كانوا يعملون  dengan paparannya bahwa Masalah pertama dari asfek Usul, imam Fakhr al-Din al-Razi sering menyampaikan kata-kata ini dalam menafsirkan ayat-ayat lain. Ini satu indikator bahwa al-Razi belum sampai ayat ini dalam tafsirnya, begitu juga ketika al-Zahabi membaca surat al-Ma'idah ayat 6 dalam tafsir ini yaitu ayat
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah [5] : 6)

 Beliau memunculkan masalah niat dalam berwudu dengan bersandarkan dalil ayat 5 surat al-Bayyinah :
 ö@t/ (#þqä9$s% ß]»tóôÊr& ¥O»n=ômr& È@t/ çm1uŽtIøù$# ö@t/ uqèd ֍Ïã$x© $uZÏ?ù'uŠù=sù 7ptƒ$t«Î/ !$yJŸ2 Ÿ@Åöé& tbqä9¨rF{$# ÇÎÈ  
“Bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (QS. Al-Bayyinah [21] : 5)

Beliau menjelaskan bahwa konsep ikhlas itu adalah Niat beliau pastikan seperti kalimatnya “kami sudah membahasnya panjang lebar ketika membahas surat al-Bayyinah, silakan baca untuk menambah keyakinan.”[6] Keterangn di atas sebagai indikator bahwa beliau menafsirkan sampai surat al-bayyinah.di antara komentar beliau yang menjadi wasiat sebelum wafat adalah sebagai berikut”Saya telah melewati jalan ilmu Logika dan filsafat, saya tidak mengetahui satu pun faedah yang menyamai yang kudapai dari al-Qur’an karena sepenuhnya al-Qur’an sarat dengan upaya menjaga keagungan dan kemuliaan Allah SWT, menutup jalan bagi yang ingin memperdalam dengan tujuan menyanggah, semua hanya sekadar dan sebatas kemampuan saya, akal manusia lenyap dalam jalan yang jauh dan pendekatan yang rahasia.[7] Bahkan  diceritakan bahwa al-Razi menyesal dengan telah disibukkan dengan ilmu kalam, ini terbukti dengan ungkapan beliau  Laitani lam asytaghil bi ‘ilm al-kalam kemudian beliau menangis.[8]





D.  Metode, sistematika dan karekteristik kitab Tafsir Mafatih al-Gaib
A. Metode tafsir dan Corak (Laun) tafsir
1. Perhatian al-Razi terhadap matematika dan filsafat, sebagaimana bisa dikatakan bahwa al-Razi banyak menyimpang kajian ilmu matematika dan ilmu alam dan lain-lain, sebagai ilmu yang baru dari ilmu agama pada zaman itu, seperti aturan tata surya,  al-Razi banyak menyanggah pandapat para filosof.[9]
2. Ulama yang memandang tafsir ini bagian dari metode tafsir bi al-Ra’yi  menjabarkan seorang penafsir al-Qur’an berpegang pada ijtihadnya bukan berpegang pada asar yang diambil dari para sahabat, dalam tafsir ini juga pertimbangan bahasa Arab juga ilmu yang dibutuhkan secara pasti harus diketahui oleh yang hendak menafsirkan al-Qur’an, ijtihad yang dibangun di atas dasar-dasar yang benar, kaidah yang dipergunakan oleh seetiap orang yang hendak menafsirkan ayat al-Qur’an, corak tafsir ini ada yang diterima ada juga yang ditolak, model tafsir ini diterima sepanjang penafsirnya memenuhi syarat-syarat yang berikut :
a) Memilki I’tikad yang benar-benar mematuhi ajaran agama.
b) Mempunyai tujuan yang benar, artinya seorang penafsir dengan karya tafsirnya harus semata-mata bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk tujuan lain seperti untuk disanjung dan lain-lain.
c) Seornag penafsir harus berpegang teguh kepada dalil Nakli dari Nabi, Shahabat dan orang-orang hidup sezaman dengan mereka serta harus menghindari segala yang tergolong bid’ah, seorang penafsir harus menguasai ilmu yang dibutuhkan  seperti bahsa Arab, dengan menjauhi 4 perkara berikut yaitu :
1) Menghindari sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalamnya tanpa memenuhi syarat sebagai penafsir
2) Memaksa diri untuk memahami sesuatu yang hanya Allah berwenang mengetahuinya
3) Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu.
4) Menghindari tafsiran seseorang tanpa alasan dan menganggap tafsirnya yang paling  benar.[10]
Dan al-Razi memenuhi syarat-syarat di atas.

B. Sistematika
Nampaknya al-Razi tidak menyusun kitab tafsir ini dengan berurut sebagai satu kitab dan tidak mengikuti urutan surat sesuai dengan urut mushaf, ini diketahui dari catatan tanggal yang beliau cantumkan di akhir beberapa surat, beliau sebut bahwa beliau menyelesaikan penafsiran satu surat dalam jangka waktu tertentu kemudian beliau menyebut surat berikutnya yang sesuai dengan urut mushaf yang beliau tulis sebelumnya.[11]
Sepertinya al-Razi menganggap setiap surat yang ditafsirkan  sebagai satu kitab tersendiri ini bisa dipahami dari ungkapan beliau dalam mukaddimah kitab ini. Beliau menafsirkan Ayat dari sudut yang beragam, dari kebahasaan, fikih dan lain-lain dan selanjutnya melakukan istinbat hukum barulah beliau menyebut berbagai masalah yang memungkinkan untuk dibahas sesuai dengan muatan dan isyarat Ayat dengan mengatakan “Dalam ayat ini ada beberapa masalah“ Selanjutnya menganalisa masalah satu persatu sekalipun disana ada sanggahan tetap beliau iringi dengan jawaban, karena beliau sangat suka melakukan istinbat hukum dengan bukti pernyataan beliau dalam mukaddimah tafsirnya dan  saat menafsirkan surat al-Fatihah “Saya pernah katakan bahwa bisa diistinbatkan hukum dari surat al-Fatihah ini segala faedah dan segala sfiritnya 10.000 masalah dan itu tidak mungkin dalam anggapan para pendengki dari lawan-lawannya.[12]
Di awal kitab ini penulis tidak mengarahkan pembaca untuk kembali menengok pembahasan yang sudah lewat tapi arahan ini banyak di akhir kitab ini. Ibn Asyur berpendapat lain, al-Razi ketika mantap menulis tafsir di akhir hayatnya beliau sangat matang dalam kemampuan menulis karya terakhir beliau, ada sejumlah rancangan dan cita-cita di tangan para muridnya, dasar itulah beliau terima untuk menulis, beliau ikutkan bahasan susulan setelah bahasan pokok, Sfirit kitab ini dari al-Razi seluruhnya , penulisan awal-awal adalah beliau sedangkan untuk akhir-akhir adalah tulisan murid-murid beliau. Menuliskan komentar-komentar juru tulis merupakan tradisi penulisan dalam penulisan kitab-kitab islam, di sini terdapat kemungkinan besar dan tentu juru tulis tidak mungkin kecuali dari kalangan ahli ilmu dan bisa saja mencantumkan komentar-komentar yang tentu tidak berlawanan dengan sumber dan sfirit tafsir yaitu penulisnya.[13]
Al-Razi memperhatikan penjelasan munasabah ayat dan surat, sehingga al-Razi tidak cukup menyebut hanya satu munasabah walaupun kadang terkesan berlebihan.

C.  Karekteristik
Dalam kitab ini ada informasi langsung mengenai keadaan penulis , perdebatan dan perjalanannya seperti apa yang bisa dibaca di akhir surat Yunus , penulis berkata “Saya menyelesaikan tafsir surat ini hari sabtu bulan Rajab tahun 601, dada saya sedang terhimpit dan banyak dirundung duka, anak saya tercinta Muhammad meninggal dunia, semoga Allah menerima arwahnya dan memberi rahmat dan ampunannya, saya berharap kepada siapa saja dari kaum muslimin yang membaca kitab ini dan mengambil mampaatnya untuk berkenan kiranya  mengkhususukan untuk hamba Allah yang miskin ini do’a semoga diberi rahmat dan ampunanNya.[14]
Beliau juga menyebut perjalannya ke Khawarizmi dalam rangka perdebatan yang  direncanakan dengan kaum Nasrani beliau singgung ketika menafsirkan ayat 61 surat Ali Imran :
 ô`yJsù y7§_!%tn ÏmÏù .`ÏB Ï÷èt/ $tB x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# ö@à)sù (#öqs9$yès? äíôtR $tRuä!$oYö/r& ö/ä.uä!$oYö/r&ur $tRuä!$|¡ÎSur öNä.uä!$|¡ÎSur $oY|¡àÿRr&ur öNä3|¡àÿRr&ur ¢OèO ö@ÍktJö6tR @yèôfuZsù |MuZ÷è©9 «!$# n?tã šúüÎ/É»x6ø9$# ÇÏÊÈ  
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”. (QS. Ali-Imran [3] : 61)

Ketika bertepatan saya di Khawarizmi saya kabarkan kedatangan seorang Nasrani yang mengaku kedalaman dan kebenaran mazhabnya maka aku mendatanginya …dst.  
Beliau paparkan perdebatnnya seputar ketuhanan nabi Isa dan pertanyaan ketidakbenaran konsep itu  dengan berbagai macam argumentasi, beliau akhiri cerita dengan ungkapan …sampai di sana orang Nasrani tersebut terdiam setelah semua argumentasinya terpatahkan”
Kekuatan kitab ini  nampak dari upaya pertama dan berhasil dalam merenggut monopoli ilmu pengetahuan oleh dua kelompok yaitu Muhaddis\in dan ahli sastra Arab yang konsen terhadap ilmu balagah dan sekaligus memberi peluang bagi dua kelompok lain yaitu yang konsen dengan Ushuluddin dan Usul Fiqh, al-Razi menguasai dua disiflin ilmu ini sehingga para ulama mengikuti jejaknya dengan menyelami tafsir dengan dominasi dua disiflin ilmu ini dengan demikian tafsir telah menuju arah baru.

D. Mazhab
Dalam fikih Beliau tidak  fanatisme Mazhab, ini bisa disimpulkan dari komentarnya saat menafsirkan ayat sadakah “Ayat ini tidak ada yang menunjukkan apa yang menjadi pegangan Syafi’i.[15]
Dalam Aqidah, aliran Pandangn al-Razi tentang Mu’tazilah berpendapat sebagaimana ahli sunnah kebanyakan, meyakini apa yang telah diyakini dari masalah ilmu kalam, tidak ada kesempatan yang tertinggal tanpa diisi dengan membantah mu’tazilah.[16] Tidak meninggalkan satu masalahpun dari maslah I’tizal yang terhubung dengan tujuan tafsirnya kecuali al-Razi memberi bantahan dan penolakan sekaligus menepis argumentasi mereka  dan menguatkan mazhab Ahli Sunnah.[17]

E.  Sumber rujukan tafsir Mafatih al-Gaib
            Al-Razi banyak mengutip pendapat para Imam Mufassirin seperti Ibn Abbas, Ibn Kalby, Mujahid, Qatadah, al-Sudy dan Sa’d Ibn Jubair. Sedangkan dari kajian bahasa banyak menukil dari Kibar al-Ruwat seperti al-Asma’i, Abu Ubaidah, juga dari Ulama-ulama di bawah kurun mereka seperti al-Zajjaj, dan al-Mubarrad, adapun untuk kajian tafsir beliau banyak menukil dari tafsir Muqatil Ibn Sulaiman al-Maruzi, Abu Ishak al-Ssa'labi, Abu al-Hasan Ali Ibn Ahmad al-Wahidi, Ibn Qutaibah Muhammad Jurair al-Tabari, Abu Bakr al-Baqilani dan Faurak al-Qaffal al-Syasyi Ibn Arafah.
            Kaitannya dengan Muktazilah, al-Razi banyak menukil dari Abu Muslim al-Ashfahani, al-Qadi Abd al-Jabbar,dan al-Zamakhsyari, apa yang dinukil dari al-Zamakhsyar ini semata-mata untuk membantah dan mematahkan argumentasi Muktazilah.




F. Keistimewaan Tafsir Mafatih al-Ghayb
Dari sekian banyak ulama yang meneliti tentang tafsirnya Al-Razi, maka ditemukanlah beberapa keistimewaan yang terdapat dalam tafsirnya antara lain :
1)   Dia sangat mengutamakan tantang munasabah (korelasi) surat dan ayat dengan keilmuan yang berkembang. Bahkan tak jarang ia menyebutkan lebih dari satu munasabah untuk satu ayat tertentu atau surat tertentu.
2)   Dia bisa menghubungkan tafsir itu dengan ilmu riyad}iyah (matematika) dan falsafah, serta ilmu-ilmu lain yang dianggap baru di kalangan agama pada masanya.
3) Dia bisa menjelaskan tentang akidah yang yang berbeda dan bisa mencocokkan di mana    perbedaan itu.
4) Dia mengemukakan tentang balaghah al-Qu'an dan menjelaskan beberapa kaidah usul.

G. Kritik terhadap Tafsir Mafatih al-Ghayb
Kitab ini juga tidak luput dari kritik para ulama’ dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa kritik tersebut antara lain:
1.    Fakhruddin al-Razi terlalu banyak mengumpulkan masalah dan pembahasan dalam tafsirnya, sampai pembahasan yang tidak bersangkut-paut dengan ayat atau surat yang ditafsirkan pun ia sebutkan. Bahkan lebih tegas lagi, beberapa ulama’ mengatakan bahwa “Di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.”
2.    Dalam tafsir tesebut, ia terlalu banyak mencantumkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tafsir, secara berlebihan.
3.    At-Tufi (w.716 H/1316 M.) mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan dalam kitab Tafsir al-Kabir.
4.    Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar banyak melontarkan kritikan terhadap cara penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan Fakhruddin, diantaranya Fakhruddin al-Razi adalah seorang ahli tafsir yang sangat sedikit pengetahuannya tentang sunnah, pendapat para sahabat, tabi’in dan pendapat tokoh-tokoh salaf. Akan tetapi penulis kurang setuju dengan pendapat ini karena sedikitnya sunnah Rasulullah saw atau pendapat sahabat yang dipakai al-Razi bukan karena sedikit pengetahuannya, akan tetapi karena luasnya ra’yu yang dia gunakan sehingga ada kesan sunnah yang digunakan hanya sedikit sekali.

             Diantara beberapa kritikan yang menghujat metode yang dilakukan oleh al-Razi ini sebenarnya telah diketahui oleh al-Razi sendiri ketika masih hidup. Bahkan ia pernah mengatakan,
“Kalau engkau menghayati kandungan yang ada dalam al-Qur’an secara cermat dan benar, maka engkau nanti akan yakin bahwa pendapat yang menghujat metode yang saya lakukan adalah pendapat yang salah”.
Menurut Fakhruddin al-Razi, metode yang ia lakukan itu lebih baik daripada menfsirkan al-Qur’an dengan hanya berkutat pada pembahasan gramatika dan sastra suatu ayat.

H. Contoh-penafsiran al-Razi kaitannya dengan Imamah Abu bakr ra dan Ali kw.
            Terlebih dahulu penulis mengajak pembaca untuk mencermati tafsiran al-Razi terhadap surat al-Fatihah ayat 7 berikut :
  ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ   ßôJysø9$# ¬! Å_Uu šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ   Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÌÈ   Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ   x$­ƒÎ) ßç7÷ètR y$­ƒÎ)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ   $tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ   xÞºuŽÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã ÎŽöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# ÇÐÈ 

1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di hari Pembalasan
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan
6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah [1] : 1-7)

Ketika menafsirkan ayat ini al-Razi menunjukkan Imamah Abu Bakr ra, karena telah kami sebut bahwa Taqdir ayat ini adalah اهدنا صراط الذين انعمت عليهم  mendukung ayat ini tentang orang yang akan mendapatkan kenikmatan kelak adalah mereka yang disebutkan dalam surat al-Nisa ayat 69-70. Tidak diragukan lagi bahwa yang terdepan dari al-Shiddiqin adalah Abu Bakr ra, maka makna ayat adalah Allah telah mmerintah kita memohon hidayah seperti yang didapat oleh Abu Bakr ra dan yang termasuk golongan ini, karena andai kata Abu Bakr zalim  tentu tidak patut meneladaninya, seperti kami sebut ayat ini tunjukannya adalah Imamah Abu Bakr ra.[18]
       Berikut kita lihat tafsiran al-Razi untuk surat al-Nisa ayat 69-70 yang dimaksud  sebagai beriku :
`tBur ÆìÏÜム©!$# tAqߧ9$#ur y7Í´¯»s9'ré'sù yìtB tûïÏ%©!$# zNyè÷Rr& ª!$# NÍköŽn=tã z`ÏiB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# tûüÉ)ƒÏdÅ_Á9$#ur Ïä!#ypk9$#ur tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur 4 z`Ý¡ymur y7Í´¯»s9'ré& $Z)ŠÏùu ÇÏÒÈ   šÏ9ºsŒ ã@ôÒxÿø9$# šÆÏB «!$# 4 4s"x.ur «!$$Î/ $VJÎ=tã ÇÐÉÈ  
“Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui”. (QS. An-Nisa [4] : 69-70)

Al-Razi menyebut beberapa masalah dalam penjelasan ayat ini :
Masalah pertamaAsbab al-Nuzul al-Ayat, sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan Sauban seorang budak yang menemui Rasulullah saw dalam keadaan mukanya sudah berubah, tubuhnya kurus dan nampak di wajahnya air muka kesedihan,  Rasulullah menanyakan akan kabar dan keadaannya, tapi Sauban menjawab “Ya Rasulullah tidak ada masalah dan penyakit padaku kecuali  rasa rindu yang sangat kepadamu, aku panik selalu sampai aku melihatmu dan aku ingat akhirat dan kalau aku masuk syorga tidak bisa bertemu denganmu karena engkau berada pada derajat Nabi sedangkan aku hanya seorang budak, apa lagi kalau aku tidak masuk syorga aku tidak akan melihatmu selamanya, maka turunlah ayat ini, dikatakan oleh al-Sudie, sekelompok orang dari kaum Anshar berkata “Ya Rasulullah kalau engkau berada di tingkat tertinggi di syorga apa yang bisa kami perbuat  kalau kami rindu kepadamu? Turunlah ayat ini, dijelaskan oleh Muqatil bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seorang dari Ans}ar berkata kepada Rasulullah, kalau kami pulang dari bersama engkau ke keluarga kami, kami rindu kepadamu dan tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali kembali kapadamu lalu teringat derajatmu di syorga  bagaimana kami melihatmu jika rindu kepadamu ? turunlah ayat ini, dan beberapa riwayat lain dari asbab nuzul ayat ini.
Masalah kedua, Kewajiban melakukan satu ketaatan, karena  cukup beramal dengan lafal yang meunjukkan atas sifat yang menunjukkan pengertian cukupnya beramal dari sisi ketetapan  dan tercapainya nama yang diperintahkan walaupun hanya sekali.
Masalah ketiga, Bukanlah yang dimaksudkan dengan ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul akan menempatkan semua dalam satu posisi derajat, karena tuntutan penyamaan derajat antara yang mulia dan kurang mulia (fadhil danmafdhul) ini tidak boleh kata al-Razi, tapi yang dimaksud kemungkinan bagi mereka untuk saling melihat kelak di syorga sekalipun jauh tempat, karena Hijab jika disingkap maka semua bisa saling menyaksikan, jika hendak saling mengunjungi, Allah memberi kemampuan bagi mereka untuk itu,  seperti inilah pungsi dari واو المعية  dalam pungsi tunjukan bahasa kata al-Razi.
Masalah keempat, Allah menyebut tiga sifat para Nabi,  Siddiqin, Syuhada’ dan Salihin, para mufassirin sepakat bahwa Nabi berbeda dengan mereka yang disebut dalam istilah di atas, dengan pendapat-pendapat sebagai berikut :
 Tiga sifat ini tertuju bagi satu person yang disifati, karena bisa saja satu orag memilki  tiga sifat ini sekaligus.
 Masing-masing sifat di atas untuk sekelompok orang, pendapat ini lebih dekat dengan kebenaran karena setiapma’tuf berbeda dengan ma’tuf ‘alaih , berarti Nabi bukan orang yang disebut setelahnya, begitu juga siddiqinbukanlah orang yang disebut setelahnya.

Kemudian al-Razi mengelaborasi tiga sifat di atas sebagai berikut :
1.      Sifat Shiddiq adalah istilah untuk orang yang selalu benar yang merupakan sifat mulia orang-oarang mukmin karenashiddiq cukuplah menjadi kemuliaan karena tidaklah iman itu kecuali karena membenarkan, sehingga cukuplah dusta itu menjadi ketercelaan karena tidaklah kekufuran kecuali karen mengingkari, lebih lanjut al-Razi menjelaskan tentang Siddiq menurut para mufassir bahwa siapa saja yang membenarkan tentu tidak dibarengi dengan keraguan dialah Siddq, firmanNya dalam surat al-Hadid ayat 19 :



šúïÏ%©!$# tbrÝÁtƒ `tã È@Î6y «!$# $pktXqäóö7tƒur %[`uqÏã Nèdur ÍotÅzFy$$Î/ öLèe tbrãÏÿ»x. ÇÊÒÈ  
“(yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. dan mereka Itulah orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat”. (QS. Huud [11] : 19)
2. Assiddiqun adalah sahabat-sahabat nabi yang mulia.
3. Assiddiq adalah nama bagi mereka yang lebih dahulu membenarkan Rasulullah saw sehingga menjadi panutan bagi yang lain, kalau demikian maka Abu bakrlah yang paling pantas berpredikat al-s}iddi>q  karena adanya riwayat yang populer bahwa Rasulullah bersabda:
ما عرض الاسلام علي احد الا وله نبوة غير ابي بكر فانه لك 
Hadis ini menunjukkan bahwa ketika Abu Bakr ditawarkan Islam dia menerima dan tidak menolak dan diam, andaikata islamnya setelah keislaman orang lain tentu dikatakan bahwa Rasulullah keliru karena memebelakangkan tawaran Islam untuk Abu Bakr, padahal ini akan menjadi  kekeliruan bagi Abu Bakr tetapi bagi Rasul dan siapa saja meyakini seperti ini dihukumi kafir, ketika batal kepemilikan predikat ini  kita tahu bahwa Rasul tidak keliru menawarkan islam kepadanya, dan hadist di atas menjelaskan bahwa Abu Bakr tidak menolak, sehingga terhimpun dua hal yaitu pertama Abu bakr orang pertama masuk Islam, kedua Abu bakr adalah panutan bagi segenap manusia, kalaupun karena adanya isyarat  yang dikatakan  bahwa Ali lebih awal masuk Islam dari Abu Bakr, dalam hal ini siapapun yang menggunakan akalnya pasti memastikan bahwa Ali pada saat yang sama tidaklah menjadi panutan bagi sekalian manusia karena Ali masih dalam usia anak-anak pada saat itu yang masih dalam pendidikan dan asuhan Rasulullah saw sebagai kerabat, sedangkan Abu Bakr tidak dekat dengan Rasul karena alasan kekerabatan, keislaman seperti dialah menjadikan orang lain tertarik kepada Islam, karena ulama tafsir sepakat bahwa setelah Abu Bakr,  berimanlah dalam tempo singkat Usman Ibn Affan ra,  Talhah, Zubair, Sa’d Ibn Abi Waqas, Usman Ibn Mazh’un Radhiyallahu ’anhum ajma’in, islam Abu Bakr menjadi panutan para tokoh ini, kesimpulannya, kalau Abu Bakr pertama masuk Islam dan menjadi contoh teladan, dalam hal ini tentu dialah orang yang paling berhak menyandang sifat Ini, jika demikian maka cocok sekali menjadi sebaik-baik manusia setelah Rasiulullah.[19] 
Lebih lanjut al-Razi memaparkan, kalau lebih awal masuk Islam seharusnya pahala lebih besar seperti sabda Rasulullah”Man sannasunnatan,,,,dst, setelah Abu Bakr banyak berjihad yang memetik hasil gemilang, diantaranya banyaknya para kibarsahabat yang masuk Islam juga seperti Usman, Talhah, Zubair, Sa’d Ibn Abi Waqas, Usman Ibn Maz’un dan AliRadiyallahu ‘anhum Ajma’in.  Ali berjihad di perang Uhud dan perang Ahzab untuk memerangi kaum kafir, jihadnya Abu Bakr untuk memperluas para pemeluk islam sedangkan jihad Ali ra untuk memerangi kaum kafir, jadi jihad dengan tujuan pertama yaitu untuk mengajak masuk Islam lebih afd}al, lebih lagi ketika melihat bahwa jihad Abu Bakr ketika Rasulullah  dalam keadaan saat lemah, sedangkan Ali berjihad pada perang Uhud dan perang Ahzab saat Islam sudah kuat, tentulah jihad saat lemah lebih afdol dibanding dengan jihad di masa islam sudah kuat.
Firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 10 : 
$tBur ö/ä3s9 žwr& (#qà)ÏÿZè? Îû È@Î6y «!$# ¬!ur ÛWºuŽÏB ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 Ÿw ÈqtGó¡o Oä3YÏB ô`¨B t,xÿRr& `ÏB È@ö6s% Ëx÷Gxÿø9$# Ÿ@tG»s%ur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNsàôãr& Zpy_uyŠ z`ÏiB tûïÏ%©!$# (#qà)xÿRr& .`ÏB ß÷èt/ (#qè=tG»s%ur 4 yxä.ur ytãur ª!$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÉÈ  
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, Padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid [57] : 10)

Berbagai macam tawaran alasan al-Razi untuk melegitimasi Imamah Abu Bakr ra, Berikut yang berisi tentang penyinggungan al-Razi tentang Abu Bakr ada di surat al-Nur ayat 22 :
Ÿwur È@s?ù'tƒ (#qä9'ré& È@ôÒxÿø9$# óOä3ZÏB Ïpyè¡¡9$#ur br& (#þqè?÷sムÍ<'ré& 4n1öà)ø9$# tûüÅ3»|¡yJø9$#ur šúï̍Éf»ygßJø9$#ur Îû È@Î6y «!$# ( (#qàÿ÷èuø9ur (#þqßsxÿóÁuø9ur 3 Ÿwr& tbq7ÏtéB br& tÏÿøótƒ ª!$# óOä3s9 3 ª!$#ur Öqàÿxî îLìÏm§ ÇËËÈ  
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nuur [24] : 22)
Dalam kajian ayat surat al-Nuur ini al-Razi memunculkan sembilan masalah, setelah menyajikan kajian dalam masalah pertama al-Razi pada masalah kedua memunculkan gagasan penafsiran sebagai berikut; Konsensus Para mufassir bahwa yang dimaksud Ulul Fadli  dalam ayat ini adalah Abu Bakr dengan alasan dia adalah sebaik-baik manusia setelah Rasulullah baik dari sisi dunianya atau sisi agama, tetapi kebaikan yang dilihat dari sisi dunia adalah tidak benar karena esensi pujian ini kepadanya  padahal pujian Allah karena kelebihan Duniawi tidak mungkin, sebab kalau demikian maka assa’ah adalah pengulangan, jelaslah yang dimaksud kelebihan disini adalah kelebihan dari sisi agama, al-Razi mengundang andaikata ada yang tidak setuju dengan konsensus para mufassirin tentang kekhususan ayat ini berkaitan dengan Abu Bakr, kami katakan kepada  setiap yang menelaah kitab-kitab tafsir dan Hadits akan tahu kekhususan ayat ini tentang Abu Bakr telah sampai kepada derajat Mutawatir, kalau menyanggah hal ini berarti menyanggah Hadis} mutawatir, ayat ini juga menunjukkan adanya orang yang terbaik setelah Rasulullah , telah menjadi kesepakatan umat  yang dimaksud adalah Abu Bakr atau Ali , kalau kami jelaskan bahwa kalau yang dimaksud bukan Ali tentu  Abu Bakr, ada dua jalan untuk meyakini ayat ini tidak menunjuk kepada Ali yaitu: 
Pertama, ayat sebelumnya membahas  tentang putri Abu Bakr. Kedua, Allah sifati dengan Ulissa’ah saat itu Ali ra tidak dari golongan Ulissa’ah,  selanjutnya al-Razi memberi sifat  Abu Bakr dengan sifat yang sangat tinggi yaitu: 
1.    Pemakaian kata Damir jamak (kata ganti nama untuk person lebih dari dua) pertanda ketinggian derajat dalam agama.
2.     Pemberian sifat Ulil Fadli  mutlak kepada beliau tanpa dikaitkan dengan orang lain.
3.    Pemberian Allah kepada Abu Bakar adalah pemberian yang lazim dan pantas.
4.    Pemakaian min pada منكم  untuk pembeda dari mukmin yang lain.
5.    Memungkinkan menarik makna Fadl kepada makna ketaatan.
6.    Sa’ah  adalah sifat kedermawanan dan pengorbanan.
7.    Kezaliman yang dilakukan oleh kerabat dianggap lebih kejam, kebaikan yang dibalas dengan kejelekan juga sangat kejam lebih lagi kalau di lakukan oleh keluarga, Kasus Mastah yanga telah menyakiti hati Abu Bakr tapi Allah memerintahkan Abu Bakr agar tidak putus dengan segala kebaikan terhadap orang yang menyakiti beliau, bukankah itu membutuhkan perjuangn besar? dan seterusnya, al-Razi memberikan tidak kurang dari 14 alasan dalam mengemukakan  kemuliaan Abu Bakr.[20]     






  



  
BAB III
            KESIMPULAN

Tafsir Mafatih al-Gaib, yang disusun oleh seorang multi ahli, dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan dipahami serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan pengarang tentang keadaan saat itu.
Tafsir Mafatih al-Gaib hadir di tengah-tengah kegelisahan dan kehausan umat terdahulu dan sekarang dalam memahami al-Qur’an dan kandungan-kandungan yang ada  di dalamnya. Al-Razi cukup mengakomodir perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, ahli Filsafat, theolog dan aliran mazhab lainnya beliau nyaris tidak melihat pendapat pribadi terhadap perbedaan pendapat ini tapi dengan menyajikan pendapat mufassir di atasnya, lebih lagi kepada pendapat para sahabat dan kemungkinan mengambil semuanya dengan argumentasi masing-masing.dan penulis meyakini prinsif al-Razi dengan pemahaman tidak ada kebenaran mutlak dalam setiap pendapat dan penafsiran terbukti setiap ujung paparan penafsirannya selalu diakhiri dengan kalimat والله اعلم بالصواب,  sangat relevan sekali kalau tafsir ini menjadi kajian lanjutan setelah tafsir-tafsir yang lain di pondok pesantren dan menjadi kitab kajian di perguruan tinggi Islam yang bukan hanya menjadi kitab Rujukan tetapi menjadi muatan kurikulum.




[1] http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/tafsir-mafatih-al-ghaib-karya-fakruddin.html
[2] http://basirun74.blogspot.com/2011/04/tafsir-mafatih-al-gaib-imam-al-razi.html
[3] Manna’ al-Qattan. mabahis...  hal. 375
[4] lihat Mu’jam al-Mufassirin min Sadr al-Islam wa hatta al-Asr al-Hadir oleh Adil Nuaihid (Bairut: Mu’assasah Nuaihid al-Taqafiyah.1988),jilid 1. hal. 35.
[5] Muhammad Husain al-Zahabi. Al-Tafsir Wa al-Mufassirun.(Kairo: Maktabah Wahbah. 2000), hal.207.
[6] Ibid.Azzahabi.Al-Tafsir Wa al-Mufassirun.h.208
[7] Lihat. Lamhat….hal. 287
[8] Fahd bin Abd Rahman bin Sulaiman al-Rumi. Buhus fi Ulum al-Tafsir wa Manahijih . (Kairo: Maktabah al-Taubah .1419. h), hal. 154
[9] Azzahabi.Al-Tafsir Wa al-Mufassirun .hal. 209.

[10] Oleh Muhammad Mansur dari al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah, oleh Abu Hasan al-Asy’ari dalam tulisannya di Antologi Studi Tafsir (Klasik dan Moderen), (Yogyakarta: Fak. Usuludin IAIN sunan kalijaga. 2002), hal. 95

[11] Lamhat….hal. 288
[12] Ibid,. Lamhat,. hal. 287.  dan lihat  Mafatih al-Gaib…jilid 1.hal. 8.   al-Razi membuktikan dengan tafsiran surat al-Fatihah saja sampai menjadi satu jilid dengan 300 halaman
[13] Lihat,. Lamhat…hal. 290
[14] Mustafa Dib Baga dan Muhyiddin Dib Musatawa. Al-Wadih Fi Ulum al-Qur’an.(Damsyik: Darul Ulum al-Islamiyah.1998), hal. 288.

[15] Muhammad Lutfi al-Sibag. Lamhat Fi Ulum al-Qur’an Wa Ittijahat al-Tafsir. (Bairut: al-Kutub al-Islami. 1990 ) hal. 289
[16] Al-Tafsir Wa al-Mufassirun..hal. 209
[17] Lamhat…hal.290
[18] Lihat  Mafatih al-Gaib ,(Bairut: Maktabah dar al-Fikr.1977),  juz 10, Jilid 12, hal. Dan lihat juga apa yanag disampaikan oleh al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf  ketika menafsirkan kalimat al Siddiqin  menurutnya mereka adalah semulia-mulia sahabat para Nabi yang lebih awal menyatakan keimananya seperti Abu Bakr ra dan mereka benar dalam perkataan dan perbuatan mereka,  al-Zamakhsyari , al-Kasysyaf ,(kairo: Maktabah al-Abikah.t.t), jilid 2.hal. 104

[19] Lihat  Mafatih al-Gaib , (Bairut: Maktabah dar al-Fikr.1977),  juz 10, Jilid 12, hal.dan lihat juga apa yanag disampaikan oleh al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf  ketika menafsirkan kalimat al-Siddiqin  menurutnya mereka adalah semulia-mulia sahabat para Nabi yang lebih awal menyatakan keimananya seperti Abu Bakr ra dan mereka benar dalam perkataan dan perbuatan mereka,  al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ,(kairo: Maktabah al-Abikah.t.t), jilid 2.hal. 104.
[20] Ibid,.Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Gaib, juz 23, hal. 189-191