“HERMENEUTIK DAN KRITIK BIBLE ”
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Ujian Akhir Sememter Matakuliah
“ Hermeneutika
”
Dosen
Pengampu:
Dr. Imam
Annas Muslihin, M.HI
Dr.
Wahidul Anam, M.Ag
Oleh:
Alam
Tarlam
NIM :
922.001.14.010
PROGRAM PASCASARJANA
STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2014 / 2015
HERMENEUTIK DAN KRITIK BIBLE
ABSTRAK
Bible merupakan
salah satu kitab suci tertua di dunia digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Bibel sebagai awal
mula kajian hermeneutik untuk memahami sebuah teks, tuntutan realitas pembacaan teks era sekarang
meniscayakan pengayaan metodologis, terutama pada teks-teks sakral semisal
kitab suci keagamaan.
Dalam
konteks ini, para pemikir Islam di bidang Tafsir al-Qur’an mencoba mengkaji
Hermeneutika, suatu cabang ilmu menafsirkan teks yang tidak lagi memunginkan
dikonfirmasi kepada pencipta/penulisnya. Sebagaimana kebenaran relatif yang
dikandung oleh ta’wil
(alegoric) yang dikenal
dalam tafsir al-Qur’an klasik, Hermeneutika juga menyuguhkan produk analisis
yang mengandung kebenaran relatif. Itulah sebabnya, Hermeneutika membutuhkan
“rukun” atau persyaratan agar produk analisisnya sedekat mungkin kepada maksud
pencipta teks.
Melalui
analisis filsafat bahasa, makalah ini mencoba memberikan gambaran umum
bagaimana hermeneutika bekerja sebagai suatu pendekatan dalam pengkajian Bible.
Berdasarkan analisis tersebut ditemukan bahwa Hermeneutik dan Bibel adalah satu kesatuan bahasan yang sangat
berhubungan, karena giron atau kajian hermeneutika yaitu mengkaji pemahaman
teks temasuk Bible.
A.
Pendahuluan
Hermeneutika adalah suatu teori tentang interpretasi makna atau suatu ilmu
untuk memahami suatu makna. Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara
praktis digunakan untuk sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan.[1]
Istilah hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM).
Dalam Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya
“menunjukkan sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika
dengan otoritas kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan
hermeneutika sebagai ilmu interpretasi alegoris.[2]
Makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang
terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas
tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi
hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks
secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast
(1778-1841).
Bible merupakan
salah satu kitab suci tertua di dunia. Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan
Kristen. Keduanya meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah berbagi
irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin : Biblia, artinya ‘buku
kecil’ : Yunani : Biblos) biasanya dipahami sebagai kitab suci kaum Kristen dan
Yahudi.[3]
Ada suatu keganjilan
dan kegelisahan pemakalah dalam suatu ungkapan, bahwa Bibel sebagai awal mula
kajian hermeneutik untuk memahami sebuah teks. Hal ini masih dipertanyakan karena
begitu banyak bahasan dan tanda tanya besar dari misteri Bibel sebagai salah
satu ilmu pembahasan hermeneutik, terutama banyak sekali masalah-masalah dan
kritik-kritik yang berhubungan dengan Bible. Oleh sebab itu penulis ingin
menuangkannya dalam sebuah makalah yang berjudul : Hermeneutik dan Kritik
Bible.
B.
Pengrtian
Hermeneutik dan Bible
1.
Pengrtian
Hermeneutik
Hermeneutika secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi
makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuien yang
bermakna menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Jika ditelusuri berasal dari mitologi
Yunani, Hermes, dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan
pesan kepada manusia, dimana Hermes harus mampu menginterpretasikan
menerjemahkan pesan yang dibawa ke dalam bahasa yang digunakan manusia. Dengan demikian,
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni
menginterpretasikan sebuah teks[4], melalui
percobaan.[5]
Ada juga yang
mengatakan, hermeneutika adalah satu disiplin yang berkepentingan dengan upaya
memahami makna atau arti dan maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal
tersebut, masalah apa makna sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa
kita pahami secara jelas atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga
diperlukan penafsiran untuk menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan
gambling.[6]
Plato memilih sebutan techne
hermeneias, aristoteles menyebut “peri hermeneutick”, yang
digunakan Aristoteles, dimaksudkan olehnya sebagai logika penafsiran, sementara
Plato yang menggunakan istilah techne hermeneias adalah seni
membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas.
Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan
pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Schleiermacher
(1990:93), menggunakan Hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari
sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti Hermeneutika baginya adalah untuk
memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik
dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even
better than its creator).[7]
Dari beberapa
urayan di atas, pemakalah mencoba berpendapat bahwa Hermeneutik adalah sebuah
bidang ilmu untuk memahami yang gelap menjadi terang, yang hitam menjadi putih,
dan yang tidak tau menjadi tau terutama dalam memahami sebuah makna teks.
2.
Pengertian
Bible
Kata Bible
berasal dari bahasa yunani yang diserap kedalam beberapa bahasa dunia melalui
bahasa latin atau Prancis. Kata ini merupakan bentuk plural dari kata bibilon
atau biblos yang berarti buku. Dalam bentuk ini, kata bible (bengan “b”
kecil) berarti juga perpustakaan atau koleksi buku. Makna lain dari kata bible
adalah buku yang memiliki otoritas atau karya sastra yang unggul, batu kecil
yang suci atau mesin penggiling batu.
Sedangkan Bible
(dengan “B” besar) berarti buku yang berisi catatan atau tulisan suci dari
agama-agama, sehingga sering juga disebut dengan holy Books atau Holy Writings.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa al-Qur’an adalah Bible kaum Muslimin. Akan
tetapi ketika disebut The Bible, maka yang dimaksud khusus, yaitu menunjuk pada
buku yang diterima debagai kitab suci Kristiani. The Bible bukan merupakan buku
tunggal tetapi merupakan koleksi dari sejumlah buku dan surat. Bible dibagi dua
bagian utama. Bagian pertama merupakan bagian terbesar disebut perjanjian lama.
Bagian kedua dan merupakan bagian kecil disebut perjanjian baru.[8]
C. Hermeneutika
Sebagai Suatu Pendekatan.
1. Wilayah
Pendekatan Hermeneutika.
Sebagaimana
penjelasan sebelumnya, sasaran operasiona hermeneutika sebenarnya selalu berhubungan dengan proses
pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation) dan
penerjemahan (translation).[9]
Karena itu, pada dasarnya wilayah yang dapat didekati dengan hermeneutika
adalah teks yang tertulis. Tapi kemudian muncul persoalan ketika pemahaman
dilakukan pada teks tanpa tuan, apakah pemahaman hanya terbatas pada teks yang
nampak atau mesti melibatkan aspek psioko-histiris penulisnya.
Di sinilah
muncul dua aliran mazhab, yaitu mazhab hermeneutika transendental dan
historispsikologis. Pertama berpandangan bahwa untuk menemukan sebuah kebenaran
dalam teks tidak harus mengaitkan dengan pengarangnya karena sebuah kebenaran
bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks. Kedua berpandangan bahwa teks adalah eksposisi
eksternal dan temporal semata dari pikiran pengarangnya, sementara kebenaran
yang hendak disampaikan tidak mungkin terwadahi secara representatif dalam
teks. Mazhab inilah yang diperjuangkan oleh Schleiermacher dengan teorinya gramatical
undrtanding (pemahaman gramatikal) dan psychological understanding (pemahaman
psikologis).[10]
Tapi dalam
perkembangan selanjutnya, wilayah hermeneutika tidak lagi terbatas pada dua
mazhab di atas, akan tetapi telah diintegrasikan dalam berbagai disiplin ilmu.
Para ilmuan seperti sosiolog, antropolog, ekonom, sejarahwan, teolog, filosof
dan para sarjana agama menggunakan hermeneutika dalam disiplin ilmunya.
Maka lahirlah,
misalnya pertama, teori baru tentang perilaku manusia (human behavior)
dalam ilmu jiwa yang dipahami sebagai pengaruh dan manifestasi perasaan akibat
intres sistem klas dalam masyarakat. Kedua, pengembangan epistemilogis
atas filsafat bahasa yang mengklaim bahwa apa yang disebut dengan “realitas
kultural” sebenarnya adalah sebuah fungsi struktur bahasa yang didasarkan pada
pengalaman. Ketiga, argumentasi tertinggi di kalangan filosof semisal
Ludwig Wittengstein dan Martin Heidegger, bahwa semua pengalaman manusia pada
dasarnya adalah sebuah penefsiran. Bahkan, hermeneutika juga digunakan dalam sosiologi
interpretatif.[11]
Dengan
demikian, semakin meluasnya wilayah pendekatan hermeneutika, maka klasifikasi
studi hermeneutika juga menjadi terbagi, yaitu :
a. Exegesis (Tafsir
atas Bible).
b. Philology (interpretasi atas berbagai
teks sastra kuno).
c. Technical Hermeneutics (interpretasi atas penggunaan dan
pengembangan kaedah-kaedah bahasa).
d. Philosophical
Hermeneutics (interpretasi atas sebuah pemahaman esensial).
e. Social
Hermeneutics (interpretasi atas perilaku manusia baik individu maupun sosial)[12]
Nampak dengan
jelas bahwa meskipun pada awalnya wilayah operasional hermeneutika terbatas
pada teks-teks kitab suci semata, tetapi pada perkembangan selanjutnya
hermeneutika telah dibawa memesuki wilayahwilayah lain dan ternyata mampu
diaplikasikan secara ilmiah.
2.
Langkah-Langkah
Pendekatan Hermeneutika.
Dibandingkan
dengan metode fenomenologi yang mencoba mengungkapkan dan mendiskripsikan
hakekat agama, maka metode hermeneutika mencoba memahami kebudayaan melalui
interpretasi. Karena pada mulanya metode ini diterapkan untuk
menginterpretasikan teks-teks keagamaan, maka tidak heran jika tradisi
tekstualitas masih tetap melekat, dalam arti masih mendudukan teks sebagai
perhatian sentral. Sehingga langkah-langkah yang perlu diikuti dalam melakukan
penelitian dengan pendekatan hermeneutik adalah sebagai berikut :
a.
Telaah
Atas Hakekat Teks.
Di dalam
hermeneutika, teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari
pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan
yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu di ciptakan. Karena wujud
teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa, maka yang menjadi pusat
perhatiannya adalahhakekat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat
komunikasi, alat menyempaikan sesuatu. Sebagai akibatnya, terdapat hubungan
antara ‘alat penyampaian’ dan ‘apa yang disampaikan’. Tujuan dari metode ini
adalah mengerti tentang apa yang disampaikan dengan cara menginterpretasikan
alat penyampaiannya, yaitu teks atau bahasa tulis.
Dengan
demikian, kemandirian teks yang dimaksud sebelumnya adalah kemandirian dalam
semantik, yaitu interpretasi yang dilakukan harus melalui pendekatan sematik
untuk mengerti pesan yang disampaikan oleh teks. Selain semantik, semiotik juga
sering menjadi metode pendukung dalam hermeneutika; yaitu melihat teks sebagai
sebuah tanda yang harus dimaknai.
b.
Proses
Apresiasi.
Proses ini,
sesungguhnya adalah bentuk ketidakpuasan atas kebenaran tekstual. Karena itu,
proses ini mencoba mengapresiasikan secara historis perkembangan selanjutnya
hermeneutika telah dibawa memesuki wilayahwilayah lain dan ternyata mampu
diaplikasikan secara ilmiah.
Penulis atau
pengarang teks. Menurut Dilthey, sebuah teks mesti diproyeksikan kebelakang
dengan melihat tiga hal: a). Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku
sejarah yang berkaitan dengan teks. b). Memahami makna aktivitas mereka pada
hal yang berkaitan langsung dengan teks. c). Menilai peristiwa tersebut
berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat teks tercipta.[13]
Dengan
demikian, seorang pembaca atau peneliti tidak dibiarkan tenggelam dalam lautan
teks, tetapi juga harus menyelam ke dunia di mana teks diciptakan. Maka hingga
di sini, pembaca akan memahami teks secara berbeda, karena wawasan
masing-masing-masing berbeda pula. Jika pembaca memiliki wawasan yang luas maka
mungkin kebenaran yang akan diperoleh akan menaji luas pula demikian juga
sebaliknya.
c.
Proses Interpretasi.
Inilah bentuk
terakhir dari proses pengkajian dengan pendekatan
hermeneutika.
Ketika berhadapan dengan teks maka pembaca dinyatakan dalam situasi
hermeneutika, yaitu berada pada posisi antara masa lalu dan masa kini, atau
antara yang asing dan yang tak asing. Masa lalu dan asing karena tidak
mengetahui masa lalu teks dan masa kini dan tak asing karena mengetahui teks
yang sedang dihadapi.
Sebagai seorang
yang menempati posisi antara, maka ia harus menjembatani masa lalu dan masa
kini melalui interpretasi. Pembaca atau peneliti harus mampu menghadirkan
kembali makna-makna yang dimaksudkan ketika teks dicipta di tengah-tengah
situasi yang berbeda. Agar benar-benar memperoleh interpretasi yang benar
(sesuai dengan pencipta teks), maka pembeca atau peneliti juga dituntut
memiliki kesadaran sejarah, karena salah dalam memahami sejarah maka proses
hermeneutika akan menjadi keliru.[14]
Ketiga proses
di atas tidak dapat dipisahkan dalam tradisi hermenautika, karena hanya akan
menimbulkan kebenaran a priori. Contoh
dekat ketika mengabaikan salah satunya adalah sebagai berikut : Sekedar
sebagai illustrasi aktual, ketika Pramoedra Ananta Toer menerima penghargaan
sastra dari Yayasan Magsaysay di Pilipina. Bagi Mochtar Lubis, yang juga pernah
menerima penghargaan serupa, sangat keberatan terhadap Yayasan Ramon Magsaysay
yang memberikan penghargaan tersebut.
Alasannya,
antara karya sastra dan karier politik pribadi Pramoedya sangat bertentangan.
Meskipun karya sastranya memiliki semangat kemanusiaan dan perlawanan terhadap
penjajahan, namun pengarangnya sendiri, semasa Orde Lama, kata Mochtar Lubis,
berlumuran dosa kemanusiaan dan penindasan. Lalu, tanya Moctar Lubis, bagaimana
seandainya nanti ada orang semacam Hitler menulis karya sastra yang mengutuk
penindasan, apakah layak sang Hitler digelari tokoh kemanusiaan?[15]
Polemik semacam
inilah yang menjadi problem tersendiri dalam dunia hermeneutika jika
mengabaikan proses-proses di atas. Maka sekali lagi, teks, baik tulisan maupun
simbol-simbol alam (matluw dan gayr matluw) yang hadir di hadapan
kita bukanlah satu-satunya pusat perhatian terbatas, tapi harus melampaui teks
tersebut menjangkau esensi dan konteks kelahiran teks.
Dengan kata
lain, pembaca harus mampu berdialog dengan teks dengan segala hal yang dapat membantu
pemahaman yang paling dekat kepada kebenaran.
D. Sejarah Bibel sebagai Kajian Hermeneutika
Hermeneutika yang lahir di tanah Yunani dan secara praktis digunakan untuk
sistem pendidikan mengalami perkembangan cukup signifikan. Istilah
hermeneutika pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM). Dalam
Definitione Plato dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan
sesuatu” dan dalam Timeus Plato mengaitkan hermeneutika dengan otoritas
kebenaran. Stoicisme (300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu
interpretasi alegoris.
Makna hermeneutika bergeser menjadi bagaimana memahami realitas yang
terkandung dalam teks kuno seperti Bibel dan bagaimana memahami realitas
tersebut untuk diterjemahkan dalam kehidupan sekarang. Dalam hal ini, fungsi
hermeneutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks
secara umum. Pencetus gagasan ini adalah seorang pakar filologi Friederich Ast
(1778-1841).
Pergeseran fundamental lain yang perlu dicatat dalam perkembangan hermeneutika
adalah ketika hermeneutika sebagai metodologi pemahaman berubah menjadi
filsafat. Perubahan ini dipengaruhi oleh corak berpikir masyarakat modern yang
berpangkal pada semangat rasionalisasi, di mana akal menjadi patokan bagi
kebenaran yang berakibat pada penolakan hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh
akal atau metafisika.
Babak baru ini dimulai oleh Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
(1768-1834) yang dianggap sebagai bapak hermeneutika modern dan pendiri Protestan
Liberal. Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal
hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan
sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran Schleiermacher
dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang
juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari
perkara metode menjadi ontologi di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang
kemudian diteruskan oleh Hans Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas
(1929).[16]
Jadi, Hermeneutik digunakan sebagai alat untuk memahami sebuah teks suci
pada awal abad 17 dan 18 M. Ketika pemikiran tentang wacana bahasa, filsafat,
dan keilmuan lainnya berkembang pesat, hermeneutik mulai dilirik masyarakat
Eropa untuk memamahi kitab suci Injil. Hal ini bertujuan agar mereka bisa
menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia yang telah termanifestakan dalam
sebuah teks bernama Injil. Sedangkan kajian hermeneutik sebagai sebuah bidang
keilmuan yang mapan mulai marak pada abad ke 20.[17]
E.
Problem
Bible
Bible merupakan
salah satu kitab suci tertua di Dunia. Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi
dan Kristen. Keduanya meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah
berbagi irisan dalam soal Bible. Hingga kini Bible (Latin : Biblia, artinya
‘buku kecil’ : Yunani : Biblos) biasanya dipahami sebagai kitab suci kaum
Kristen dan Yahudi.
Namun, ada
perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya
bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau
Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh yahudi karena
istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan
Yahudi adalah Perjanjian lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan
dengan “perjanjian Baru “ (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang
dipandang kaum Kristen sebagai juru selamat. Yahudi menolak klaim jesus sebagai
juru selamat manusia.[18]
Bagi Yahudi,
yang disebut sebagai Bible 39 Kitab dalam Perjanjian Lama-Nya kaum
Kristen, denagan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut kitabnya ini
sebagai Bible atau Hebrew Bibel atau Jewish Bibel. Kedudukan Bibel yang di dalamnya
termuat torah, bagi kaum yahudi sangat Vital.
Meskipun Hebrew
Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia,
tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman dalam
bukunya Who Wrote The Bible, menulis hingga kini siapa yang sebenarnya menulis
kitab ini masih merupakan misteri.[19]
Selain itu Anas
Adnan menyebutkan di dalam bukunya bahwa Thomas Hobbes telah menemukan di dalam
observasinya bahwa Pentateukh (5 kitab pertama dalam perjanjian lama) bukanlah
wahyu yang diterima dan ditulis oleh Nabi Musa, melainkan ditulis orang lain
setelah kematian Musa.[20] Anas
Adnan di Dalam bukunya juga mengutip pendapat simon yang ditulis di dalam bukunya “ Histoire
Critique du Vieux Testamen (1682)” bahwa Pentateukh tidak hanya
ditulis oleh satu orang, melainkan ditulis oleh beberapa orang. Simon juga
menunjukan Analisisnya yang sistemnya berupa penyelidikan yang menyimpulkan : “
Gaya tulis Alkitab (Bible) selalu berbeda-beda. Kadang terlalu singkat, kadang
sangat berlebihan “. Pada hal bentuk seperti itu tidak boleh terjadi pada kitab
suci.[21]
Problem lain
dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David (the King of
Israel) digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan
Batsheba dan menjerumuskan suaminya (Uria) ke ujung kematian. Akhirnya, ia
mengawini Batsheba dan melahirkan solomon. Harper’s Bible Dictionary, mencatat
sosok David sebagai : “Th Most Power full King Of Bible Israel.” Namun,
David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal sebagaimana hal
tersebut dalam Bible. [22]
Adian Husaini
menyebutkan bahwa kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New
Testament) yang berkembang pesat dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah
dan sains dalam Bible membuktikan banyaknya problem yang dihadapi. Dua pakar
yahudi, Israel Finkelstain dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis
buku : The Bible Unearthed : Archaelogy’s New Vision Of Ancient Israel and the
Origin Of Its Sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai
data sejarah dalam Bibel. Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu
dihadapi oleh interpreter Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang
original saat ini,[23]
dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu
dengan lainnya.[24]
Memang bahasa
asli Bible menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna
dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua
Teks Bible dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan
William Tyndale untuk menerjemahkan Bible dalam bahasa Jerman (1522) dan
Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bible bahasa Greek yang
berbasis pada teks yang berbasis pada teks Versi Byzantine. Antara tahun 1516
sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bible dalam bahasa Greek.
Dalam edisi
Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura
dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tdak jauh berbeda dengan 160 versi
lainya. Meskipun sekarang telah ada kononifikasi, tetapi menurut Metzger,
adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. Jadi
karena Bible asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai
versi pun tidak ada. Problem teks Bible ini diperparah lagi oleh tradisi
kependetaan yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja.[25]
F.
Hermeneutika
Sebagai Kritik Bible
Bible terdapat
beberapa kritik yang terkait, diantaranya kritik teks (textual criticism),
kajian filosof (philological study), kritik sastra (literary
criticism), kritik bentuk (form criticism), dan kritik redaksi (redaction
criticism).
Kritik teks (textual
criticism) akan mengkaji segala aspek mengenai teks. Tujuannya menetapkan
akurasi sebuah teks. Menganalisa teks mengakibatkan dua proses, yaitu edit (recepsion)
dan amandemen (emendation). Mengedit adalah memilih, setelah memeriksa
segala material yang tersedia dari bukti yang paling dapat dipercaya, yang
menjadi dasar kepada sebuah teks. Amandemen adalah menghapuskan
kesalahan-kesalahan yang ditemukan sekalipun di dalam manuskrip-manuskrip yang
terbaik.
Kajian
filologis (philological study) sangat penting untuk menentukan makna yang
diinginkan pengarang. Kajian pilologis bukan hanya mencakup kosa kata,
morfologi, tata bahasa, namun ia juga mencakup studi bentuk-bentuk,
signifikasi, makna bahasa dan sastra.
Kritik sastra
(literary criticism) memiliki banyak maksud. Salah satunya merujuk kepada
pendekatan khusus ketika mengkaji sejarah teks Bible, yang disebut juga dengan
studi sumber. Ketika pertama kali sumber muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M
ketika para sarjana Bible menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan
didalam baya bahasa, dan kosa kata Bible. Mereka menyimpulkan kandungan Bible
akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatar belakangi teks Bible
diteliti.[26]
Kata form criticism
(krituk bentuk) adalah terjemah dari kata jerman “Formgeschichte” yang artinya
“ sejarah bentuk” dan kata Formgeschichte muncul pertama kalinya didalam karya seorang
sarjana dari Jerman Martin Dibctilus (1919). Disebabkan karya Dibelius dan dua
karya sarjana jerman lainnya, yaitu K.L. Schmidt (1919). Dan R. Bultmaan
(1921), form criticism menjadi sebuah metode dalam studi Perjanjian Baru.
Ketika form criticism ditetapkan untuk mengkaji Yesus dan Bible, terdapat dua
asumsi dasar. Pertama, ada sebuah periode tentang dakwah yesus oleh orang-orang
yang mempercayainya yang mendahului penulisan Bible.kedua, dalam periode
tersebut materi dari dan mengenai Yesus kebanyakanya telah beredar sebagai
unit-unit oral yang dapat ditentukan dan diklasifikasikan menurut
bentuk-bentuknya. Jadi, Bibel adalah hasil memilih dan memilah yang sampai
kepada para penulis Bibel dari berbagai bentuk.
Kritik redaksi
(redaction criticism) di dalam studi Bible bertujuan untuk menentukan bagaimana
para pengarang Bible menggunakan materi-materi yang ada ditangan mereka. Kritik
redaksi berusaha untuk memahami mengapa para penulis Bible menulis seperti itu
dan mempelajari materi-materi yang mereka tambahkan ke dalam karangan mereka.
Kritik redaksi memfokuskan kepada apa yang dimaksudkan dan apa yang tidak
beserta perubahan. Perubahan sumber-sumber yang diketahui pengarang Bible.
Bukan kepada tradisi oral dan sumber-sumber Bible itu sendiri.[27]
Metode Bible
memang tepat diterapkan untuk Bible, karena Bible merupakan hasil karangan
beberapa penulis. Karangan pengarang Bible terwarnai oleh latar belakang mereka
masing-masing. Oleh karena itu, kononisasi, textus receptus, dan teks standar
Bible memang harus ditolak. Jadi, sebenarnya Bible bukanlah kitab suci sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat
awam kristen. Bibel memuat beberapa permasalahan mendasar. Bagaimanapun ketika
para sarjana barat, orientalis atau islamolog Barat mengkaji al-Qur’an, mereka
membawa Biblical criticsm tidak tepat di aplikasikan ke dalam metodelogi ulumul
al-Qur’an. memang ada kemiripaan antara ulumul Qur’an dan Biblical Criticism
namun, terdapat juga perbedaan mendasar antara keduanya.[28]
G.
Contoh
Bible
Citranya ini,
yang diambil dari Kitab
Yehezkiel 1:10,
tentang takhta Allah yang didukung oleh empat makhluk dengan empat wajah "Keempatnya
mempunyai muka manusia di depan, muka singa di sebelah kanan, muka lembu di
sebelah kiri, dan muka rajawali di belakang" ekuivalen dengan Injil yang
"berwajah empat", adalah lambang-lambang konvensional dari para
penulis Injil: singa, lembu, rajawali, dan manusia. Irenaeus berhasil
menyatakan bahwa keempat Injil itu bersama-sama, dan hanya keempat Injil
inilah, yang mengandung kebenaran. Dengan membaca masing-masing Injil di dalam
terang yang lainnya, Irenaeus menjadikanYohanes sebagai lensa untuk membaca Matius, Markus dan Lukas.
Pada
peralihan abad ke-5, Gereja Barat di bawah Paus Innosensius I,
mengakui sebuah kanon Alkitab yang
meliputi keempat Injil yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, yang sebelumnya
telah ditetapkan pada sejumlah Sinode regional, yaitu Konsili Roma (382), Sinode Hippo (393),
dan dua Sinode Kartago (397 dan
419).Kanon ini, yang sesuai dengan kanon Katolik modern, digunakan dalam Vulgata, sebuah terjemahan Alkitab dari awal abad ke-5
yang dikerjakan oleh Hieronimus atas
permintaan Paus Damasus I pada
382.[29]
H.
Kesimpulan
Hermeneutika adalah
suatu teori tentang interpretasi makna atau suatu ilmu untuk memahami suatu
makna. Sedangkan Bible adalah salah
satu kitab suci Yahudi dan Kristen. Hermeneutik dan bibel adalah satu kesatuan
bahasan yang sangat berhubungan, karena giron atau kajian hermeneutika yaitu
mengkaji pemahaman teks temasuk Bible.
Problem Bible
diantaranya : 1. Bible merupakan kitab suci Kristen dan Yahudi namun dengan
adanya Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di tolak oleh yahudi karena
ketidak singkronan makna kitab Kristen dan Yahudi. 2. Ketidak jelasan siapa
yang membuatnya/menulisnya 3. Ketidak layakan akhlak tokoh-tokoh Bible, dan
lain-lain.
Kritik tentang
Bible diantaranya terdapat beberapa kritik yang terkait, diantaranya kritik
teks (textual criticism), kajian filosof (philological study), kritik sastra
(literary criticism), kritik bentuk (form criticism), dan kritik redaksi
(redaction criticism).
DAFTAR PUSTAKA
Adnan
Anas, Buku Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an dengan metode Manhaji,
Surabaya : Pendidik dan Pengembangan al-Qur’an [PPQ], 2010.
Adian
Husain, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekuler-Liberal, Jakarta : Gema Insani, 2005.
------------------, Problem Teks Bible, http : // www. Insistent.
Com, diakses tanggal 26 maret 2012.
Armas
Adnin, Metodologi Bible dalam Studi al-Qur’an : Kajian Kritik, Jakarta :
Grama Insani Press, 2005.
Djamaluddin Dedy [et.al.], Zaman
Baru Islam Indonesia, Jakarta: Wacana Mulia, 1998.
E. Sumaryono, Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Filsafat Kompasiana. Hermeneutika
Sebuah Alternatif Metode Penafsiran, Http://497029 Com. 20, 10, 2012.
Hidayat
Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta:
Paramadina, 1998.
Jary
Devid [et.al.], The Harper Collin Dictionary of Sociology, New York:
Harper Collin, 1991.
Muhsin
Mahfudz. Pdf-Adob Reader
Mulyono Edi, dkk., editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar
Hermeneutika, Yogyakarta : IRCiSoD, 2013.
Noerhadi
Megatsari, “Penelitian Agama Islam” dalam M. Deden Ridwan (Ed.), Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu Bandung: Nuansa,
2001.
[3] Jendel Ilmu, Hermeneutika
dan Kritik BibeL. File:// E:/ 20
[4] Edi Mulyono, dkk.,
editor Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin, Belajar Hermeneutika (Yogyakarta
: Ircisod, 2013),15-17.
[8] Jendela Ilmu, Hermeneutik
dan Kritik Bibel,.......
[10] Mircea Eliade (Ed), The
Encyoclopedia of Religion, (New York: Macmillan Publishing
Company, 1993), Volume 7, 281.
[11] Pendekatan hermeneutika dalam kasus ini untuk memaknai perilaku sosial
lewat aktor-aktor sosial. Lihat, Devid Jary [et.al.], The Harper Collin
Dictionary of Sociology (New York: Harper Collin, 1991), 249. Sosiologi
interpretatif menggunakan ‘hermeneutic’ dan ‘doble hermeneutic’
yang dalam devinisi Mohamed Arkoun disebut ‘understanding of understanding’.
Lihat Komaruddin Hidayat Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis
Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1998), 117.
[12] Dedy
Djamaluddin, Zaman Baru Islam Indonesia,...... 64.
[13] E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta
: Kanisius, 1999), Cet.V,23. 57.
[14] Noerhadi Megatsari, “Penelitian Agama Islam” dalam M. Deden Ridwan
(Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu (Bandung:
Nuansa, 2001), Cet.I, 221-223.
[15] Muhsin
Mahfudz. Pdf-Adob Reader
[18] Andian Husain,
Problem Teks Bible, http : // www. Insistent. Com, diakses tanggal 26
maret 2012.
[19] Adian Husain, Wajah
Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal (Jakarta
: Gema Insani, 2005), 42.
[20] Anas Adnan, Buku
Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an dengan Metode Manhaji (Surabaya :
Pendidik dan Pengembangan al-Qur’an [PPQ], 2010), 76.
[21] Ibid., 77
[22] Andian Husain,
Problem Teks Bible,...
[23] Anas Adnan di
dalam bukunya mengatakan bahwa Bible pertama kali menggunakan bahasa Arami,
Ibrani, yunani, dan akhirnya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa didunia
tanpa menunjukan bahasa aslinya. Bahasa yang dipakai oleh Yesus adalah bahasa
Arami, sama dengan bahasa masyarakatnya kemudian Injil diakui berbahasa asli
Ibrani, tapi tidak pernah dijumpai Injil yang Asli itu. Lihat Anas Adnan, Buku
Pendamping Belajar Memahami al-Qur’an ..,,..., 76.
[24] Andian Husain,
Wajah Peradaban Barat ... 42-32.
[25] Andian Husain,
Problem Teks Bible, http : // www. Insistent. Com, diakses tanggal 26 maret
2012, jam 19. 45.
[26] Ibid., 45.
[27] Ibid., 46.
[28] Ibid., 47.