Rabu, 13 Januari 2016

Maqashid Al-Shari'ah

MADKHAL ILA MAQASID AL-SHARI’AH
(Masuknya Maqashid Al-Shari'ah)

A. Pendahuluan
Al-Qur’an bagaikan matahari yang menyinari terangnya siang, bagaikan bulan yang menyinari gelapnya malam, dan udara yang memberikan kehidupan bagi seluruh Alam. Keindahan al-Qur’an merupakan anugrah dari Allah dan manfaatnya sangat luar biasa tidak terbatas oleh waktu dan zaman, salah satunya tentang hukum kehidupan.
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid al-shari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-shari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-shari'ah sebagai sesuatu yang mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat.
Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqashid al-Shari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Perlu diketahui bahwa Allah sebagai shari' (yang menetapkan syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:127), menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.[1] Syari'at semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan ketentuan syari'at, sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi umat Islam di era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius berkaitan dengan hukum Islam.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengetahuan tentang  Maqashid al-Shari'ah dalam kajian hukum Islam merupakan yang sangat penting, maka dengan beberapa kegelisahan yang timbul dari kutipan di atas, penulis mencoba mencurahkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Madkhal Ila Maqasid al-Shari’ah (Masuknya Maqashid al-Shari'ah).

B. Pengertian dan Kandungan Maqashid al-Shari'ah
Secara bahasa Maqashid al-Shari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Shari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Shari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan Maqashid Shari’ah menurut terminology ada beberapa pendapat, diantaranya :
Menurut Ibnu al-Qayyim Al Jauziyah, menegaskan bahawa shariah itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[2]
Menurut Ibnu Asyur, berpendapat bahwa maqashid adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum  yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu maqashid umum dan maqashid khusus. Maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh shariah untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[3]
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) mendefinisikan maqashid shari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.[4]
Jadi, dari definisi di atas penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Shari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
 Istilah maqashid al-shari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam  mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.[5]

C. Sejarah Perkembangan Maqashid Shari’ah
Maqashid Shari’ah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada sejak nash al-Qur’an diturunkan dan hadith disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Karena maqashid shari’ah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat-Nya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhluk-Nya.
Menurut Raisuni, barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya Al-Shalatu wa Maqashiduha. Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid shari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum Al-Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.[6]
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer Al-Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al-nafs dan hifzhu al-mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam Syafi’i, muncul Al-Hakim Al-Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad Al-Qaffal Al-Kabir (w. 365 H) dalam kitabnya Mahasinu Al-Shari’ah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia.
 Kemudian datang setelahnya Al-Syaikh Al-Shaduq (w. 381 H) dengan kitabnya Ilalu Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama Syi’ah, dan Al-‘Amiri (w. 381 H) dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi Al-Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dharuriyyat Al-Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid shari’ah.
Setelah itu datang Imam Al-Haramain (w. 478 H) dalam kitabnya Al- Burhan yang menyinggung tentang dharuriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Al- Ghazali (w. 505 H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid shari’ah dari dua sisi al-wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al-‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian Imam Al-Razi (w. 606 H), lalu Imam Al-Amidi (w. 631 H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salam (w. 660 H), kemudian Al-Qarafi (w. 684 H), Al-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H), baru setelah itu disusul oleh Imam Al-Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syari’ah, Imam Al- Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh Imam Al-Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya Al-Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.[7]
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan Imam Al-Syatibi dalam ilmu maqashid shari’ah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid shari’ah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) pada akhirnya mempromosikan maqashid shari’ah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[8]
Berdasarkan pelacakan historis, dapat diketahui bahwa perumus pertama konsep maqashid shari’ah adalah Abu Mansur Al-Maturidi. Sedangkan perumus komposisi dan stratifikasi maqashid shari’ah pertama kali disampaikan oleh Imam Al-Haramain Al-Juwaini sebagaimana yang termaksud dalam kitabnya, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh. Beliau sendiri tidak menyebutnya sebagai maqashid shari’ah, tetapi lebih pada kajian analisis‘illat-‘illat hukum. Memasuki periode Ibnu Taimiyyah, nampaknya konsep maqashid shari’ah masih belum merupakan konsep yang sistemik walau telah mempertegas bahwa kemaslahatan menjadi tujuan akhir suatu hukum. Oleh karena itu, konsep atau teori maqashid shari’ah secara sistemik, adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Al-Syathibi dalam karya monumentalnya, Al- Muwafaqat fi Ushul Al-Shari’ah.[9]


D. Macam-macam dan Pembagian Maqashid as-Shari’ah
Menurut al-Ghazali, mashlahat menyangkut lima hal berikut.
هذه المصالح الخمس حفظها واقع فى رتبة الضروريات فهو اقوى المراتب فى المصالح ومثاله قضاء الشرع بقتل الكافر المضل وعقوبة المبتدع الداعي الى بدعته. فإن هذا يفوت على الخلق دينهم وقضاؤه بإجاب القصاص إذبه خفظ النفوس وإيجاب الحد للشرب إذبه حفظ العقول التى هي ملاك التكليف وإيجاب حد الزنا إذبه حفظ النسل وإيجاب زجر النصاب والسراق إذبه يحصل حفظ الاموال التي هي معاش الناس وهم مضطرون اليها
“Maslahat-maslahat yang lima ini memeliharanya terletak dalam martabat dhoruriyat. Ialah sekuat-kuat martabat kemaslahata, contohnya ialah: syara’ menetapkan supaya orang kafir yang menyesatkan orang lain dibunuh, demikian pula penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya karena yang demikian ini merusakkan keagamaan terhadap masyarakat. Dan seperti syara’ menetapkan kewajiban qishas terhadap pembunuhan untuk memelihara jiwa dan seperti mewajibkan hukum minuman memabukkan karena dengan hukuman itulah dipelihara akal sebagai sendi taklif. Dan seperti mewajibkan hukuman zina karena dengan hukuman itulah terpelihara keturunan dan mewajibkan kita mendera pembongkar kuburan dan pencuri karena dengan dialah terpelihara harta yang menjadi kehajatan hidup manusia sedang mereka memerlukannya.”
Maqâshid al-sharî’ah memiliki kategori dan peringkat yang tidak sama. Al-Syâthibiy membagi maqâshid ke dalam tiga kategori, yakni dlarûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah. Pengkategorian maqâshid tersebut didasarkan pada seberapa besar peran dan fungsi suatu mashlahah bagi kehidupan makhluk. Jika suatu bentuk mashlahah memiliki fungsi yang sangat besar bagi makhluk, yang mana jika bentuk mashlahah tersebut tidak terpenuhi maka kemaslahatan makhluk di dunia tidak dapat berjalan stabil (lam tajri mashâlih al-dunyâ ’alâ istiqâmah) atau terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah) dan kemaslahatan di akhirat yakni keselamatan dari siksa neraka tidak tercapai, maka tujuan tersebut masuk dalam kategori maqâshid dlarûriyyah.[10]
Maqâshid dlarûriyyah meliputi pemeliharaan terhadap agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasab), dan harta (mâl). Namun tidak selamanya lima Maqashid tersebut masuk dalam kategori dlarûriyyah, adakalanya bersifat hâjiyyah atau tahsîniyyah. Berikut klasifikasi lima Maqashid ketika dlarûriyyah, hâjiyyah, maupun tahsîniyyah.
1). Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a). Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
b). Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c). Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2). Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat :
a). Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b). Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c). Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.
3). Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b). Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan (umum).
c). Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4). Memelihara Keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga yaitu:
a). Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b).  Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c). Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. 
5). Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b). Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c). Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.[11]

E. Syarat-syarat  Berhujjah Dengan Maqashid Al-Shari’ah 
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-sharî’ah haruslah memenuhi empat macam kriteria [12]:
1). Maqashid Shari’ah Haruslah Tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum bisa direkomendasikan sebagai tujuan syari’at apabila dapat dipastikan keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang mendekati kepastian.
2). Maqashid Shari’ah Haruslah Zhahir ( ظاهر )
 Dalam artian bahwa para ulama’ tidak mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan syari’at (‘illat). Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan, tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.
3). Maqashid Shari’ah Haruslah Mundlabith ( منضبط )
 Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar yang jelas (jami’ mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannyakhamr.
4). Maqashid Shar’ah Haruslah Muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah karena perbedaan atau perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan kemampuan atas nafkah yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah. Dengan demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa dinyatakan sebagai maqashid shari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya berdasarkan wahm(kemungkinan tanpa dasar) atau takhayyul (imajinasi) dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-shari’ah.[13]
Menurut as-Syathibi, maslahah sebagai maqasid shariah harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari’ dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.[14]
F.  Kaidah-kaidah Umum yang Merupakan Turunan dari Maqashid Al- Shari’ah
Berdasarkan asas maslahah tersebut diatas, maka para ulama beristimbath sehingga menghasilkan turunan  kaidah-kaidah ushuliyah, diantaranya :
1).  الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat dapat membolehkan perkara yang dilarang.
Contohnya : Memakan sesuatu yang haram karena dharurat.

2). الضرر يزال
Kemudharatan harus dihilangkan.
Contoh: khiyar (pilihan) dalam mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan dalam barang tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.

3). الضرورات تقدر بقدرها
Kondisi darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh : Mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada menyelamatkan jiwa saja, bukan dijadikan kebutuhan pokok.

4). المشقة تجلب التيسير
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Contoh : Shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.

5). يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Contoh : Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk untuk minum khamar, karena jika ia tidak minum khamar maka ia akan membunuh banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.

6)درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Contoh : larangan ekspor barang keluar negeri karena kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut pada kondisi sulit.[15]


G. Peran Maqashid Al-Shari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam
Pengetahuan tentang Maqashid Shari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh al-Qur’an dan sunnah secara kajian kebahasaan.[16]
Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.
Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-shari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis (sejarah), sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya.
Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-shari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash shari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-shari'ah (tujuan hukum).[17] Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili (1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia shari'ah.[18]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid shari’ahQiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid shari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar yang terdapat pada Surah al-Maidah ayat 90 :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[19], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.[20]

Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadith yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).[21]
Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam al-Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur'an, di antaranya dalam surat al-Anbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus :
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam".[22]

Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.
Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.
Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjangjenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-shari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum.
Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.
2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering diistilahkan dengan dar' al-mafasid.

Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.

H. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa Maqashid al-Shari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.
Adapun menurut As-Syathibi maqashid al-shari'ah tersusunan dari beberapa tingkatan, diantaranya:
a) Hifdz ad-Din (memelihara agama) memiliki tiga tingkatan
b) Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)
c) Hifdz al-Aql (memelihara akal)
d) Hifdz an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)
e) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda).
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, Syarat-syarat  Berhujjah dengan Maqashid al Syari’ah harus memenuhi empat macam kriteria, diantanarnya :
1). Maqashid Syari’ah Haruslah Tsabit, (ثابت )
2). Maqashid Syari’ah Haruslah Zhahir ( ظاهر )
3). Maqashid Syari’ah Haruslah Mundlabith ( منضبط )
4). Maqashid Syar’ah Haruslah Muththarid ( منطرد )

DAFTAR PUSTAKA
A.  Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2010.

Al-Zuhaili Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Al-Jauziyyah Ibn Qayyim, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996.

Effendi Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Gumilar Jajang, dkk, Metode Penetapan Hukum Melalui Maqashid Al-Syari’ah. Semarang, Artikel Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013.

Jumantoro Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2009.

Khallaf Abd al-Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da'wah al- Islamiyah, 1968.

Khalid Mas’ud Muhammad, ter. Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya : Al Ikhlas, 1995.

Nursidin Ghilman, Konstruksi Pemikiran Maqashid Syari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini ( Kajian Sosio-Historis ), Semarang : Sinopsis Tesis Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2012.

Thâhir Muhammad bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Sharî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr al-Nafâ’is, 2000.

Umam Khairul, Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Yahya Acmad, Maqasid Syariah, http://.blogspot.co.id. 01, 2014.




[1] Khairul Umam, Ushul Fiqih (Bandung, Pustaka Setia, 2001), 127.
[2] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), jilid 3,h. 37.
[3] Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Sharî’ah al-Islâmiyyah (Amman: Dâr al-Nafâ’is, 200), 190-194.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 1017.
[5] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta : Amzah, 2009), 196.
[6] Ghilman Nursidin, Konstruksi Pemikiran Maqashid Shari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini ( Kajian Sosio-Historis ), (Semarang : Sinopsis Tesis Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2012), 9.

[7] Ibid,... 10.
[8] Ibid,.
[9] Al-Muwafaqat bermakna kompromistik antara dua pandangan ulama besar, Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah. Sebelum bernama Al-Muwafaqat, kitab asalnya bernama Al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif. Berdasarkan masukan dari berbagai ulama sezamannya dan hasil mimpinya, akhirnya ia merubah nama karyanya dengan Al-Muwafaqat.
[10] A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih  (Jakarta: Kencana, 2010), Cet III, 4.

[11] Acmad Yahya, Maqasid Shariah, http://.blogspot.co.id. 01, 2014.
[12] Wahbah, Ushul.., juz II, h. 1047.

[13] Ibid,.
[14] Muhammad Khalid Mas’ud, ter. Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Surabaya : Al Ikhlas, 1995), 225.
[15] Kitab Al Wajiz fi Ushulil fiqh,... 383. Lihat juga fauzan Abuna, Maqashid Shariah, Http : //. Blogspot .Co. Id. 05, 2013.
[16] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 237.      
[17] Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da'wah al- Islamiyah, 1968), 198.
[18] Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh,........ 1017.
[19]  Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[20]   Surah al-Maidah ayat 90.
[21]  Jajang Gumilar, dkk, Metode Penetapan Hukum Melalui Maqashid Al-Shari’ah (Semarang, Artikel Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013).
[22] Surah Al-Anbiya' Ayat 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar