TAFSIR RUH AL-MA'ANI
A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan Mu’jizat
yang luar biasa, di anugrahkan kepada manusia sebagai sumber utama dari segala
ilmu yang tak pernah akan ada habisnya jika diselami. Perkembangan untuk
menyelami al-Qur’an melalui penafsiran tidaklah berhenti hanya pada masa
Rasulullah Saw saja, yang mana berkembang pada masa Sahabat, Tabi’in, Tabi’it
Tabi’in (pengikut tabiin) sampai jaman sekarang yang terasa manisnya makjizat
al-Qura’an melalui penafsiran para ulama.
Tafsir Ruhul Ma’ani merupakan karya
besar Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi,
salah seorang intelektual muda yang dimiliki Islam pada zamannya. Kitab ini
terdiri dari 15 jilid kitab ditambah 1 jilid indeks. Jadi keseluruhan ada 16
jilid.
Sebagai karya ulama
belakangan, Tafsir Ruhul Ma’ani banyak mengutip pendapat ulama
terdahulu (mutaqaddimin). Hal ini penting karena dengan
demikian rabithah (benang merah) dengan mufassir terdahulu
tetap terjaga. Selain itu Tafsir Ruhul Ma’ani juga banyak
mengemukakan pendapat ulama belakangan (mutaakhkhirin). [1]
Dengan beberapa kutipan
keterangan di atas merangsang penulis dalam memutar geliat keinginannya untuk
ingin lebih mendalami Tafsir Ruhul Ma’ani yang mempunyai keunikan
tetap konsisten mengutif penafsiran-penafsiran tafsir yang telah lampau. Namun
ketika kita lihat beberapa penafsiran tidak terlalu perduli bahkan fokus pada
pemikirannya sendiri. Hal ini menjadi problem dan acuan pemakalah untuk ingin
lebih tau bagaimana Tafsir Ruhul Ma’ani.
Maka penulis mencurahkan
pemikirannya dalam sebuah makalah, yang mana Fokus kajian makalah ini ada
empat, yaitu: riwayat hidup pengarang, guru dan murid, metode kitab tafsirnya dan
keistimewaan serta kelemahannya.
B. Riwayat Hidup Al-Alusi
Al-Alusi adalah seorang ulama yang luar biasa pada
masanya, namun dalam sebuah penamaan pengarang kitab, biasanya di sandarkan
kepada gelar, julukan atau yang lainnya. Adapun Nama lengkapnya adalah Abu
al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud al Alusi al Baghdadi.[2] Beliau
adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan Imam al-Hasan
(Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibu-Nya. Beliau dilahirkan kota Kurkh,
Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban 1217 Hijriyah. Ia dikenal dengan nama al-Alusi,
yaitu nama yang dinisbatkan kepada kampung yang bernama Alus, yaitu suatu pulau
yang terletak di tepi barat sungai Efrat antara Syam dan Baghdad.[3]
Sudah menjadi keharusan ulama terdahulu dan
kebiasaan masyarakat Arab Islam, bahwa setiap anak diharuskan untuk
mulai belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Alusi pun mulai
menghafal al-Qur’an semenjak ia berumur lima tahun di bawah bimbingan Syekh al-Malâ
Husain al-Jabûri.
Sejalan dengan bertambah umurnya, ia pun terus
belajar dan membaca teks-teks warisan ulama sebelumnya di bawah bimbingan
ayahnya, sehingga sebelum mencapai umur sepuluh tahun, ia telah mempelajari beberapa
cabang ilmu pengetahuan, fiqh syafi’iyah dan hanafiyah, mantiq,
dan hadith.[4]
Pada usia muda beliau dibimbing oleh orang
tuanya sendiri. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama besar pada masa
itu yaitu diantaranya Syaikh As-Suwaidi dan Syaikh khulaid An-Naqsyabandi.
Beliau menjadi mufti madzhab Hanafi di tahun 1248 H/ 1832 M. ia
menghayati dan mengetahui perbedaan madzhab serta berbagai corak
pemikiran dan aliran aqidah.[5]
Sebelum Imam al-Alusi mencapai umur 20 tahun,
ia telah mulai mendalami kajian tafsir al-Qur’an. Kemudian ketika berumur 21
tahun, ia diberi kepercayaan oleh gurunya, syekh ‘Alauddin untuk mengajar di
madrasah al-Khotuniyah. Di samping itu juga, ia diminta oleh Haji Nu’man
al-Bajah untuk mengajar di madrasah yang dipimpinnya, hanya saja Alusi tidak bertahan
lama, Namun, setelah itu pada tahun 1263 H. beliau melepaskan jabatan itu dan
lebih memilih untuk konsentrasi kepada penyusunan kitab tafsir Ruh al-Ma’ani.[6]
Kehidupan politik pada masa kehidupan al-Alusi
tidaklah stabil, kerena pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan, perang
saudara dan pergantian raja-rajanya. Selama al-Alusi hidup, ia menyaksikan
banyak pergantian kepemimpinan di Irak, mulai dari pemimpin-pemimpin yang memimpin
Irak cukup lama, seperti Daud Basya (1188 H/1774 M), Ali Ridha Basya (1247
H/1831 M), Muhammad Najib Basya (1258 H/1842 M), sampai pemimpin-pemimpin yang
memimpin hanya sebentar, seperti Abdi Basya (1265 H/1849 M), Muhammad Wajih
Basya (1267 H/1851 M), Muhammad Rasyid Basya (1268 H/1852 M), dan pada tahun
yang sama ia digantikan oleh Basya al-Kabir (1268 H/1852 M-1269 H/1853).[7]
Meskipun politik negara tidak setabil, kegiatan
ilmiah di Irak tetap berjalan. Pada masa itu banyak bermunculan ulama-ulama
dalam berbagai bidang ilmu, fiqh, hadis, tafsir, dan sastra (adab). Diantara
ulama dan sastrawan yang terkenal pada masa itu banyak yang berasal dari
keluarga al-Suwaidi, keluarga al-Rawi, al-Syawaf, al-Madras, al-Umari,
al-Alusi, al-Zahawi.[8] Hal ini
juga tidak terlepas dari dukungan penguasa, seperti yang dilakukan oleh Daud
Basya. Ia mendirikan sekolah-sekolah sebagai pendukung berkembangnya ilmu
pengetahuan.[9]
Setelah ayahnya meninggal dunia (1268 H/1830
M), ia meninggalkan Kurkh dan tinggal di samping mesjid syekh Abdul Qadir
al-Jili. Dari sinilah, kecerdasan, keutamaan dan ilmu Imam al-Alusi banyak diketahui
oleh orang banyak. Ketika Bagdad terjangkiti penyakit Thaun, Daud Basya turun
dari kepemimpinannya dan digantikan oleh Ali Ridha Basya. Pada masa Ali Ridha
Basya ini, al-Alusi bersembunyi dan mengasingkan diri dikarenakan banyak orang
yang tidak menyenanginya dan telah memfitnahnya.
Ketika Abdul Ghani Affandi al-Jamil ditunjuk sebagai
mufti di Baghdad, Imam al-Alusi menemuinya dan tinggal bersamanya sampai
mendapatkan kepercayaan dan pengampunan dari Ali Ridha Basya atas fitnah yang
dituduhkan kepadanya. Kemudian al-Alusi diberi kepercayaan untuk dimintai fatwa
dan pengajar di madrasah al-Qadiriyah.[10]
Pada masa Ali Ridha ini, al-Alusi menuliskan
sebuah buku “syarh al-Burhan fi Itha’at al-Sulthan” yang dihadiahkan
untuk Ali Ridha Basya, yang kemudian ia diberi kepercayaan untuk menjadi
Imam dan Khatib mesjid al-Marjan, yang tidak diberikan kecuali kepada orang
yang dianggap paling alim. Pada tahun yang sama, ia ditunjuk sebagai
mufti di Baghdah.[11]
Ketika Ali Ridha Basya digantikan oleh Muhammad
Najib Basya, jabatan mufti dan kepemimpinan al-Alusi di mesjid Marjan dicopot, dikarenakan adanya kesalah fahaman antara dirinya
dengan menteri Muhammad Najib Basya. Sehingga kehidupan dunia al-Alusi berbalik
180 derajat. Untuk mengungkapkan kesusahan hidupnya, sampai-sampai dikatakan
bahwa al-Alusi hampir memakan tikar yang digunakan sebagai tikar mesjid.[12]
Pada tahun 1267 H/1850 M, Imam al-Alusi melakukan
perjalanan menuju Istanbul. Ketika ia sampai di Maushil, ia singgah di rumah
Mahmud Afandi al-Umari yang dikenal sebagai seorang filosofis. Ketika di
Maushil inilah al-Alusi menunjukkan dan membacakan tafsir al-Qur’an (Ruh
al-Ma’ani) yang ditulis sebelumnya dalam suatu majlis yang dihadiri oleh
para ulama Maushil, dan Mereka pun merasa ta’jub dan kagum.
Selama perjalanannya ke Istanbul, al-Alusi
selalu singgah dan tinggal di tempat-tempat yang dilewatinya selama 2 hari
untuk melakukan diskusi dengan ulama-ulama setempat. Sesampainya di Istanbul
pun, tidak ada yang dilakukannya kecuali diskusi dengan ulama-ulama setempat.
Dari hasil perjalanannya, ia mendapatkan berbagai pengalaman dan pengetahuan
yang belum pernah diperoleh sebelumnya, sehingga keilmuan dan keutamaannya
banyak dikagumi oleh banyak orang.[13]
Dalam perjalanan pulangnya dari Istanbul menuju
Baghdad mulai sering sakit, dan terus menurus dari waktu ke waktu. Pada tanggal
25 Dzulqa’dah 1270 H/1854 M al-Alusi meninggal dunia dalam usia 53 tahun.[14]
C. Guru dan Muridnya
Adapun guru-guru beliau, berikut ini:
1. Ayah beliau sendiri Baharuddin al-Alusi
(lahir 1248 H – wafat 1291 H).
2. Paman beliau, al-’Allamah as-Salafi Nu’man
Khairuddin Abu al-Barakat al-Alusi.
3. Ismail bin Musthafa al-Mushili (lahir 1200 H
– wafat 1270). Beliau juga mempelajari ilmu tafsir dari Syaikh Bahaulhaq
al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang menetap di Baghdad (lahir 1256 H –
wafat 1300 H). Adapun dalam cabang ilmu Musthalah al-Hadîth, beliau belajar
kepada Syaikh Abdussalam bin Muhammad bin Said an-Najd, yang lebih populer
dengan nama asy-Syawwaf (lahir 1243 H – 1318 H). Salah satu guru Imam al-Alusi
yang lain adalah Syaikh Muhammad Amin al-Khurasini al-Farisi, dan lain-lain.
Adapun murid-murid beliau yang terkenal :
1. Muhammad Bahjah al-Atsary (lahir 1322 H –
wafat 1416 H).
2. Ma’ruf ar-Rasafi (lahir 1294 H – wafat 1364
H).
3. Nu’man bin Ahmad bin al-Haq Ismail
al-A’dhani al-Ubeidi (lahir 1293).
4. Ali Alauddin al-Alusi (lahir 1277 H – 1340
H).
5. Abdul Aziz ar-Rasyid al-Kuwaiti (wafat 1357
H).
6. Thaha bin Shalih ad-Dani (lahir 1310 H –
wafat 1365 H).
7. Ahli Bahasa Abdul Latif (wafat 1363 H).
8. Abbas al-Bazawi, ahli sejarah dari Irak yang
masyhur (wafat 1971 H).
9. Munir al-Dadi (lahir 1313 H – wafat 1340 H).
10. Sulaiman ad-Dakhil an-Najdi (lahir 1244 H, wafat
1364 H) dan lain-lain.[15]
D.
Karya-karya Imam al-Alusi
Sekitar 56 judul buku dan tulisan yang beliau
tulis, di antaranya kitab: Ghoyah al Amaani fi ar-Radh ala an-Nabhani,
sebuah kitab bantahan atas kitab “Syawahidul Haq” karya al-Nabhani yang
berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat yang lemah dan dalil-dalil
yang dibalik dalam permasalahan “ Bolehnya istighasah kepada selain
Allah, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong sunnah, semisal Ibnu
Taimiyyah”.
Setelah beliau menulis kitab ini, al-Nabhani
giat membantah dengan syair. Syair yang mencela para ulama Islam, maka beliau
membantah lagi dengan menulis kitab al-Ayah al-Kubra ala Dholah an-Nabhani
fi Raaitaihi as-Sughra. Maksud tulisan tangan kitab ini oleh beliau dapat
di jumpai di perpustakaan peninggalan sejarah yang terletak di Irak, dalam 56
halaman dengan no. 8721.
Karya-karyanya yang lain di antaranya : Hasyiyah
'ala alQatr, Syarh al-Salim, al-Ajwibah al-'Iraqiyyah ’an As'ilah
al-Lahuriyyah, al-Ajwibah al-Iraqiyyah ala As'ilah al- Iraniyyah, Durrah
al-Gawas fī Awham al-Khawass, al-Nafakhat
al Qudsiyyah fī Adab
al-Bahs Ruh al-Ma'ani fī Tafsir
al-Qur'an al-'A.zim wa al Sab'i al-Masani,[16] Nasywat
al-Syamul fi al-dzahab il Istambul, Nasywat al-Mudam fi al-‘Awd ila daar
al-Salam, Gharaib al-Ightirab wa nazhat al-Albab dan lain-lain. Di antara
karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang
disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alusi atau
Rûh al-Ma’ani.[17]
E.
Metodologi Kitab
Tafsirnya
Berbicara metodologi
pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan
penelitian atau penulisan, termasuk dalam komponen metodologi adalah sumber,
metode dan pendekatan (corak).
1). Sumber Penafsiran
Sumber-sumber
penafsiran yang dipakai al-Alusi adalah memadukan sumber al-ma’tsur
(riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya dalam menafsirkan suatu ayat
al-Alusi mengunakan sumber riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in
tentang penafsiran al-Qur’an, dan terkadang menggunakan ijtihad dirinya
sehingga keduanya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat
dipertanggungjawabkan akurasinya.
Berdasarkan hal inilah tafsir
al-Alusi digolongkankan kepada tafsir bil-Ra’yi, karena dalam
tafsirnya lebih mendominasi ijtihadnya atau ra’yinya. Hal ini juga bisa
dilihat pada isi muqaddimah kitabnya (pada faedah yang kedua), ia menyebutkan
beberapa penjelasan tafsir bil-Ra’yi dan argumen tentang bolehnya tafsir
bil-Ra’yi, termasuk kitab tafsir bil-Ra’yinya tersebut.[18]
2). Metode
Apabila kita tinjau
kembali metode penafsiran yang di tempuh oleh al-Alusi dalam menafsirkan
ayat-ayat yang tercantum di atas maka dapatlah kita katakan bahwa metode tafsir
ini adalah metode tahlili, karena al-Alusi menjelaskan tentang
arti dan maksud ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak seginya dengan
menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf, munasabah
serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan al-Alusi.
Namun, ada juga yang
mengatakan metodenya muqoron, karena terkadang saling membandingkan ayat
dengan ayat dan membandingkan pendapat demi pendapat dan di ambil yang
terbaiknya.
3). Corak
Tafsir (Pendekatan)
Dari beberapa sumber
yang ditemukan dan hasir penelitian, dalam penjelasannya al-Alusi
memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh
lafadz. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir Isyari/Sufi.
Menurut Tafsir ini ayat
memiliki dua makna, makna dzahir dan makna bathin, yang berupa isyarat samar.
Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh nabi SAW., atau para wali atau Arbab
al Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk mendekati Allah SWT).
Tafsir semacam ini apabila didasari istinbath yang bagus, sesuai dengan kaidah
bahasa Arab dan memiliki dalil penguat yang menunjukkan kebenarannya tanpa ada
yang menentang, maka dapat diterima. Apabila tidak demikian, maka dianggap
pembodohan.[19]
Menurut Ibn al Qayyim,
corak penafsiran orang itu seputar pada tiga hal pokok : Tafsir tentang lafadz,
yaitu yang dilakukan oleh orang-orang belakangan (Muta’akhrin), tafsir
tentang makna, yaitu yang dilakukan oleh mayoritas kaum sufi, dan lain-lain.
Pendekatan tafsir yang terakhir ini tidaklah terlarang selama memenuhi empat
syarat yaitu:
a. Tidak berlawanan
dengan makna lahir ayat
b. Makna itu
sendiri shahih
c. Pada lafadz yang
ditafsirkan itu mengandung indikasi makna Isyari.
d. Antara
makna isyari dan makna lahir terdapat hubungan yang erat.
4. Sistematika
penafsiran yang ditempuh oleh al-Alusi biasanya menggunakan
langkah-langkah di bawah ini:
a. Menyebutkan
ayat-ayat al-Qur’an dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat.
b. Dalam
analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih
dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian
mengutip riwayat hadish atau qaul tabi’in.
c. Menerangkan
kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada di dalam ayat tersebut dari segi
kaidah bahasa (ilmu nahwu).
d. Menafsirkan
dengan ayat-ayat lain.
e. Memberikan
keterangan dari hadis Nabawi bila ada.
f. Mengumpulkan
pendapat para penafsir terdahulu.
F.
Keistimewaan dan
Kelemahannya
1). Keistimewaan
a). Penjelasan yang
diberikan sangat luas dengan memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah
(hubungan antar surath/ayat), asbab al nuzul (sebab turunnya al-Qur’an), i’rab(ketata
bahasaan).
b). Banyak merujuk
pendapat para ahli tafsir terdahulu dan sya’ir-syair Arab.
c). Banyak menjelaskan
makna samar yang diisyaratkan oleh ayat yang sulit dijangkau oleh manusia
biasa, sehingga memperkaya khazanah keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan
terhadap al-Qur’an.
2). Kelemahan
a). Keluasan pembahasan
terkadang juga menjemukan, terutama bagi pembaca pemula.
b). Munasabah dan asbab
al nuzul jarang dijelaskan.
c). Sangat jarang mengemukakan
dalil nash baik al-Qur’an maupun al Hadith.[21]
G. Contoh Aplikasi Penafsiran
Salah satu contoh
penafsiran al-Alusi adalah tentang kisah pertemuan
Musa as dengan Khidir as yang disebutkan dalam Surah Al-Kahfi (18) : 60 -70.
Sebagai berikut :
øÎ)ur ^$s%
4ÓyqãB
çm9tFxÿÏ9
Iw ßytö/r& #_¨Lym x÷è=ö/r& yìyJôftB Ç`÷tóst7ø9$# ÷rr& zÓÅÓøBr& $Y7à)ãm
ÇÏÉÈ $£Jn=sù
$tón=t/
yìyJøgxC $yJÎgÏZ÷t/
$ušnS
$yJßgs?qãm xsªB$$sù ¼ã&s#Î6y Îû
Ìóst7ø9$# $\/u|
ÇÏÊÈ $£Jn=sù
#yur%y` tA$s%
çm9tFxÿÏ9
$oYÏ?#uä $tRuä!#yxî
ôs)s9 $uZÉ)s9 `ÏB
$tRÌxÿy
#x»yd $Y7|ÁtR
ÇÏËÈ tA$s%
|M÷uäur& øÎ) !$uZ÷urr& n<Î)
Íot÷¢Á9$#
ÎoTÎ*sù àMÅ¡nS
|Nqçtø:$#
!$tBur çmÏ^9|¡øSr& wÎ) ß`»sÜø¤±9$# ÷br& ¼çntä.ør&
4
xsªB$#ur ¼ã&s#Î6y Îû
Ìóst7ø9$# $Y7pgx
ÇÏÌÈ tA$s%
y7Ï9ºs
$tB
$¨Zä.
Æ÷ö7tR 4
#£s?ö$$sù
#n?tã $yJÏdÍ$rO#uä
$TÁ|Ás%
ÇÏÍÈ #yy`uqsù
#Yö6tã
ô`ÏiB
!$tRÏ$t6Ïã
çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB
$tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur
`ÏB
$¯Rà$©!
$VJù=Ïã
ÇÏÎÈ tA$s%
¼çms9
4ÓyqãB
ö@yd y7ãèÎ7¨?r& #n?tã br&
Ç`yJÏk=yèè?
$£JÏB
|MôJÏk=ãã
#Yô©â
ÇÏÏÈ tA$s%
y7¨RÎ) `s9
yìÏÜtGó¡n@
zÓÉëtB #Zö9|¹
ÇÏÐÈ y#øx.ur çÉ9óÁs? 4n?tã $tB
óOs9 ñÝÏtéB ¾ÏmÎ/
#Zö9äz
ÇÏÑÈ tA$s%
þÎTßÉftFy bÎ)
uä!$x© ª!$# #\Î/$|¹ Iwur ÓÅÂôãr&
y7s9 #\øBr&
ÇÏÒÈ tA$s%
ÈbÎ*sù ÓÍ_tF÷èt7¨?$#
xsù ÓÍ_ù=t«ó¡s?
`tã
>äóÓx« #Ó¨Lym y^Ï÷né& y7s9 çm÷ZÏB #[ø.Ï
ÇÐÉÈ
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
muridnya : "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan
dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka
tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala
mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah
kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari
tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya
kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh
sekali".
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita
cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu
supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sanggup sabar bersama aku. dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai
orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".
Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan
kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya
kepadamu".[22]
Dalam menjelaskan sebab terjadinya
pertemuan antara Musa dengan Khidir, al-Alusi mengutip, sebuah hadish riwayat
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas
dari Ubay ibn Ka'ab yang artinya sebagai berikut: Suatu ketika Musa
berdiri berpidato di hadapan kaumnya, yaitu bani Israil, lalu beliau ditanya : "Siapakah orang yang paling
alim?". Jawab Musa:" Saya”.
Dengan jawaban itu Musa mendapat kecaman dari
Tuhannya, sebab beliau tidak
mengembalikan ilmu tadi kepada Allah SWT. Kemudian
Allah memberikan wahyu kepadanya, yang isinya : "Sesungguhnya Aku mempunyai hamba yang berada di majma'al Bahrain.
Dia lebih pandai dari kamu.......”.
Berdasarkan hadith tersebut maka al-Alusi menafsirkan bahwa
yang dimaksud "Musa" dalam ayat tersebut adalah Musa Ibn Imran,
seorang Nabi bani Israil. Pendapat ini menurutnya merupakan pendapat
yang sahih. Di samping itu, al-Alusi mengemukakan
adanya pendapat ahli kitab, sebagian ahli hadis dan ahli sejarah
yang mengatakan bahwa Musa
yang disebut dalam ayat tersebut bukanlah Musa Ibn Imran, melainkan Musa Ibn Afrasim Ibn Yusuf, yaitu
Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa Ibn
Imran. Hal itu didasarkan
kepada alasan-alasan sebagai berikut :
1.
Tidak
rasional jika seorang Nabi belajar kepada selain Nabi, alasan ini dibantah oleh al-Alusi bahwa Musa
itu bukan belajar kepada selain nabi, akan tetapi dia belajar
kepada seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika alasan ini juga
belum memuaskan mereka, dengan dalih bahwa Musa Ibn Imran lebih utama dari
Khidir, al-Alusi memberikan
jawaban, adalah sah-sah saja jika
seorang yang derajatnya lebih utama itu belajar kepada orang yang derajatnya di
bawahnya.
Sebab
secara logika, tidak menutup kemungkinan ilmu yang
dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya (al-mafdul) ternyata
tidak dimiliki
oleh orang yang lebih tinggi keutamaannya (al-afdal), sebagaimana dikatakan dalam kalam masal :
"Qad yujad fi al-Mafdul ma Yujadu fi al-Fadil”. Terkadang
ditemukan sesuatu pada orang yang berada dibawah keutamaannya sesuatu yang
tidak ditemukan pada orang yang utama."
2. Musa, setelah keluar dari Mesir bersama
kaumnya ke al-Tih (gurun pasir Sinai), tidak pernah meninggalkan al-Tih dan
wafat di sana. Pada hal jika kisah ini
berkaitan dengan Musa Ibn Imran tentu nabi Musa harus keluar dari al-Tih, karena
kisah itu mungkin tidak terjadi di Mesir sebagai mana kesepakatan orang.
3. Jika kisah tersebut berkaitan dengan Musa Ibn
Imran, tentunya untuk beberapa hari, ia harus tidak kelihatan
oleh kaumnya. Dengan demikian
tentunya orang-orang Bani Israil yang
bersamanya mengetahui kisah tersebut dan akan diceritakan kepada orang
lain, sebab kisah tersebut mengandung hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu
tidak terjadi. Maka jelas bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Musa Ibn
Imran.
Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi,
bahwa Musa keluar dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah
tersebut terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan
beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibti, begitu pula tidak ada
kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di Mesir.
Demi kian juga kepergian Musa untuk menemui Khidir
terjadi secara luar biasa. Tidak diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi
untuk bermunajat kepada Tuhannya. Musa tidak menceritakan kepada kaumnya mengenai hakikat kepergiannya,
sebab khawatir jika
diceritakan akan merendahkan derajat ("gengsi") Musa di
hadapan kaumnya, mengingat umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu
(yakni Musa berguru kepada Khidir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan
martabat kenabian Musa." Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah
itu tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran tidak perlu dipedulikan, sebab secara
logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Allah SWT dan Rasul-Nya telah
menjelaskannya.
Adapun fata Musa (pemuda yang menemani Musa) adalah
Yusya' ibn Nun ibn Nun ibn Afrasyim ibn Yusuf. Disebut fata sebab dia biasa
melayani Nabi Musa. Orang-orang Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan
fata, sebab pelayan itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba salih yang ditemui
Musa? Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khidir, dan pendapat ini juga dianut
oleh al-Alusi berdasar hadis sahih riwayat Imam al-Bukhara dan Imam Muslim.
Bagaimana pendapat al-Alusi
tentang status Khidir, apakah ia seorang Rasul, Nabi atau yang
lain? Dalam hal
ini ada beberapa pendapat
menurut al-Alusi :
Pertama, Khidir itu seorang nabi, bukan seorang Rasul. Inilah
pendapat jumhur ulama, berdasarkan firman Allah yang berbunyi : "atainahu rahmatan min 'indina?. Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud
rahmat adalah wahyu dan kenabian. Al-Alusi
cenderung sependapat dengan jumhur ulama. Kedua, Khidir
adalah seorang Rasul.
Dalam hal ini, al-Alusi tidak menyebutkan alasan mereka yang
berpendapat demikian. Ketiga, Khidir adalah malaikat. Pendapat
ini menurut al-Alusi dianggap garib(nyleneh), sebagaimana
dijelaskan juga dalam kitab Syarh Muslim. Keempat, Khidir
adalah seorang wali. Pendapat ini diikuti oleh Imam
al-Qusyairi.
Pendapat jumhur itulah yang lebih kuat, sebab beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani untuk
memperkuat pendapat tersebut, yaitu : Pertama, Ucapan Khidir yang disebutkan dalam
al-Qur'an : "wa ma fa'altuhu'an arnri....” memberikan isyarat bahwa yang dilakukannya itu bukan atas kehendak dirinya, melainkan
atas perintah Allah (baca :
wahyu). Kedua, Jika
ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari Musa? Ketiga, Jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya? Keempat, hadis
Bukhari Muslim yang menjelaskan bahwa Khidir itu seorang Nabi.
Inilah yang dikenal dengan penafsiran bi al-ma'sur, yaitu penafsiran yang berdasar
penjelasan langsung dari Nabi, dan nilai penafsirannya menurut para ulama termasuk yang paling bagus.[23]
Lalu bagaimana dengan tempat
pertemuan Musa dan Khidir? Pertemuan Musa dengan
Khidir oleh al-Qur'an hanya dikatakan di Majma’ al-Bahrain. Menurut
al-Alusi, untuk menentukan di mana
letak Majma' al Bahrain harus berdasarkan riwayat yang sahih. Dalam
hal ini al-Alusi mengemukakan beberapa riwayat,
antara lain :
Pertama, riwayat
Mujahid, Qatadah dan lainnya, bahwa yang
dimaksud dengan Majma'
al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah
pendapat yang diikuti oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat Ibn Athiyyah
bahwa majma’
al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga, Muhammad
ibn Ka'ab al-Qurazi berpendapat bahwa majma’
al-Bahrain berada di Tanjah yaitu pertemuan
antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik
di Selat Gibraltar (Jabal Tariq).
Mengetahui di mana majma’ al-Bahrain bukanlah
hal yang penting dalam kisah tersebut, mengingat
al-Qur'an sendiri tidak menjelaskannya. Maka lebih baik hal itu di mauqufkan
saja, apalagi tidak ditemukan hadis sahih dari
Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya al-Alusi juga banyak menjelaskan riwayat-riwayat lain, selain yang di atas tadi. Namun sigat (bentuk) riwayatnya menggunakan bentuk fi'il
mabni majhul, yaitu dengan kata qi1a, yang dalam kaedah Ilmu Musthalah Hadish
disebut dengan.sigatal-tamrid (bentuk
penyataan bahwa riwayat tersebut
"sakit") yang berarti riwayat tersebut lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah.[24]
Al-Alusi juga menjelaskan adanya penafsiran secara metaforis (majazi), yaitu bahwa majma’al-Bahrain adalah
Nabi Musa dan Khidir itu sendiri,
sebab keduanya merupakan lautan ilmu. Namun, menurut al-Alusi,
ta'wil orang sufi seperti itu yang tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq al-kalam (konteks
kalimat).
Ayat yang
berbunyi hatta abluga majma al-bahrain berarti sehingga saya sampai ke tempat dua laut. Jadi, majma' al-bahrain itu sebagai objek,
sedang damir (kata ganti)
yang ada pada kata abluga yang merujuk pada Nabi Musa sebagai Fa'il
(Subjek). Al-Alusi sendiri menafsirkan majma’
al-bahrain dengan multaq al-bahrain yang merupakan nota bene isim makan, yaitu kata benda
yang menunjukkan tempat. Demikian pula al-Qurtubi menolak penafsiran secara metaforis tersebut, sebab
dalam hadis sahib
juga dinyatakan lautan air.[25]
Selanjutnya, dalam menafsirkan
ayat wa'allamnahu mil ladunna
'ilma, al-Alusi menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan dasar yang
dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang
disebut pula dengan ilmu hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang
diberikan langsung oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh
tanpa taufiq-Nya, ilmu yang tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak
dapat diukur kadarnya (ilmu gaib).
Adapun cara pemberian
ilmu laduni tersebut ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantaraan wahyu yang
di dengar dari malaikat sebagaimana wahyu al-Qur'an yang diterima Nabi
Muhammad. Kedua, mungkin pula melalui isyarat dari malaikat, tanpa menjelaskan
dengan kata-kata. Inilah yang juga disebut ilham dan malaikat yang membawanya
juga disebut malaikat ilham. Ilham dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk
mendapatkan ilham ladunni diperlukan pensucian batin (tatir al - qa1b).
Oleh sebab itu, sebagian orang menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat.
Sebagian orang sufi beranggapan bahwa ilmu
batin atau ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata lain, orang yang telah menggapai
derajat ilmu hakikat boleh menyalahi
syariat dengan alasan bahwa Khidir jugatelah
menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan tersebut dibantah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi
menyatakan haza za'mun batil, 'ati
al-khayal fasidun. Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong, ilusi dan salah.
Bantahan al-Alusi
sangat tepat, sebab jika ilmu hakikat dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka
seseorang dapat saja mengaku telah mencapai tingkat hakikat sebagai alasan
untuk meninggalkan syariat. Akibatnya akan terjadi "desyari'atisasi"
atau sikap anti syariat, dan klaim bahwa ia telah gugur dari kewajiban
menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, Syaikh
Tahir Salih al-Jaza'iri menolak keras pandangan seperti itu.
Beliau mengatakan "Adalah kufur orang yang menduga bahwa dalam syariat ada dimensi batin
yang boleh menyalahi dimensi lahirnya, lalu ia mengklaim bahwa ia telah sampai
kepada tingkatan hakikat."
Dalam ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, tarikah dan haqiqah. Syariat
yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir
yang ditentukan misalnya seperti hukum halal-haram, sunah makruh dan
sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, jihad, zakat,
haji dan lain-lain.
Sedang tariqah
adalah jalan yang harus
ditempuh oleh seorang untuk mendapatkan kerida'an-Nya
dalam mengerjakan syariat, seperti sikap ikhlas, sabar, taubat, muraqabah dan sebagainya. Sedangkan
haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak
perjalanan spiritual seseorang.[26]
Ketiga dataran (syariah, tarikat, hakikat)
tersebut harus dilihat dengan paradigma struktural
sekaligus fungsional, di mana satu dengan lainnya tidak boleh
dipisah-pisahkan.
Sebagaimana disebut di
dalam kitab Bidayah
al-Azkiya', bahwa hubungan ketiga dataran
(syariat, tarikat dan hakikat)
digambarkan sebagai berikut : "Syariat
itu ibarat perahu, sedang tarikat bagaikan laut dan hakikat
itu inti mutiaranya yang mahal." Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan
hakikat, ia tetap terkena taklif (tugas)
syariat untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur'an dan hadis.
Berkenaan dengan Surah
al-Kahfi (18) : 66-70 penjelasan al-Alusi
secara ringkas sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Khidir,
maka Musa minta izin kepada Khidir untuk mengikutinya dan minta agar Khidir mau
mengajarinya. Hal ini dapat di pahami dari ayat : hal attabi’uka 'ala
antu'allimani mimma'ullimta rusyda. Huruf 'ala, menurut kaidah bahasa Arab
berarti bahwa jumlah sesudahnya merupakan syarat.
Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut al-Alusi berarti isabatul khair (ilmu
yang dengannya seseorang dapat tepat dalam mengetahui kebaikan). Nabi
Khidir-pun mau menerima permintaan Musa
dengan catatan jika nanti berada di perjalanan Musa melihat hal-hal yang
aneh yang dilakukan Khidir, dia
tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa
tak akan mampu menyertainya. Hal
itu tampak daripernyataan Khidir yang direkam dalam al-Qur'an (Surah al-Kahfi :
66-67).[27]
Contoh yang
lain dalam surat Al-Baqarah, 282:[28]
يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ
إلى أَجَلٍ مُّسَمًّى فاكتبوه فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل { يَأَيُّهَا
الذين ءامَنُواْ } بالله تعالى وبما جاء منه { إِذَا
تَدَايَنتُم } أي تعاملتم وداين بعضكم بعضاً { بِدَيْنٍ } فائدة
ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء بمعنى تعاملتم بدين ،
وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه أن السياق يرفع لأن الكلام في النصوصية على أن السياق
قد لا يتنبه له إلا الفطن ، وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير إذ لولاه لقيل : فاكتبوا
الدين فلم يكن النظم بذلك الحسن عند ذي الذوق العارف بأساليب الكلام ، واعترض بأن
التداين يدل عليه فيكون من باب ) اعدلوا هُوَ أَقْرَبُ ( [
المائدة : 8 ] وأجيب بأن الدين لا يراد به المصدر بل هو أحد العوضين ولا دلالة
للتداين عليه إلا من حيث السياق ولا يكتفي به في معرض البيان لا سيما وهو ملبس،
وقيل : ذكر لأنه أبين لتنويع الدين إلى مؤجل ، وحال لما في التنكير من الشيوع
والتبعيض لما خص بالغاية ولو لم يذكر لاحتمل أن الدين لا يكون إلا كذلك{ إلى
أَجَلٍ } أي وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون صفة للدين أي مؤخر
أو مؤجل إلى أجل {مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما
مما يفيد العلم ويرفع الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض {
فاكتبوه } أي الدين بأجله لأنه أرفق وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله
سبحانه : { فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا } والآية عند بعض
ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك، وابن عباس يخص الدين بالسلم فقد أخرج البخاري عنه
أنه قال : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن
الله تعالى أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل الإمام مالك بها على جواز تأجيل
القرض { وَلْيَكْتُب
بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور بها وتعيين من
يتولاها إثر الأمر بها إجمالاً،ومفعول يكتب محذوف ثقة بانفهامه أو للقصد إلى إيقاع
نفس الفعل والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب أن لا ينفرد به أحد
المتعاملين دفعاً للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب من
شأنه التسوية وعدم الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً
لغواً متعلقاً بكاتب أو بفعله ، والمراد أمر المتداينين على طريق الكناية بكتابة
عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه موثوقاً به متفقاً عليه بين أهل العلم ، فالكلام
كما قال الطيبي مسوق لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو اشتراط الفقاهة في
الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل
بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون ، ومن لم يكن كذلك
يجب على الإمام أو نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع والله لا يحب المفسدين
. وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا
من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل
مأمون.
Penjelasan:
Pada tafsiran
potongan ayat di atas, beliau mengawali tafsirnya dengan tidak sekalipun mengambil
sumber dari ayat lain, hadith atau pendapat sahabat. Artinya, beliau cenderung
bersumber dari analisis ar-ra’yi meskipun hanya sebatas
pamaknahan kata.
{ يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ } بالله
تعالى وبما جاء منه { إِذَا تَدَايَنتُم } أي تعاملتم وداين
بعضكم بعضاً { بِدَيْنٍ } فائدة ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام
نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء بمعنى تعاملتم بدين ، وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه
أن السياق يرفع لأن الكلام في النصوصية على أن السياق قد لا يتنبه له إلا الفطن ،
وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير إذ لولاه لقيل : فاكتبوا الدين فلم يكن النظم بذلك
الحسن عند ذي الذوق العارف بأساليب الكلام
Selanjutnya, beliau menjelaskan ada ulama yang
berpendapat bahwa kata تَدَايَنتُم itu satu bab dengan
ayat pada surat Al-Maidah ayat 8 dengan pernyataannya :
واعترض بأن
التداين يدل عليه فيكون من باب ) اعدلوا هُوَ أَقْرَبُ ( [
المائدة]
Setelah itu,
beliau menganalisnya sendiri secara nahwiyah dan berkomentar
bahwa kata التداين itu berasal dari kata دَيْنٍ dengan
penjelasannya :
وأجيب بأن
الدين لا يراد به المصدر بل هو أحد العوضين ولا دلالة للتداين عليه إلا من حيث
السياق ولا يكتفي به في معرض البيان لا سيما وهو ملبس، وقيل : ذكر لأنه أبين
لتنويع الدين إلى مؤجل ، وحال لما في التنكير من الشيوع والتبعيض لما خص بالغاية
ولو لم يذكر لاحتمل أن الدين لا يكون إلا كذلك { إلى أَجَلٍ } أي
وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون صفة للدين أي مؤخر أو مؤجل إلى أجل {
مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما مما يفيد العلم ويرفع
الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض { فاكتبوه }
أي الدين بأجله لأنه أرفق
وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله سبحانه : { فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم
بَعْضًا } والآية عند بعض ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك،
Sebagian dari
metode bil-ma’tsurnya, beliau melanjutkan penafsirannya dengan
mengambil pendapat imam Ibnu Abbas, hadish yang diriwayatkan Imam Bukhari, dan
istidlal dari Imam Malik seperti berikut :
وابن عباس يخص الدين بالسلم فقد أخرج البخاري عنه أنه قال : أشهد
أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله تعالى أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل
الإمام مالك بها على جواز تأجيل القرض .
Selanjutnya,
beliau mengulas lagi salah satu kata secara nahwiyah mengenai
kata يَكْتُب yang menurut beliau maf’ul bih[29]
dari fiil tersebut dibuang (tidak dicantumkan /makhdzuf) dan
seterusnya.
{ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور
بها وتعيين من يتولاها إثر الأمر بها إجمالاً، ومفعول يكتب محذوف ثقة
بانفهامه أو للقصد إلى إيقاع نفس الفعل والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب
أن لا ينفرد به أحد المتعاملين دفعاً للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب من شأنه
التسوية وعدم الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً لغواً
متعلقاً بكاتب أو بفعله
Seperti yang
kami bahas dalam biografinya, imam Al-Alusi juga tenar ahli ijtihad (fiqh)
sehingga hal ini mempengaruhi corak penafsirannya dalam ayat ini dengan
analisis fiqh sekalipun ia juga mengambil beberapa pendapat fuqaha.[30] Hal
ini nampak dalam penafsirannya diatas dengan kalimat:[31]
والمراد أمر المتداينين على طريق الكناية بكتابة عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه
موثوقاً به متفقاً عليه بين أهل العلم ، فالكلامكما قال الطيبي مسوق
لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على
التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على
أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون ، ومن لم يكن كذلك يجب على الإمام أو
نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع والله لا يحب المفسدين .وهو اشتراط
الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً
ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون.
Dari analisa terhadap
tafsian Imam Al-Alusi dalam potongan ayat 282 dari surat Al-Baqarah tersebut,
secara singkat dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari segi paradigma
tafsirnya, beliau menggunakan paradigma komparatif (muqaranah ),
karena selain beliau menukil dari al-Qur’an, hadith, dan pendapat sahabat dan
ulama, beliau juga menyertakan pendapatnya sendiri.
2. Dari segi jenis
tafsirnya, tafsiran ini mempunyai jenis fiqhiyah karena memang
ayatnya berkaitan dengan masalah fiqh.
3. Ditinjau dari metode
analisisnya, beliau menggunakan metode analisis tafshily, karena
beliau tidak hanya menerangkan makna kata, tapi juga alasan pengambilan
maknanya.
4. Sama dengan kebanyakan
tafsir lain, metode pengambilan data dalam tafsir ini, beliau menggunakan
metode tahlili.[32]
H. Kesimpulan
Nama lengkap imam
al-Alusi adalah Abu al-Ma’ali Jamaluddin bin as-Sayid Abdullah Baharuddin bin
Muhammad al-Khatib al-Alusi al-Baghdadi al-Husaini. Beliau adalah
keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan imam al-Hasan (Ibnu
Ali bin Abi Thalib) dari ibunya.
Sumber Penafsiran,
ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani selain menggunakan dalil
nash al-Qur’an, al Hadish, aqwal al‘ulama juga ra’yi. Ra’yi inilah yang
paling besar porsinya. Dan juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil
iqtirani, yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur
juga menggunakan ra’yi.
Tafsir ini masuk dalam
golongan Tafsir Tahlili. Dalam penjelasannya al-Alusi memiliki
kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan
penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu al Sana Syihabuddin
al Sayyid Mahmud Al Alusi, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa
al Sab’ al Masani, Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994.
Abdul Halim Mahmud Mani, Metodologi Tafsir,
Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Abdullah
Abu Muhammad Ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al-Jami’al-Ahkam
al-Qur'an,tt: Dar al-Katib al-Arabi, t.th.
Al-Fida Abu Ismail Ibn
Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Azim, Semarang: Taha Putera, t.th.
Al-Mahalli Jalaluddin dan al-Suyuti
Jalaludin, Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim, , Dar al-Ilmi, Surabaya.
Al-Qaththan Man.terj. Aunur Rafiq
al-Mazani, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2013.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta,1993.
Husain adz-Dzahabiy Muhammad, at-Tafsir wa
al-Mufassirun, Qahirah: Dar al-Hadith, 1426.
Khalil al-Qaththan Manna’, terj. Drs. Mudzakkir
AS, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1992.
Muhsin Abdul Hamid, Al-Alûsi Mufassiron,
(Bagdad: Matba’ah al-Ma’ârif, 1968), 42, di tulis kembali oleh Amin Rahmi Hati,
Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap al-Qur’an (Analisa
Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani), Riau, Skripsi Jurusan Tafsir Hadith
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan syarif kasim Riau, 2013.
MF. Zenrif, Sintetis Paradigma Studi al-Qur’an,
Malang: Uin Press, 2008.
Nasir Ridlwan, Diktat Mata Kuliah
Studi al Qur’an,Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004.
Thahhan Mahmud, Terjemahan Taisir
Mustalah al-Hadis, Maktabah al-Madinah, Riyad,1976.
Toegazku, Analisa Metode Penafsiran Imam
Al-Alusi, Http : //. Blogspot . Com. 10 -2010. 23 - 11 -
2011.
[1] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), Jilid I, 130.
[3] Manna’ Khalil al-Qaththan,
terj. Drs. Mudzakkir AS, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Jakarta: PT. Litera
Antar Nusa, 1992), 521.
[4] Muhsin Abdul Hamid, Al-Alûsi
Mufassiron (Bagdad: Matba’ah al-Ma’ârif, 1968), 42. Di tulis kembali oleh
Amin Rahmi Hati, Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi Terhadap
al-Qur’an, Analisa Terhadap Tafsir Ruh al-Ma’ani (Riau, Skripsi Jurusan
Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan syarif kasim
Riau, 2013), 15-16.
[7] Ibid,........ 33.
[8] Ibid,........ 34.
[10] Ibid,...... 43.
[11] Ibid,...... 43-44.
[12] Ibid,...... 46.
[14] Ibid,.......52.
[16] Mani’ ‘Abdul Halim Mahmud, Metodologi
Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 205.
[17]Amin, Metode dan Corak,........ 24-25.
[18] Abu al Sana Syihabuddin al Sayyid Mahmud Al
Alusi, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani (Beirut:
Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994), Juz 1, 6.
[20] Man al-qaththan.terj.
Aunur Rafiq al-Mazani, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Jakarta timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2013), 448.
[21] Riuisme, Ruhul Ma
Ani Fi Tafsir Al-Qur An Al-Azim Wal Alsab Al-Masani. Https : // Wordpress
. Com. 31, 03, 2010.
[25] Abu- Abdullah Muhammad Ibn
Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al-Jami’al-Ahkam al-Qur'an (tt:
Dar al-Katib al-Arabi, t.th.), Juz XI, 9.
[27] lihat juga dalam
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaludin al-Suyuti,Tafsir al-Qur’anul ‘Adzim,
Dar al-Ilmi, Surabaya, Juz. 2, h. 8-10.
[29] Istilah maf’ul bih terdapat dalam ilmu nahwu yang dalam
ilmu bahasa Indonesia sama dengan objek.
[30] Sudut pandang kesimpulan ini berpedoman kepada pembagian metodologi tafsir
dalam MF.zenrif, Sintetis Paradigma Studi al-Qur’an (Malang: Uin Press,
2008), 50.
[31] Toegazku, Analisa Metode Penafsiran Imam
Al-Alusi, Http : //. Blogspot . Com. 10 -2010. 23 - 11 -
2011.