Sabtu, 16 Mei 2015

SYARAT-SYARAT MUFASSIR DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN



SYARAT-SYARAT MUFASSIR
DALAM MENAFSIRKAN AL-QURAN

A.  Pendahuluan
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang bertujuan supaya umat atau masyarakat sekitar mengetahui apa makna-makna dan isi kandungan al-Qur’an.
Rasulullah SAW adalah mufassir pertama al-Qur’an dan merupakan sumber tafsir bi al-ma’tsur,[1] kemudian berlanjut kepada masa Sahabat, Tabiin, dan Tabiit-Tabiin (pengikut tabiin) yang mana sudah mulai semakin berkembangan seperti dalam hal pengkajian kandungan al-Qur’an dengan menciptakan kitab-kitab tafsir yang  merupakan kegiatan para ulama dalam mengkaji kandungan al-Qur’an secara lebih mendalam dari berbagai sisi keilmuan yang menghasilkan suatu kitab tafsir hasil karyanya.
Upaya menafsirkan al-Qur’an dengan benar merupakan pembukaan tentang seruan, risalah dan syariat Islam. Dengan menghadirkan gagasan yang dilontarkan para pakar dalam bentuk untuk kembali menelaah al-Qur’an dan tafsirnya. Salah satu indikator luapan perhatian untuk kembali bersandar kepada al-Qur’an (al-Ruju’ ila AlQur’an) dengan menggali ke-hidayahannya[2] berupa ilmu dan amaliyahnya.[3]
Mufasir adalah orang yang berkaryaa membuat kitab tafsir dan orang yang menjabarkan apa isi dalam kandungan al-Qur’an. Dengan begitu syakralnya al-Qur’an dan kehati-hatian para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an maka di bentuklah suatu aturan, syarat-syarat, kaidah-kaidah dan apa saja kretaria mufasir dalam membentuk/membuat suatu tafsir, sehingga menimbulkan tafsir tersebut layak dijadikan sumber acuan atau tidak.
Begitu pital dan sangat menggelitiknya permasalahan ini sehingga pemakalah ingin lebih meneliti bagaimana syarat-syarat seorang mufasir dalam membuat suatu karyanya sehingga mempengaruhi makna dan hukum yang di ungkapkanya. Kemudian penulis mencurahkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Syarat-Syarat Mufassir Dalam Menafsirkan Al-Qur’an.

B.  Definisi Tafsir Dan Mufassir
Tafsir menurut etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”.[4] Lafal dengan makna ini yang mana terdapat di dalam al-Quran, yaitu :
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.
       Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti
(الإبانةوالكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[5]
       Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه

“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.”[6]
Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد. 
“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[7]
Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:
 “Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta‘ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diartikan bahwa Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang bertujuan supaya umat atau masyarakat sekitar mengetahui apa makna-makna isi kandungan al-Qur’an.

Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang: 
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.”[8]

Setelah begitu banyak definisi-definisi tentang Tafsir dan Mufasir, pemakalah mencoba berpendapat bahwa tafsir merupakan bentuk suatu aktifitas atau karya (seseorang) dalam menuangkan insfirasinya dari berbagai pengetahuan di dalam ilmu tafsir dalam menuangkan maksud dan makna isi kandungan al-Qur’an, sedangkan Mufasir nama sebutan orang yang mengarang tafsir tersebut.
           
C.  SYARAT-SYARAT MUFASSIR
1.  Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu  dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk menafsirkan al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
   Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[9] Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
b.    Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  
c.    Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
d.    Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
e.     Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
f.     Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
     Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) al-Quran.
g.    Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
h.    Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
i.       Ushul fiqih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth
j.        Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
k.    An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
l.        Fiqih.
m.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
n.    Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
       
            Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra’yi (akal) yang dilarang.[10] Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra’yi (akal) yang dilarang.
            Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[11], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1.    Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam. 
2.    Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.    
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
   Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan al-Quran. Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra’yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsîr bil ma’tsûr tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.
a). Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
Ayat al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain.
Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta‘ala dalam surah Al-Fatihah: 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
      
b). Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berasal dari pemahamannya terhadap al-Quran. Allah ta‘ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS An-Nisa’: 105)[12] 

Contoh penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah di antaranya adalah terdapat pada penafsiran kata azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta‘ala,
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‘am : 82)
Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’, para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman), ‘Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar’. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik.”[13]

c). Mengambil pendapat para sahabat
Abu Abdurrahman As-Salma, seorang tabi’in yang mulia, meriwayatkan dari para senior penghapal al-Quran dari sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari al-Quran, ilmu, dan amal secara keseluruhan.”[14] 
Diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas‘ud, bahwa ia berkata, “Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar mereka.”[15]  
Para sahabat menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, lalu dengan As-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, mereka melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab tulen, menyaksikan turunnya al-Quran, dan menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, sementara al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir sahabat dan lebih memprioritaskannya dari pada tafsir generasi sesudahnya karena pada diri mereka terpenuhi sarana-sarana untuk melakukan ijtihad sebagai berikut:
Pertama, mereka mengetahui maksud dan rahasia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab.  
Kedua, mereka mengetahui adat dan karakter bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan perbaikan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta’ala, (إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ) “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran” (QS At-Taubah: 37) dan (وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا) “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya” (QS Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat dipahami oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah. 
Ketiga, mereka mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya al-Quran al-Karim. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin.   
Keempat, mereka mengetahui asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena mereka menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang disebutkan Al-Quran. Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullâh ta‘âlâ mengatakan, ‘Mengetahui asbâb an-nuzûl dapat membantu untuk memahami suatu ayat karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap musabab.’[16]  
Kelima, mereka memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah perjalanan hidup para sahabat radhiyallâhu ‘anhum. Dengan faktor-faktor tersebut, para sahabat banyak memahami ayat al-Quran Al-Karim yang tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.[17]    
        Contoh tafsir sahabat di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ta‘ala,
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang rapat, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-Anbiya‘: 30)

Ibnu Abbas mengatakan, “Langit dahulu rapat, yaitu tidak menurunkan hujan. Bumi dahulu rapat, yaitu tidak mengeluarkan tumbuhan. Lalu Allah memisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuhan.” Seseorang kemudian datang kepada Ibnu Umar radhiyallâh ‘anhumâ dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata, “Aku katakan, mengapa aku harus heran terhadap keberanian Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Quran. Sekarang engkau telah mengetahui bahwa ia dianugerahi ilmu.” Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Al-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnya dalam Al-Itqân.[18] 



d). Mengambil pendapat para kibâr (senior) tabi’in.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukil dari tabi‘in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi‘in termasuk tafsir bil ma’tsûr karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat.
Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi‘in. Ia mengatakan, “Ilmu paling utama dalam tafsir al-Quran, makna hadits, serta pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar yang berasal dari sahabat, tabi‘in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani.”[19]

   Setelah menempuh manhaj tafsir bil ma’tsûr terlebih dahulu, barulah seorang mufassir diperbolehkan menggunakan ra’yunya dalam menafsirkan al-Quran dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab, menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma’tsûr akan berhenti pada makna-makna, pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada.[20]
Sementara itu, tafsir bir ra’yi yang sesuai dengan kaidah itulah yang justru berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Karena tafsir yang demikian yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum, dan problematika kehidupan lainnya.[21]   
             


2.  Aspek Kepribadian 
          Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian lainnya. Saya katakan, sebagaimana firman Allah SWT :
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”[22]
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, para ulama yang berkecimbung dibidang tafsir mengungkapkan pendapatnya, diantaranya :
a.    Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 
1.      Akidah yang lurus
2.    Terbebas dari hawa nafsu
3.    Niat yang baik
4.    Akhlak yang baik
5.    Tawadhu‘ dan lemah lembut
6.      Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.    Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8.    Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9.      Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.[23]

b.    Syaikh Manna‘ Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.    Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
2.    Jujur dan teliti dalam penukilan
3.    Berjiwa mulia
4.    Berani dalam menyampaikan kebenaran
5.    Berpenampilan simpatik
6.    Berbicara tenang dan mantap
7.    Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
8.    Siap dan metodologis dalam membuat langkah-langkah penafsiran[24]

c. Syaikh Thahir Mahmud Muhammad Ya‘kub juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan sifat-sifat mufassir. Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah sebagai berikut : 
1. Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih
2. Maksud yang benar dan niat yang ikhlas
3. Mentadabburi dan mengamalkan al-Quran secara mendalam
4. Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan al-Quran Al-Karim dan tafsirnya, seperti ilmu qiraah, asbâb an-nuzûl, nâsikh dan mansûkh 
5. Bersandar pada naql (penukilan) yang benar
6. Mengetahui bahasa Arab dan uslubnya
7.    Tidak segera menafsirkan berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan berdasarkan atsar
8.    Ketika terdapat beragam makna i‘rab, wajib memilih makna yang sesuai dengan atsar yang shahih sehingga i‘rab mengikuti atsar
9.    Mengetahui kaidah-kaidah yang dikemukakan salafush shalih untuk memahami dan menafsirkan al-Quran
Mengetahui kaidah-kaidah tarjîh menurut para mufassir. [25] 
Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan al-Quran:
1.    Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2.    Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.  
3.    Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsân).
4.    Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara. 
5.    Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169)[26]

D.  Kesimpulan
     Dari uraian di atas, sampailah kita pada satu kesimpulan bahwa tafsir al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan Prof. Syed Naquib Al-Attas, di dalam tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subjektif atau yang berdasarkan hanya pada ide-ide relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.
     Menafsirkan al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874]).




[1] Al-Marhalah al-Ula, Kurun Istimewa di Mana Lahirnya Penafsirqn Resmi yang Langsung Ditangani Rasulullah Saw. Lihat Muhammad Husai al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I (Mesir: Dar al-Kutub al Hadis, 1976), h. 10. Lihat Jalal al-Din Abd. Al-Rahman al-Suyuti, Al-Tafsir fi Ulum al-Qur’an II Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 420-422.

[2] Diperlukannya penyusunan tafsir Islam murni yang sesuai dengan tuntutan zaman, lihat Nash Abu Zayd, Rethinking the Qur’an to Wards a Humanistic (Amsterdam: Humanstic Press, 2004),

 3. Lihat juga Zahiruddin Baidhawi, al-Ruju’ Ila al-Qur’an, dari kekebalan Fondasionalisme Menuju Pencerahan Hermeneutis” dalam Pradana Boy-M. Hifni Faig (Ed), Kembali ke Al-Qur’an Menafsir Makna Zaman (Malang: UMM Press, 2004), 52.

[3] Dowload-1. Penelitian Dudung 53-67. Pdf –Adobe Reader.

[4] Rosihon anwar, Ilmu Tafsir (Bandung : Pustaka Setia, 2005), 141.
[5] Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. ‘Ilmu At-Tafsir. (Kairo: Dâr Al-Ma’ârif), 5.

[6] Ar-Rumy, Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman. 1419 H. Buhûts fî Ushûl At-Tafsîr wa Manâhijuhu. KSA: Maktabah At-Taubah. 8. Dinukil dari Al-Burhân juz I. 13.  
[7] Adz-Dzahabi. ‘Ilmu At-Tafsir.. 6
[8] . Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[9] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[10] Macam-macam tafsir bi al-Ra’yi terbagi dua, diantaranya : pertama, Ra’yi yang Terpuji, ialah tafsir al-Qur’an yang didasari oleh kaidah-kaidah  penafsiran. Sedangkan yang ke dua Ra’yi yang Tercela, suatu penafsiran yang tidak memakai kaidah-kaidah penafsiran dan hanya semata-mata keinginan seseorang dengan nafsunya sendiri dalam menafsirkan al-Qur’an. Thameem Ushama diterjemahkan oleh Hasan Basri dan Amroeni, Metodologi Tafsir Al-Qur’an (Jakarta : Riora Cipta, 2000), 15.

[11] Syurûth Al-Mufassir waÂdâbuhudalamhttp://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245
[12] Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad. 1425 H. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr; Dirâsah Ta’shîliyyah. Juz I. Riyadh: Dâr Ibn Al-Jauziyyah, 55.
[13] Abu Syuhbah, Muhammad. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât fî Kutub At-Tafsîr. (KSA: Maktabah As-Sunnah, . 1408 H), 50-51
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibnu Taimiyah. Muqaddimah fî Ushûl At-Tafsîr....., 48.
[17] Adz-Dzahabi,At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn.., 45-46
[18] Abu Syuhbah, Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû‘ât.., 55.
[19] Ya‘qub, Thahir. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr..,. 60.

[20] Problematika tafsir bil ma’tsûr menurut para ulama adalah banyaknya riwayat yang lemah dan palsu.

[21] Al-Kattani, Abdul Hayyie. “Al-Quran dan Tafsir” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal. 101.
[22] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[23]Adh-Dhawy,Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.

[24] Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan, Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.), 417-418.
[25] Ya‘qub, Thahir. Asbâb Al-Khatha’ fî At-Tafsîr..., 73-74. 
[26] Adz-Dzahabi, Ilmu At-Tafsir..., 58