Rabu, 23 Desember 2015

TAFSIR RUH AL-MA'ANI


TAFSIR RUH AL-MA'ANI

A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan Mu’jizat yang luar biasa, di anugrahkan kepada manusia sebagai sumber utama dari segala ilmu yang tak pernah akan ada habisnya jika diselami. Perkembangan untuk menyelami al-Qur’an melalui penafsiran tidaklah berhenti hanya pada masa Rasulullah Saw saja, yang mana berkembang pada masa Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in (pengikut tabiin) sampai jaman sekarang yang terasa manisnya makjizat al-Qura’an melalui penafsiran para ulama.
Tafsir Ruhul Ma’ani merupakan karya besar Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi, salah seorang intelektual muda yang dimiliki Islam pada zamannya. Kitab ini terdiri dari 15 jilid kitab ditambah 1 jilid indeks. Jadi keseluruhan ada 16 jilid.
Sebagai karya ulama belakangan, Tafsir Ruhul Ma’ani banyak mengutip pendapat ulama terdahulu (mutaqaddimin). Hal ini penting karena dengan demikian rabithah (benang merah) dengan mufassir terdahulu tetap terjaga. Selain itu Tafsir Ruhul Ma’ani juga banyak mengemukakan pendapat ulama belakangan (mutaakhkhirin). [1]
Dengan beberapa kutipan keterangan di atas merangsang penulis dalam memutar geliat keinginannya untuk ingin lebih mendalami Tafsir Ruhul Ma’ani  yang mempunyai keunikan tetap konsisten mengutif penafsiran-penafsiran tafsir yang telah lampau. Namun ketika kita lihat beberapa penafsiran tidak terlalu perduli bahkan fokus pada pemikirannya sendiri. Hal ini menjadi problem dan acuan pemakalah untuk ingin lebih tau bagaimana Tafsir Ruhul Ma’ani.
Maka penulis mencurahkan pemikirannya dalam sebuah makalah, yang mana Fokus kajian makalah ini ada empat, yaitu: riwayat hidup pengarang, guru dan murid, metode kitab tafsirnya dan keistimewaan serta  kelemahannya.
B. Riwayat Hidup Al-Alusi
Al-Alusi adalah seorang ulama yang luar biasa pada masanya, namun dalam sebuah penamaan pengarang kitab, biasanya di sandarkan kepada gelar, julukan atau yang lainnya. Adapun Nama lengkapnya adalah Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi.[2] Beliau adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan Imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibu-Nya. Beliau dilahirkan kota Kurkh, Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban 1217 Hijriyah. Ia dikenal dengan nama al-Alusi, yaitu nama yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alus, yaitu suatu pulau yang terletak di tepi barat sungai Efrat antara Syam dan Baghdad.[3]
Sudah menjadi keharusan ulama terdahulu dan kebiasaan masyarakat Arab Islam, bahwa setiap anak diharuskan untuk mulai belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Alusi pun mulai menghafal al-Qur’an semenjak ia berumur lima tahun di bawah bimbingan Syekh al-Malâ Husain al-Jabûri.
Sejalan dengan bertambah umurnya, ia pun terus belajar dan membaca teks-teks warisan ulama sebelumnya di bawah bimbingan ayahnya, sehingga sebelum mencapai umur sepuluh tahun, ia telah mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan, fiqh syafi’iyah dan hanafiyah, mantiq, dan hadith.[4]
Pada usia muda beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama besar pada masa itu yaitu diantaranya Syaikh As-Suwaidi dan Syaikh khulaid An-Naqsyabandi. Beliau menjadi mufti madzhab Hanafi di tahun 1248 H/ 1832 M. ia menghayati dan mengetahui perbedaan madzhab serta berbagai corak pemikiran dan aliran aqidah.[5]
Sebelum Imam al-Alusi mencapai umur 20 tahun, ia telah mulai mendalami kajian tafsir al-Qur’an. Kemudian ketika berumur 21 tahun, ia diberi kepercayaan oleh gurunya, syekh ‘Alauddin untuk mengajar di madrasah al-Khotuniyah. Di samping itu juga, ia diminta oleh Haji Nu’man al-Bajah untuk mengajar di madrasah yang dipimpinnya, hanya saja Alusi tidak bertahan lama, Namun, setelah itu pada tahun 1263 H. beliau melepaskan jabatan itu dan lebih memilih untuk konsentrasi kepada penyusunan kitab tafsir Ruh al-Ma’ani.[6]
Kehidupan politik pada masa kehidupan al-Alusi tidaklah stabil, kerena pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan, perang saudara dan pergantian raja-rajanya. Selama al-Alusi hidup, ia menyaksikan banyak pergantian kepemimpinan di Irak, mulai dari pemimpin-pemimpin yang memimpin Irak cukup lama, seperti Daud Basya (1188 H/1774 M), Ali Ridha Basya (1247 H/1831 M), Muhammad Najib Basya (1258 H/1842 M), sampai pemimpin-pemimpin yang memimpin hanya sebentar, seperti Abdi Basya (1265 H/1849 M), Muhammad Wajih Basya (1267 H/1851 M), Muhammad Rasyid Basya (1268 H/1852 M), dan pada tahun yang sama ia digantikan oleh Basya al-Kabir (1268 H/1852 M-1269 H/1853).[7]
Meskipun politik negara tidak setabil, kegiatan ilmiah di Irak tetap berjalan. Pada masa itu banyak bermunculan ulama-ulama dalam berbagai bidang ilmu, fiqh, hadis, tafsir, dan sastra (adab). Diantara ulama dan sastrawan yang terkenal pada masa itu banyak yang berasal dari keluarga al-Suwaidi, keluarga al-Rawi, al-Syawaf, al-Madras, al-Umari, al-Alusi, al-Zahawi.[8] Hal ini juga tidak terlepas dari dukungan penguasa, seperti yang dilakukan oleh Daud Basya. Ia mendirikan sekolah-sekolah sebagai pendukung berkembangnya ilmu pengetahuan.[9]
Setelah ayahnya meninggal dunia (1268 H/1830 M), ia meninggalkan Kurkh dan tinggal di samping mesjid syekh Abdul Qadir al-Jili. Dari sinilah, kecerdasan, keutamaan dan ilmu Imam al-Alusi banyak diketahui oleh orang banyak. Ketika Bagdad terjangkiti penyakit Thaun, Daud Basya turun dari kepemimpinannya dan digantikan oleh Ali Ridha Basya. Pada masa Ali Ridha Basya ini, al-Alusi bersembunyi dan mengasingkan diri dikarenakan banyak orang yang tidak menyenanginya dan telah memfitnahnya.
Ketika Abdul Ghani Affandi al-Jamil ditunjuk sebagai mufti di Baghdad, Imam al-Alusi menemuinya dan tinggal bersamanya sampai mendapatkan kepercayaan dan pengampunan dari Ali Ridha Basya atas fitnah yang dituduhkan kepadanya. Kemudian al-Alusi diberi kepercayaan untuk dimintai fatwa dan pengajar di madrasah al-Qadiriyah.[10]
Pada masa Ali Ridha ini, al-Alusi menuliskan sebuah buku “syarh al-Burhan fi Itha’at al-Sulthan” yang dihadiahkan untuk Ali Ridha Basya, yang kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjadi Imam dan Khatib mesjid al-Marjan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang yang dianggap paling alim. Pada tahun yang sama, ia ditunjuk sebagai mufti di Baghdah.[11]
Ketika Ali Ridha Basya digantikan oleh Muhammad Najib Basya, jabatan mufti dan kepemimpinan al-Alusi di mesjid Marjan dicopot, dikarenakan adanya kesalah fahaman antara dirinya dengan menteri Muhammad Najib Basya. Sehingga kehidupan dunia al-Alusi berbalik 180 derajat. Untuk mengungkapkan kesusahan hidupnya, sampai-sampai dikatakan bahwa al-Alusi hampir memakan tikar yang digunakan sebagai tikar mesjid.[12]
Pada tahun 1267 H/1850 M, Imam al-Alusi melakukan perjalanan menuju Istanbul. Ketika ia sampai di Maushil, ia singgah di rumah Mahmud Afandi al-Umari yang dikenal sebagai seorang filosofis. Ketika di Maushil inilah al-Alusi menunjukkan dan membacakan tafsir al-Qur’an (Ruh al-Ma’ani) yang ditulis sebelumnya dalam suatu majlis yang dihadiri oleh para ulama Maushil, dan Mereka pun merasa ta’jub dan kagum.
Selama perjalanannya ke Istanbul, al-Alusi selalu singgah dan tinggal di tempat-tempat yang dilewatinya selama 2 hari untuk melakukan diskusi dengan ulama-ulama setempat. Sesampainya di Istanbul pun, tidak ada yang dilakukannya kecuali diskusi dengan ulama-ulama setempat. Dari hasil perjalanannya, ia mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang belum pernah diperoleh sebelumnya, sehingga keilmuan dan keutamaannya banyak dikagumi oleh banyak orang.[13]
Dalam perjalanan pulangnya dari Istanbul menuju Baghdad mulai sering sakit, dan terus menurus dari waktu ke waktu. Pada tanggal 25 Dzulqa’dah 1270 H/1854 M al-Alusi meninggal dunia dalam usia 53 tahun.[14]

C. Guru dan Muridnya
Adapun guru-guru beliau, berikut ini:
1. Ayah beliau sendiri Baharuddin al-Alusi (lahir 1248 H – wafat 1291 H).
2. Paman beliau, al-’Allamah as-Salafi Nu’man Khairuddin Abu al-Barakat al-Alusi.
3. Ismail bin Musthafa al-Mushili (lahir 1200 H – wafat 1270). Beliau juga mempelajari ilmu tafsir dari Syaikh Bahaulhaq al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang menetap di Baghdad (lahir 1256 H – wafat 1300 H). Adapun dalam cabang ilmu Musthalah al-Hadîth, beliau belajar kepada Syaikh Abdussalam bin Muhammad bin Said an-Najd, yang lebih populer dengan nama asy-Syawwaf (lahir 1243 H – 1318 H). Salah satu guru Imam al-Alusi yang lain adalah Syaikh Muhammad Amin al-Khurasini al-Farisi, dan lain-lain.
Adapun murid-murid beliau yang terkenal :
1. Muhammad Bahjah al-Atsary (lahir 1322 H – wafat 1416 H).
2. Ma’ruf ar-Rasafi (lahir 1294 H – wafat 1364 H).
3. Nu’man bin Ahmad bin al-Haq Ismail al-A’dhani al-Ubeidi (lahir 1293).
4. Ali Alauddin al-Alusi (lahir 1277 H – 1340 H).
5. Abdul Aziz ar-Rasyid al-Kuwaiti (wafat 1357 H).
6. Thaha bin Shalih ad-Dani (lahir 1310 H – wafat 1365 H).
7. Ahli Bahasa Abdul Latif (wafat 1363 H).
8. Abbas al-Bazawi, ahli sejarah dari Irak yang masyhur (wafat 1971 H).
9. Munir al-Dadi (lahir 1313 H – wafat 1340 H).
10. Sulaiman ad-Dakhil an-Najdi (lahir 1244 H, wafat 1364 H) dan lain-lain.[15]

D. Karya-karya Imam al-Alusi
Sekitar 56 judul buku dan tulisan yang beliau tulis, di antaranya kitab: Ghoyah al Amaani fi ar-Radh ala an-Nabhani, sebuah kitab bantahan atas kitab “Syawahidul Haq” karya al-Nabhani yang berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat yang lemah dan dalil-dalil yang dibalik dalam permasalahan “ Bolehnya istighasah kepada selain Allah, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong sunnah, semisal Ibnu Taimiyyah”.
Setelah beliau menulis kitab ini, al-Nabhani giat membantah dengan syair. Syair yang mencela para ulama Islam, maka beliau membantah lagi dengan menulis kitab al-Ayah al-Kubra ala Dholah an-Nabhani fi Raaitaihi as-Sughra. Maksud tulisan tangan kitab ini oleh beliau dapat di jumpai di perpustakaan peninggalan sejarah yang terletak di Irak, dalam 56 halaman dengan no. 8721.
Karya-karyanya yang lain di antaranya : Hasyiyah 'ala alQatr, Syarh al-Salim, al-Ajwibah al-'Iraqiyyah ’an As'ilah al-Lahuriyyah, al-Ajwibah al-Iraqiyyah ala As'ilah al- Iraniyyah, Durrah al-Gawas fī Awham al-Khawass, al-Nafakhat al Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zim wa al Sab'i al-Masani,[16] Nasywat al-Syamul fi al-dzahab il Istambul, Nasywat al-Mudam fi al-‘Awd ila daar al-Salam, Gharaib al-Ightirab wa nazhat al-Albab dan lain-lain. Di antara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alusi atau Rûh al-Ma’ani.[17]

E. Metodologi Kitab Tafsirnya
Berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah sumber, metode dan pendekatan (corak).
1). Sumber Penafsiran
Sumber-sumber penafsiran yang dipakai al-Alusi adalah memadukan sumber al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya dalam menafsirkan suatu ayat al-Alusi mengunakan sumber riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran al-Qur’an, dan terkadang menggunakan ijtihad dirinya sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.
Berdasarkan hal inilah tafsir al-Alusi digolongkankan kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ra’yinya. Hal ini juga bisa dilihat pada isi muqaddimah kitabnya (pada faedah yang kedua), ia menyebutkan beberapa penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya tersebut.[18]
2). Metode
Apabila kita tinjau kembali metode penafsiran yang di tempuh oleh al-Alusi dalam menafsirkan ayat-ayat yang tercantum di atas maka dapatlah kita katakan bahwa metode tafsir ini adalah metode tahlili, karena al-Alusi menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf, munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan al-Alusi.
Namun, ada juga yang mengatakan metodenya muqoron, karena terkadang saling membandingkan ayat dengan ayat dan membandingkan pendapat demi pendapat dan di ambil yang terbaiknya.
3). Corak Tafsir (Pendekatan)
Dari beberapa sumber yang ditemukan dan hasir penelitian, dalam penjelasannya al-Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafadz. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir  Isyari/Sufi.
Menurut Tafsir ini ayat memiliki dua makna, makna dzahir dan makna bathin, yang berupa isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh nabi SAW., atau para wali atau Arbab al Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk mendekati Allah SWT). Tafsir semacam ini apabila didasari istinbath yang bagus, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan memiliki dalil penguat yang menunjukkan kebenarannya tanpa ada yang menentang, maka dapat diterima. Apabila tidak demikian, maka dianggap pembodohan.[19]
Menurut Ibn al Qayyim, corak penafsiran orang itu seputar pada tiga hal pokok : Tafsir tentang lafadz, yaitu yang dilakukan oleh orang-orang belakangan (Muta’akhrin), tafsir tentang makna, yaitu yang dilakukan oleh mayoritas kaum sufi, dan lain-lain. Pendekatan tafsir yang terakhir ini tidaklah terlarang selama memenuhi empat syarat yaitu:
a. Tidak berlawanan dengan makna lahir ayat
b. Makna itu sendiri shahih
c. Pada lafadz  yang ditafsirkan itu mengandung indikasi makna Isyari.
d. Antara makna isyari dan makna lahir terdapat hubungan yang erat.

Apabila keempat syarat itu terpenuhi, maka tafsir isyari itu bisa dipakai.[20]

4. Sistematika penafsiran yang ditempuh oleh al-Alusi biasanya menggunakan langkah-langkah di bawah ini:
a. Menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
b. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadish atau qaul tabi’in.
c. Menerangkan kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi kaidah bahasa (ilmu nahwu).
d. Menafsirkan dengan ayat-ayat lain.
e. Memberikan keterangan dari hadis Nabawi bila ada.
f. Mengumpulkan pendapat para penafsir terdahulu.

F.  Keistimewaan dan Kelemahannya
1). Keistimewaan
a). Penjelasan yang diberikan sangat luas dengan memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah (hubungan antar surath/ayat), asbab al  nuzul (sebab turunnya al-Qur’an), i’rab(ketata bahasaan).                                
b). Banyak merujuk pendapat para ahli tafsir terdahulu dan sya’ir-syair Arab.
c). Banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh ayat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa, sehingga memperkaya khazanah keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan terhadap al-Qur’an.


2). Kelemahan
a). Keluasan pembahasan terkadang juga menjemukan, terutama bagi pembaca pemula.
b). Munasabah dan asbab al nuzul jarang dijelaskan.
c). Sangat jarang mengemukakan dalil nash baik al-Qur’an maupun al Hadith.[21]

G. Contoh Aplikasi Penafsiran
Salah satu contoh penafsiran al-Alusi adalah tentang kisah pertemuan Musa as dengan Khidir as yang disebutkan dalam Surah Al-Kahfi (18) : 60 -70. Sebagai berikut :
øŒÎ)ur š^$s% 4ÓyqãB çm9tFxÿÏ9 Iw ßytö/r& #_¨Lym x÷è=ö/r& yìyJôftB Ç`÷ƒtóst7ø9$# ÷rr& zÓÅÓøBr& $Y7à)ãm ÇÏÉÈ   $£Jn=sù $tón=t/ yìyJøgxC $yJÎgÏZ÷t/ $uÅ¡nS $yJßgs?qãm xsƒªB$$sù ¼ã&s#Î6y Îû ̍óst7ø9$# $\/uŽ|  ÇÏÊÈ   $£Jn=sù #yur%y` tA$s% çm9tFxÿÏ9 $oYÏ?#uä $tRuä!#yxî ôs)s9 $uZŠÉ)s9 `ÏB $tR̍xÿy #x»yd $Y7|ÁtR ÇÏËÈ   tA$s% |M÷ƒuäur& øŒÎ) !$uZ÷ƒurr& n<Î) Íot÷¢Á9$# ÎoTÎ*sù àMŠÅ¡nS |Nqçtø:$# !$tBur çmÏ^9|¡øSr& žwÎ) ß`»sÜø¤±9$# ÷br& ¼çntä.øŒr& 4 xsƒªB$#ur ¼ã&s#Î6y Îû ̍óst7ø9$# $Y7pgx ÇÏÌÈ   tA$s% y7Ï9ºsŒ $tB $¨Zä. Æ÷ö7tR 4 #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ   #yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ   tA$s% ¼çms9 4ÓyqãB ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br& Ç`yJÏk=yèè? $£JÏB |MôJÏk=ãã #Yô©â ÇÏÏÈ   tA$s% y7¨RÎ) `s9 yìÏÜtGó¡n@ zÓÉëtB #ZŽö9|¹ ÇÏÐÈ   y#øx.ur çŽÉ9óÁs? 4n?tã $tB óOs9 ñÝÏtéB ¾ÏmÎ/ #ZŽö9äz ÇÏÑÈ   tA$s% þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# #\Î/$|¹ Iwur ÓÅÂôãr& y7s9 #\øBr& ÇÏÒÈ   tA$s% ÈbÎ*sù ÓÍ_tF÷èt7¨?$# Ÿxsù ÓÍ_ù=t«ó¡s? `tã >äóÓx« #Ó¨Lym y^Ï÷né& y7s9 çm÷ZÏB #[ø.ÏŒ ÇÐÉÈ  
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya : "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".[22]

Dalam menjelaskan sebab terjadinya pertemuan antara Musa dengan Khidir, al-Alusi mengutip, sebuah hadish riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas dari Ubay ibn Ka'ab yang artinya sebagai berikut: Suatu ketika Musa berdiri berpidato di hadapan kaumnya, yaitu bani Israil, lalu beliau ditanya : "Siapakah orang yang paling alim?". Jawab Musa:" Saya”.
Dengan jawaban itu Musa mendapat kecaman dari Tuhannya, sebab beliau tidak mengembalikan ilmu tadi kepada Allah SWT. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya, yang isinya : "Sesungguhnya Aku mempunyai hamba yang berada di majma'al Bahrain. Dia lebih pandai dari kamu.......”.
Berdasarkan hadith tersebut maka al-Alusi menafsirkan bahwa yang dimaksud "Musa" dalam ayat tersebut adalah Musa Ibn Imran, seorang Nabi bani Israil. Pendapat ini menurutnya merupakan pendapat yang sahih. Di samping itu, al-Alusi mengemukakan adanya pendapat ahli kitab, sebagian ahli hadis dan ahli sejarah yang mengatakan bahwa Musa yang disebut dalam ayat tersebut bukanlah MusIbn Imran, melainkan Musa Ibn Afrasim Ibn Yusuf, yaitu Musyang diangkat sebagai Nabi sebelum MusIbn ImranHal itu didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut :
1.    Tidak rasional jika seorang Nabi belajar kepada selain Nabi, alasan ini dibantah oleh al-Alusi bahwa Musa itu bukan belajar kepada selain nabi, akan tetapi dia belajar kepada seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika alasan ini juga belum memuaskan mereka, dengan dalih bahwa Musa Ibn Imran lebih utama dari Khidir, al-Alusi memberikan jawaban, adalah sah-sah saja jika seorang yang derajatnya lebih utama itu belajar kepada orang yang derajatnya di bawahnya.
Sebab secara logika, tidak menutup kemungkinan ilmu yang dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya (al-mafdul) ternyata tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggi keutamaannya (al-afdal), sebagaimana dikatakan dalam kalam masal : "Qad yujad fi al-Mafdul ma Yujadu fi al-Fadil”. Terkadang ditemukan sesuatu pada orang yang berada dibawah keutamaannya sesuatu yang tidak ditemukan pada orang yang utama."
2. Musa, setelah keluar dari Mesir bersama kaumnya ke al-Tih (gurun pasir Sinai), tidak pernah meninggalkan al-Tih dan wafat di sana. Pada hal jika kisah ini berkaitan dengan Musa Ibn Imran tentu nabi Musa harus keluar dari al-Tih, karena kisah itu mungkin tidak terjadi di Mesir sebagai mana kesepakatan orang.
3. Jika kisah tersebut berkaitan dengan Musa Ibn Imran, tentunya untuk beberapa hari, ia harus tidak kelihatan oleh kaumnya. Dengan demikian tentunya orang-orang Bani Israil yang bersamanya mengetahui kisah tersebut dan akan diceritakan kepada orang lain, sebab kisah tersebut mengandung hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Maka jelas bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran.

Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi, bahwa Musa keluar dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah tersebut terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibti, begitu pula tidak ada kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di Mesir.
Demi kian juga kepergian Musa untuk menemui Khidir terjadi secara luar biasa. Tidak diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Musa tidak menceritakan kepada kaumnya mengenai hakikat kepergiannya, sebab khawatir jika diceritakan akan merendahkan derajat ("gengsi") Musa di hadapan kaumnya, mengingat umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu (yakni Musa berguru kepada Khidir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan martabat kenabian Musa." Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah itu tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran tidak perlu dipedulikan, sebab secara logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Allah SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskannya.
Adapun fata Musa (pemuda yang menemani Musa) adalah Yusya' ibn Nun ibn Nun ibn Afrasyim ibn Yusuf. Disebut fata sebab dia biasa melayani Nabi Musa. Orang-orang Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan fata, sebab pelayan itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba salih yang ditemui Musa? Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khidir, dan pendapat ini juga dianut oleh al-Alusi berdasar hadis sahih riwayat Imam al-Bukhara dan Imam Muslim.
Bagaimana pendapat al-Alusi tentang status Khidir, apakah ia seorang Rasul, Nabi atau yang lain? Dalam hal ini ada beberapa pendapat menurut al-Alusi :
Pertama, Khidir itu seorang nabi, bukan seorang Rasul. Inilah pendapat jumhur ulama, berdasarkan firman Allah yang berbunyi : "atainahu rahmatan min 'indina?. Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud rahmat adalah wahyu dan kenabian. Al-Alusi cenderung sependapat dengan jumhur ulama. Kedua, Khidir adalah seorang Rasul.
Dalam hal ini, al-Alusi tidak menyebutkan alasan mereka yang berpendapat demikian. Ketiga, Khidir adalah malaikat. Pendapat ini menurut al-Alusi dianggap garib(nyleneh), sebagaimana dijelaskan juga dalam kitab Syarh Muslim. Keempat, Khidir adalah seorang wali. Pendapat ini diikuti oleh Imam al-Qusyairi.
Pendapat jumhur itulah yang lebih kuat, sebab beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani untuk memperkuat pendapat tersebut, yaitu : Pertama, Ucapan Khidir yang disebutkan dalam al-Qur'an : "wa ma fa'altuhu'an arnri....” memberikan isyarat bahwa yang dilakukannya itu bukan atas kehendak dirinya, melainkan atas perintah Allah (baca : wahyu). Kedua, Jika ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari Musa? Ketiga, Jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya? Keempat, hadis Bukhari Muslim yang menjelaskan bahwa Khidir itu seorang Nabi. Inilah yang dikenal dengan penafsiran bi al-ma'sur, yaitu penafsiran yang berdasar penjelasan langsung dari Nabi, dan nilai penafsirannya menurut para ulama termasuk yang paling bagus.[23]
Lalu bagaimana dengan tempat pertemuan Musa dan Khidir? Pertemuan Musa dengan Khidir oleh al-Qur'an hanya dikatakan di Majma’ al-Bahrain. Menurut al-Alusi, untuk menentukan di mana letak Majma' al Bahrain harus berdasarkan riwayat yang sahih. Dalam hal ini al-Alusi mengemukakan beberapa riwayat, antara lain :
Pertama, riwayat Mujahid, Qatadah dan lainnya, bahwa yang dimaksud dengan Majma' al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah pendapat yang diikuti oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat Ibn Athiyyah bahwa majma’ al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga, Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi berpendapat bahwa majma’ al-Bahrain berada di Tanjah yaitu pertemuan antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik di Selat Gibraltar (Jabal Tariq).
Mengetahui di mana majma’ al-Bahrain bukanlah hal yang penting dalam kisah tersebut, mengingat al-Qur'an sendiri tidak menjelaskannya. Maka lebih baik hal itu di mauqufkan saja, apalagi tidak ditemukan hadis sahih dari Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya al-Alusi juga banyak menjelaskan riwayat-riwayat lain, selain yang di atas tadi. Namun sigat (bentuk) riwayatnya menggunakan bentuk fi'il mabni majhul, yaitu dengan kata qi1a, yang dalam kaedah Ilmu Musthalah Hadish disebut dengan.sigatal-tamrid (bentuk penyataan bahwa riwayat tersebut "sakit") yang berarti riwayat tersebut lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah.[24]
Al-Alusi juga menjelaskan adanya penafsiran secara metaforis (majazi), yaitu bahwa majma’al-Bahrain adalah Nabi Musa dan Khidir itu sendiri, sebab keduanya merupakan lautan ilmu. Namun, menurut al-Alusi, ta'wil orang sufi seperti itu yang tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq al-kalam (konteks kalimat).
Ayat yang berbunyi hatta abluga majma al-bahrain berarti sehingga saya sampai ke tempat dua laut. Jadi, majma' al-bahrain itu sebagai objek, sedang damir (kata ganti) yang ada pada kata abluga yang merujuk pada Nabi Musa sebagai Fa'il (Subjek). Al-Alusi sendiri menafsirkan majma’ al-bahrain dengan multaq al-bahrain yang merupakan nota bene isim makan, yaitu kata benda yang menunjukkan tempat. Demikian pula al-Qurtubi menolak penafsiran secara metaforis tersebut, sebab dalam hadis sahib juga dinyatakan lautan air.[25]
Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat wa'allamnahu mil ladunna 'ilma, al-Alusi menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan dasar yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang disebut pula dengan ilmu hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, ilmu yang tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak dapat diukur kadarnya (ilmu gaib).
Adapun cara pemberian ilmu laduni tersebut ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantaraan wahyu yang di dengar dari malaikat sebagaimana wahyu al-Qur'an yang diterima Nabi Muhammad. Kedua, mungkin pula melalui isyarat dari malaikat, tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Inilah yang juga disebut ilham dan malaikat yang membawanya juga disebut malaikat ilham. Ilham dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk mendapatkan ilham ladunni diperlukan pensucian batin (tatir al - qa1b). Oleh sebab itu, sebagian orang menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat.
Sebagian orang sufi beranggapan bahwa ilmu batin atau ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata lain, orang yang telah menggapai derajat ilmu hakikat boleh menyalahi syariat dengan alasan bahwa Khidir jugatelah menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan tersebut dibantah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi menyatakan haza za'mun batil, 'ati al-khayal fasidun. Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong, ilusi dan salah.
Bantahan al-Alusi sangat tepat, sebab jika ilmu hakikat dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka seseorang dapat saja mengaku telah mencapai tingkat hakikat sebagai alasan untuk meninggalkan syariat. Akibatnya akan terjadi "desyari'atisasi" atau sikap anti syariat, dan klaim bahwa ia telah gugur dari kewajiban menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, Syaikh Tahir Salih al-Jaza'iri menolak keras pandangan seperti itu. Beliau mengatakan "Adalah kufur orang yang menduga bahwa dalam syariat ada dimensi batin yang boleh menyalahi dimensi lahirnya, lalu ia mengklaim bahwa ia telah sampai kepada tingkatan hakikat."
Dalam ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, tarikah dan haqiqah. Syariat yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang ditentukan misalnya seperti hukum halal-haram, sunah makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, jihad, zakat, haji dan lain-lain.
Sedantariqah adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang untuk mendapatkan kerida'an-Nya dalam mengerjakan syariat, seperti sikap ikhlas, sabar, taubat, muraqabah dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak perjalanan spiritual seseorang.[26]
Ketiga dataran (syariah, tarikat, hakikat) tersebut harus dilihat dengan paradigma struktural sekaligus fungsional, di mana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan.
Sebagaimana disebut di dalam kitab Bidayah al-Azkiya', bahwa hubungan ketiga dataran (syariat, tarikat dan hakikat) digambarkan sebagai berikut : "Syariat itu ibarat perahu, sedang tarikat bagaikan laut dan hakikat itu inti mutiaranya yang mahal." Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, ia tetap terkena taklif (tugas) syariat untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur'an dan hadis.
Berkenaan dengan Surah al-Kahfi (18) : 66-70 penjelasan al-Alusi secara ringkas sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Khidir, maka Musa minta izin kepada Khidir untuk mengikutinya dan minta agar Khidir mau mengajarinya. Hal ini dapat di pahami dari ayat : hal attabi’uka 'ala antu'allimani mimma'ullimta rusyda. Huruf 'ala, menurut kaidah bahasa Arab berarti bahwa jumlah sesudahnya merupakan syarat.
Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut al-Alusi berarti isabatul khair (ilmu yang dengannya seseorang dapat tepat dalam mengetahui kebaikan). Nabi Khidir-pun mau menerima permintaan Musa dengan catatan jika nanti berada di perjalanan Musa melihat hal-hal yang aneh yang dilakukan Khidir, dia tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa tak akan mampu menyertainyaHal itu tampak daripernyataan Khidir yang direkam dalam al-Qur'an (Surah al-Kahfi : 66-67).[27]
Contoh yang lain dalam surat Al-Baqarah, 282:[28]

يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إلى أَجَلٍ مُّسَمًّى فاكتبوه فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل { يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ } بالله تعالى وبما جاء منه { إِذَا تَدَايَنتُم }  أي تعاملتم وداين بعضكم بعضاً { بِدَيْنٍ } فائدة ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء بمعنى تعاملتم بدين ، وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه أن السياق يرفع لأن الكلام في النصوصية على أن السياق قد لا يتنبه له إلا الفطن ، وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير إذ لولاه لقيل : فاكتبوا الدين فلم يكن النظم بذلك الحسن عند ذي الذوق العارف بأساليب الكلام ، واعترض بأن التداين يدل عليه فيكون من باب ) اعدلوا هُوَ أَقْرَبُ ( [ المائدة : 8 ] وأجيب بأن الدين لا يراد به المصدر بل هو أحد العوضين ولا دلالة للتداين عليه إلا من حيث السياق ولا يكتفي به في معرض البيان لا سيما وهو ملبس، وقيل : ذكر لأنه أبين لتنويع الدين إلى مؤجل ، وحال لما في التنكير من الشيوع والتبعيض لما خص بالغاية ولو لم يذكر لاحتمل أن الدين لا يكون إلا كذلك{ إلى أَجَلٍ } أي وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون صفة للدين أي مؤخر أو مؤجل إلى أجل {مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما مما يفيد العلم ويرفع الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض { فاكتبوه } أي الدين بأجله لأنه أرفق وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله سبحانه : { فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا } والآية عند بعض ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك، وابن عباس يخص الدين بالسلم فقد أخرج البخاري عنه أنه قال : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله تعالى أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل الإمام مالك بها على جواز تأجيل القرض  { وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور بها وتعيين من يتولاها إثر الأمر بها إجمالاً،ومفعول يكتب محذوف ثقة بانفهامه أو للقصد إلى إيقاع نفس الفعل والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب أن لا ينفرد به أحد المتعاملين دفعاً للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب من شأنه التسوية وعدم الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً لغواً متعلقاً بكاتب أو بفعله ، والمراد أمر المتداينين على طريق الكناية بكتابة عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه موثوقاً به متفقاً عليه بين أهل العلم ، فالكلام كما قال الطيبي مسوق لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون ، ومن لم يكن كذلك يجب على الإمام أو نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع والله لا يحب المفسدين . وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون.
Penjelasan:
Pada tafsiran potongan ayat di atas, beliau mengawali tafsirnya dengan tidak sekalipun mengambil sumber dari ayat lain, hadith atau pendapat sahabat. Artinya, beliau cenderung bersumber dari analisis ar-ra’yi meskipun hanya sebatas pamaknahan kata.

{ يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ بالله تعالى وبما جاء منه { إِذَا تَدَايَنتُم } أي تعاملتم وداين بعضكم بعضاً { بِدَيْنٍ } فائدة ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء بمعنى تعاملتم بدين ، وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه أن السياق يرفع لأن الكلام في النصوصية على أن السياق قد لا يتنبه له إلا الفطن ، وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير إذ لولاه لقيل : فاكتبوا الدين فلم يكن النظم بذلك الحسن عند ذي الذوق العارف بأساليب الكلام

Selanjutnya, beliau menjelaskan ada ulama yang berpendapat bahwa kata  تَدَايَنتُم itu satu bab dengan ayat pada surat Al-Maidah ayat 8 dengan pernyataannya :

واعترض بأن التداين يدل عليه فيكون من باب اعدلوا هُوَ أَقْرَبُ ( [ المائدة]
Setelah itu, beliau menganalisnya sendiri secara nahwiyah dan berkomentar bahwa kata التداين itu berasal dari kata دَيْنٍ  dengan penjelasannya :

وأجيب بأن الدين لا يراد به المصدر بل هو أحد العوضين ولا دلالة للتداين عليه إلا من حيث السياق ولا يكتفي به في معرض البيان لا سيما وهو ملبس، وقيل : ذكر لأنه أبين لتنويع الدين إلى مؤجل ، وحال لما في التنكير من الشيوع والتبعيض لما خص بالغاية ولو لم يذكر لاحتمل أن الدين لا يكون إلا كذلك { إلى أَجَلٍ } أي وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون صفة للدين أي مؤخر أو مؤجل إلى أجل { مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما مما يفيد العلم ويرفع الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض { فاكتبوه }
 أي الدين بأجله لأنه أرفق وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله سبحانه : { فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا } والآية عند بعض ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك،

Sebagian dari metode bil-ma’tsurnya, beliau melanjutkan penafsirannya dengan mengambil pendapat imam Ibnu Abbas, hadish yang diriwayatkan Imam Bukhari, dan istidlal dari Imam Malik seperti berikut :

وابن عباس يخص الدين بالسلم فقد أخرج البخاري عنه أنه قال : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله تعالى أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل الإمام مالك بها على جواز تأجيل القرض .

Selanjutnya, beliau mengulas lagi salah satu kata secara nahwiyah mengenai kata يَكْتُب yang menurut beliau maf’ul bih[29] dari fiil tersebut dibuang (tidak dicantumkan /makhdzuf) dan seterusnya.

{ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور بها وتعيين من يتولاها إثر الأمر بها إجمالاً، ومفعول يكتب محذوف ثقة بانفهامه أو للقصد إلى إيقاع نفس الفعل والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب أن لا ينفرد به أحد المتعاملين دفعاً للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب من شأنه التسوية وعدم الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً لغواً متعلقاً بكاتب أو بفعله

Seperti yang kami bahas dalam biografinya, imam Al-Alusi juga tenar ahli ijtihad (fiqh) sehingga hal ini mempengaruhi corak penafsirannya dalam ayat ini dengan analisis fiqh sekalipun ia juga mengambil beberapa pendapat fuqaha.[30] Hal ini nampak dalam penafsirannya diatas dengan kalimat:[31]

والمراد أمر المتداينين على طريق الكناية بكتابة عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه موثوقاً به متفقاً عليه بين أهل العلم ، فالكلامكما قال الطيبي مسوق لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون ، ومن لم يكن كذلك يجب على الإمام أو نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع والله لا يحب المفسدين .وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون.

Dari analisa terhadap tafsian Imam Al-Alusi dalam potongan ayat 282 dari surat Al-Baqarah tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa :
1.    Dari segi paradigma tafsirnya, beliau menggunakan paradigma komparatif (muqaranah ), karena selain beliau menukil dari al-Qur’an, hadith, dan pendapat sahabat dan ulama, beliau juga menyertakan pendapatnya sendiri.
2. Dari segi jenis tafsirnya, tafsiran ini mempunyai jenis fiqhiyah karena memang ayatnya berkaitan dengan masalah fiqh.
3. Ditinjau dari metode analisisnya, beliau menggunakan metode analisis tafshily, karena beliau tidak hanya menerangkan makna kata, tapi juga alasan pengambilan maknanya.
4. Sama dengan kebanyakan tafsir lain, metode pengambilan data dalam tafsir ini, beliau menggunakan metode tahlili.[32]

H. Kesimpulan
Nama lengkap imam al-Alusi adalah Abu al-Ma’ali Jamaluddin bin as-Sayid Abdullah Baharuddin bin Muhammad al-Khatib al-Alusi al-Baghdadi al-Husaini. Beliau adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibunya.
Sumber Penafsiran, ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani selain menggunakan dalil nash al-Qur’an, al Hadish, aqwal al‘ulama juga ra’yi. Ra’yi inilah yang paling besar porsinya. Dan juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan ra’yi.
Tafsir ini masuk dalam golongan Tafsir Tahlili. Dalam penjelasannya al-Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
     DAFTAR PUSTAKA
Abu al Sana Syihabuddin al Sayyid Mahmud Al Alusi, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994.

Abdul Halim Mahmud Mani, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif  Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Abdullah Abu Muhammad Ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al-Jami’al-Ahkam al-Qur'an,tt: Dar al-Katib al-Arabi, t.th.

Al-Fida Abu Ismail Ibn Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, Semarang: Taha Putera, t.th.

Al-Mahalli Jalaluddin dan al-Suyuti Jalaludin, Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, , Dar al-Ilmi, Surabaya.

Al-Qaththan Man.terj. Aunur Rafiq al-Mazani, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Educatione Islamic, Kajian Tafsir Ruhul Maani Al-Alusi. Http://Blogspot.Co.Id. 06, 2014.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta,1993.

Husain adz-Dzahabiy Muhammad, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Qahirah: Dar al-Hadith, 1426.

Khalil al-Qaththan Manna’, terj. Drs. Mudzakkir AS, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992.

Muhsin Abdul Hamid, Al-Alûsi Mufassiron, (Bagdad: Matba’ah al-Ma’ârif, 1968), 42, di tulis kembali oleh Amin Rahmi Hati, Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap al-Qur’an (Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani), Riau, Skripsi Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan syarif kasim Riau, 2013.

Muhyi 414, Imam al-alusi. http://blogspot.com. 15, 09, 2012.

MF. Zenrif, Sintetis Paradigma Studi al-Qur’an, Malang: Uin Press, 2008.

Nasir Ridlwan, Diktat Mata Kuliah Studi al Qur’an,Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004.


Thahhan Mahmud, Terjemahan Taisir Mustalah al-Hadis, Maktabah al-Madinah, Riyad,1976.










[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid I,  130.
[2] Ibid.
[3] Manna’ Khalil al-Qaththan, terj. Drs. Mudzakkir AS, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992), 521.
[4] Muhsin Abdul Hamid, Al-Alûsi Mufassiron (Bagdad: Matba’ah al-Ma’ârif, 1968), 42. Di tulis kembali oleh Amin Rahmi Hati, Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap al-Qur’an, Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani (Riau, Skripsi Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan syarif kasim Riau, 2013), 15-16.
[5] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,... 161.
   [6] Hamid, Al-Alusi Mufassiron,...... 42.
[7] Ibid,........ 33.
[8] Ibid,........ 34.
   [9] Ibid.
[10] Ibid,...... 43.
[11] Ibid,...... 43-44.
[12] Ibid,...... 46.
[13] Ibid,..... 46-52.
[14] Ibid,.......52.
[15] Muhyi 414, Imam al-Alusi. http://blogspot.com. 15, 09, 2012.
[16] Mani’ ‘Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif  Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 205.
[17]Amin, Metode dan Corak,........ 24-25.
[18] Abu al Sana Syihabuddin al Sayyid Mahmud Al Alusi, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994), Juz 1, 6.
[19]Islamic Educatione, Kajian Tafsir Ruhul Maani Al-Alusi. Http://Blogspot.Co.Id. 06, 2014.
[20] Man al-qaththan.terj. Aunur Rafiq al-Mazani, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013), 448.
[22] Surah Al-Kahfi (18) : 60 -70.
[23] Abu al-Fida Ismail Ibn Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Semarang: Taha Putera, t.th), 3.
[24]  Terjemahan Mahmud Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadis (Madinah : Riyad, 1976), 69.
[25] Abu- Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al-Jami’al-Ahkam al-Qur'an  (tt: Dar al-Katib al-Arabi, t.th.), Juz XI, 9.

[26] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta : Pustaka Panjimas,1993),100-102.

[27] lihat juga dalam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaludin al-Suyuti,Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, Dar al-Ilmi, Surabaya, Juz. 2, h. 8-10.
[28] Maktabah Syamilah, Tafsir al-Alusi, Juz. 2, 384.

[29] Istilah maf’ul bih terdapat dalam ilmu nahwu yang dalam ilmu bahasa Indonesia sama dengan objek.

[30] Sudut pandang kesimpulan ini berpedoman kepada pembagian metodologi tafsir dalam MF.zenrif, Sintetis Paradigma Studi al-Qur’an (Malang: Uin Press, 2008), 50.
[32] Ridlwan Nasir, Diktat Mata Kuliah Studi al-Qur’an (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004), 3.