MADKHAL ILA MAQASID AL-SHARI’AH
(Masuknya Maqashid Al-Shari'ah)
A. Pendahuluan
Al-Qur’an bagaikan matahari yang menyinari
terangnya siang, bagaikan bulan yang menyinari gelapnya malam, dan udara yang
memberikan kehidupan bagi seluruh Alam. Keindahan al-Qur’an merupakan anugrah
dari Allah dan manfaatnya sangat luar biasa tidak terbatas oleh waktu dan zaman,
salah satunya tentang hukum kehidupan.
Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal
dengan istilah Maqashid al-shari'ah merupakan salah satu konsep penting
dalam kajian hukum Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-shari'ah tersebut,
para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-shari'ah sebagai sesuatu
yang mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik
manfaat dan menolak madharat.
Istilah yang sepadan dengan inti dari Maqashid
al-Shari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam
harus bermuara kepada maslahat. Perlu diketahui bahwa Allah sebagai shari' (yang
menetapkan syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan
tetapi hukum dan aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagaimana dikutip
oleh Khairul Umam (2001:127), menyatakan bahwa tujuan syari'at adalah
kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.[1] Syari'at
semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Setiap
masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah pasti bukan
ketentuan syari'at, sementara itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi
umat Islam di era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius berkaitan
dengan hukum Islam.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengetahuan
tentang Maqashid al-Shari'ah dalam
kajian hukum Islam merupakan yang sangat penting, maka dengan beberapa
kegelisahan yang timbul dari kutipan di atas, penulis mencoba mencurahkannya
dalam sebuah makalah yang berjudul : Madkhal Ila Maqasid al-Shari’ah (Masuknya
Maqashid al-Shari'ah).
B. Pengertian dan Kandungan Maqashid al-Shari'ah
Secara bahasa Maqashid
al-Shari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Shari’ah. Maqashid
bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Shari’ah
diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan.
Sedangkan Maqashid Shari’ah
menurut terminology ada beberapa pendapat, diantaranya :
Menurut Ibnu
al-Qayyim Al Jauziyah, menegaskan bahawa shari’ah
itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan
zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan
kepada manusia.[2]
Menurut Ibnu
Asyur, berpendapat bahwa maqashid
adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada hukum-hukum yang
disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian, menurut beliau maqashid
terbagi menjadi dua yaitu maqashid umum dan
maqashid khusus. Maqashid umum
dapat dilihat dari hukum-hukum yang melibatkan semua individu secara umum,
sedangkan maqashid khusus cara yanag dilakukan oleh shari’ah
untuk merealisasikan kepentingan umum melalui tindakan seseorang.[3]
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017)
mendefinisikan maqashid shari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan
yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar
hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan
oleh syara' pada setiap hukumnya.[4]
Jadi, dari definisi di
atas penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Shari’ah
adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-shari`ah
dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat
sebagaimana dalam ungkapannya adalah :
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في
الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk
merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan
duniawiyah secara bersama-sama”.[5]
C. Sejarah Perkembangan Maqashid Shari’ah
Maqashid Shari’ah sebagai
sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada sejak nash al-Qur’an
diturunkan dan hadith disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam. Karena maqashid shari’ah pada dasarnya tidak pernah
meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin
dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat-Nya tidak lain adalah untuk
kemaslahatan makhluk-Nya.
Menurut Raisuni, barangkali orang yang paling
awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah Al-Hakim
Al-Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya Al-Shalatu wa Maqashiduha. Tapi
jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid
shari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum Al-Tirmidzi. Karena
Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang
menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.[6]
Kemudian
setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat
populer Al-Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil
al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid
kulliyyah seperti hifzhu al-nafs dan hifzhu al-mal, yang
merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah Imam
Syafi’i, muncul Al-Hakim Al-Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad Al-Qaffal Al-Kabir
(w. 365 H) dalam kitabnya Mahasinu Al-Shari’ah, yang mencoba membahas
alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh
manusia.
Kemudian datang setelahnya Al-Syaikh Al-Shaduq
(w. 381 H) dengan kitabnya Ilalu Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang
mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama
Syi’ah, dan Al-‘Amiri (w. 381 H) dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi
Al-Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia
menyinggung tentang Dharuriyyat Al-Khams (lima hal pokok yang dijaga
dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang
merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid shari’ah.
Setelah
itu datang Imam Al-Haramain (w. 478 H) dalam kitabnya Al- Burhan yang
menyinggung tentang dharuriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga
menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Al- Ghazali
(w. 505 H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan
menawarkan cara untuk menjaga maqashid shari’ah dari dua sisi al-wujud
(yang mengokohkan eksistensinya) dan al-‘adam ( menjaga hal-hal yang
bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian
Imam Al-Razi (w. 606 H), lalu Imam Al-Amidi (w. 631 H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd
Al-Salam (w. 660 H), kemudian Al-Qarafi (w. 684 H), Al-Thufi (w. 716 H), Ibnu
Taimiyyah (w. 728 H), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H), baru setelah itu
disusul oleh Imam Al-Syatibi. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu
maqashid shari’ah, Imam Al- Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas
oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh Imam Al-Syatibi bisa
menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang
tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi
sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya Al-Muwafaqat dimana ia mengkhususkan
pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz
isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh
ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan
sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih
mudah untuk dipelajari.[7]
Hal
inilah yang menjadi kontribusi signifikan Imam Al-Syatibi dalam ilmu maqashid
shari’ah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang
pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk
membahas maqashid shari’ah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393
H) pada akhirnya mempromosikan maqashid shari’ah ini sebagai
sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[8]
Berdasarkan
pelacakan historis, dapat diketahui bahwa perumus pertama konsep maqashid shari’ah
adalah Abu Mansur Al-Maturidi. Sedangkan perumus komposisi dan stratifikasi
maqashid shari’ah pertama kali disampaikan oleh Imam Al-Haramain
Al-Juwaini sebagaimana yang termaksud dalam kitabnya, Al-Burhan fi Ushul
Al-Fiqh. Beliau sendiri tidak menyebutnya sebagai maqashid shari’ah,
tetapi lebih pada kajian analisis‘illat-‘illat hukum. Memasuki periode
Ibnu Taimiyyah, nampaknya konsep maqashid shari’ah masih belum merupakan
konsep yang sistemik walau telah mempertegas bahwa kemaslahatan menjadi tujuan
akhir suatu hukum. Oleh karena itu, konsep atau teori maqashid shari’ah secara
sistemik, adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Al-Syathibi dalam karya
monumentalnya, Al- Muwafaqat fi Ushul Al-Shari’ah.[9]
D. Macam-macam dan Pembagian Maqashid as-Shari’ah
Menurut al-Ghazali, mashlahat menyangkut lima hal berikut.
هذه المصالح
الخمس حفظها واقع فى رتبة الضروريات فهو اقوى المراتب فى المصالح ومثاله قضاء
الشرع بقتل الكافر المضل وعقوبة المبتدع الداعي الى بدعته. فإن هذا يفوت على الخلق
دينهم وقضاؤه بإجاب القصاص إذبه خفظ النفوس وإيجاب الحد للشرب إذبه حفظ العقول
التى هي ملاك التكليف وإيجاب حد الزنا إذبه حفظ النسل وإيجاب زجر النصاب والسراق
إذبه يحصل حفظ الاموال التي هي معاش الناس وهم مضطرون اليها
“Maslahat-maslahat yang lima ini memeliharanya terletak dalam martabat
dhoruriyat. Ialah sekuat-kuat martabat kemaslahata, contohnya ialah: syara’
menetapkan supaya orang kafir yang menyesatkan orang lain dibunuh, demikian
pula penganut bid’ah yang mengajak orang lain kepada bid’ahnya karena yang
demikian ini merusakkan keagamaan terhadap masyarakat. Dan seperti syara’
menetapkan kewajiban qishas terhadap pembunuhan untuk memelihara jiwa dan
seperti mewajibkan hukum minuman memabukkan karena dengan hukuman itulah
dipelihara akal sebagai sendi taklif. Dan seperti mewajibkan hukuman zina
karena dengan hukuman itulah terpelihara keturunan dan mewajibkan kita mendera
pembongkar kuburan dan pencuri karena dengan dialah terpelihara harta yang
menjadi kehajatan hidup manusia sedang mereka memerlukannya.”
Maqâshid al-sharî’ah memiliki kategori dan peringkat
yang tidak sama. Al-Syâthibiy membagi maqâshid ke dalam tiga kategori,
yakni dlarûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah. Pengkategorian
maqâshid tersebut didasarkan pada seberapa besar peran dan fungsi suatu
mashlahah bagi kehidupan makhluk. Jika suatu bentuk mashlahah memiliki fungsi
yang sangat besar bagi makhluk, yang mana jika bentuk mashlahah tersebut tidak
terpenuhi maka kemaslahatan makhluk di dunia tidak dapat berjalan stabil (lam
tajri mashâlih al-dunyâ ’alâ istiqâmah) atau terjadi ketimpangan dan
ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl
al-nidhâm fî al-ummah) dan kemaslahatan di akhirat yakni keselamatan dari
siksa neraka tidak tercapai, maka tujuan tersebut masuk dalam kategori maqâshid
dlarûriyyah.[10]
Maqâshid dlarûriyyah meliputi pemeliharaan terhadap
agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasab), dan harta (mâl).
Namun tidak selamanya lima Maqashid tersebut masuk dalam kategori dlarûriyyah,
adakalanya bersifat hâjiyyah atau tahsîniyyah. Berikut klasifikasi lima
Maqashid ketika dlarûriyyah, hâjiyyah, maupun tahsîniyyah.
1). Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat :
a). Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat
primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu
diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
b). Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu
melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti
shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini
tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita
mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c). Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan
tempat.
2). Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya
dibedakan menjadi tiga peringkat :
a). Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti
memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b). Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti
dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal,
kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia,
melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c). Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti
ditetapkan tata cara makan dan minum.
3). Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan
menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti
diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b). Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti
dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan (umum).
c). Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti
menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak
berfaedah.
4). Memelihara Keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya
dibedakan menjadi tiga yaitu:
a). Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah
seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b). Memelihara
keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan
mahar pada waktu akad nikah.
c). Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat
seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
5). Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a). Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti
syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang
dengan cara yang tidak sah.
b). Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti
syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c). Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti
ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.[11]
E. Syarat-syarat
Berhujjah Dengan Maqashid Al-Shari’ah
Selanjutnya,
dalam sisi legalitas hujjahnya, maqâshid al-sharî’ah haruslah
memenuhi empat macam kriteria [12]:
1). Maqashid
Shari’ah Haruslah Tsabit, (ثابت )
Maksudnya bahwa sebuah hikmah dari pensyari’atan hukum
bisa direkomendasikan sebagai tujuan syari’at apabila dapat dipastikan
keberadaannya, atau terdapat dzhanni (asumsi) yang mendekati
kepastian.
2). Maqashid Shari’ah Haruslah Zhahir ( ظاهر )
Dalam artian bahwa para ulama’ tidak
mempertentangkan wujud keberadaanya sebagai tujuan syari’at (‘illat).
Seperti pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk memelihara garis keturunan,
tujan semacam ini tidak dipungkiri oleh seorangpun ulama’.
3). Maqashid Shari’ah Haruslah Mundlabith ( منضبط )
Maksudnya bahwa suatu hikmah harus mempunyai standar
yang jelas (jami’ mani’), seperti perlindungan terhadap akal (hifzh
al-aql) yang merupakan tujuan diharamkannyakhamr.
4). Maqashid Shar’ah Haruslah Muththarid ( منطرد )
Maksudnya suatu hikmah haruslah stabil dan
berke-sinambungan, tidak berbeda-beda atau berubah karena perbedaan atau
perubahan dimensi ruang dan waktu. Seperti keislaman dan kemampuan atas nafkah
yang menjadi persyaratan dari kafa’ah dalam nikah. Dengan
demikian setiap hikmah yang telah memenuhi keempat kriteria di atas, bisa
dinyatakan sebagai maqashid shari’ah. Sedangkan hal-hal yang hanya
berdasarkan wahm(kemungkinan tanpa dasar) atau takhayyul (imajinasi)
dapat dipastikan bukan merupakan maqashid al-shari’ah.[13]
Menurut as-Syathibi, maslahah sebagai maqasid shariah harus mutlak dan
universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan
relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah
dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi,
pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas
memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang bukan
merupakan pertimbangan syari’ dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan
dalam budaya adat.
Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf
(memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan
berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari
melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun
dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan
orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang
hukuman.[14]
F. Kaidah-kaidah Umum yang Merupakan Turunan dari Maqashid Al- Shari’ah
Berdasarkan asas maslahah tersebut di atas, maka para
ulama beristimbath sehingga menghasilkan turunan kaidah-kaidah ushuliyah,
diantaranya :
1). الضرورات تبيح
المحظورات
Kondisi darurat dapat membolehkan perkara yang
dilarang.
Contohnya : Memakan sesuatu yang haram karena dharurat.
2). الضرر يزال
Kemudharatan harus dihilangkan.
Contoh: khiyar (pilihan) dalam
mengembalikan barang ketika jual beli karena ada kekurangan dalam barang
tersebut, jaminan, berobat ketika sakit.
3). الضرورات تقدر
بقدرها
Kondisi darurat memiliki batasan tertentu.
Contoh : Mengkonsumsi barang yang haram terbatas pada
menyelamatkan jiwa saja, bukan dijadikan kebutuhan pokok.
4). المشقة تجلب
التيسير
Kesulitan mendatangkan kemudahan.
Contoh : Shalat jamak dan qashar dalam perjalanan.
5). يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Kemudharatan yang sifatnya lebih kecil bisa di
kalahkan untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Contoh : Ibnu Taimiyah membiarkan seorang pemabuk
untuk minum khamar, karena jika ia tidak minum khamar maka ia akan membunuh
banyak kaum muslimin di sekitar tempat itu.
6)درء المفاسد أو لى من جلب المصالح.
Mencegah
kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.
Contoh : larangan ekspor barang keluar negeri karena
kondisi dalam negeri membutuhkan barang tersebut pada kondisi sulit.[15]
G. Peran Maqashid Al-Shari’ah Dalam Pengembangan Hukum Islam
Pengetahuan
tentang Maqashid Shari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab
Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk
memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum
terhadap kasus yang tidak tertampung oleh al-Qur’an dan sunnah secara kajian
kebahasaan.[16]
Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari
wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan
selalu berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah
hukum Islam yang sumber utamanya (al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa
abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial.
Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa
diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan
salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-shari'ah. Kedua,
dilihat dari aspek historis (sejarah), sesungguhnya perhatian terhadap teori
ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid
sesudahnya.
Ketiga, pengetahuan tentang maqashid
al-shari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena
di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar
sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang
pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash shari'ah itu tidak dapat dipahami
secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-shari'ah (tujuan
hukum).[17]
Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili
(1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan
persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan
membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui
rahasia-rahasia shari'ah.[18]
Metode istinbat,
seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah
metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid shari’ah. Qiyas,
misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid shari’ahnya
yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh,
tentang kasus diharamkannya minuman khamar yang terdapat pada Surah al-Maidah
ayat 90 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[19],
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.[20]
Dari hasil penelitian
ulama ditemukan bahwa maqasid shari’ah dari diharamkannya khamar
ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian,
yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat
memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh
dari yang memabukkan.
Dari sini dapat
dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam
suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi).
Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau
hadith yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang
dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).[21]
Memang, bila diteliti semua perintah dan
larangan Allah dalam al-Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam
sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai
tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam,
yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam
beberapa ayat al-Qur'an, di antaranya dalam surat al-Anbiya' :107, tentang
tujuan Nabi Muhammad diutus :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali
menjadi rahmat bagi seluruh alam".[22]
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas
diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu
dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang
sehat.
Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal
itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu
karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya
oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.
Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk
mewujudkan kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta
menyemarakkan dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada
jenjangjenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena
dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-shari'ah adalah hikmah dan illat
ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat.
Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara
objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai
dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu
adanya hukum.
Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi
tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.
Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan
untuk manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini
bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu
yang akan datang.
2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan
keburukan yang sering diistilahkan dengan dar' al-mafasid.
Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk
menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan
adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan
kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier.
H. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa Maqashid
al-Shari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini
sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat
mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat.
Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada
landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup shari'ah
yang bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu
selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.
Adapun menurut
As-Syathibi maqashid al-shari'ah tersusunan dari beberapa tingkatan, diantaranya:
a) Hifdz
ad-Din (memelihara agama) memiliki tiga tingkatan
b) Hifdz
an-Nafs (memelihara jiwa)
c) Hifdz al-Aql (memelihara akal)
d) Hifdz
an-Nasl / an-Nasb (memelihara keturunan)
e) Hifdz al-Mal (memelihara harta benda).
Selanjutnya, dalam sisi legalitas hujjahnya, Syarat-syarat
Berhujjah dengan Maqashid al-Shari’ah harus memenuhi
empat macam kriteria, diantanarnya :
1). Maqashid
Shari’ah Haruslah Tsabit, (ثابت )
2). Maqashid
Shari’ah Haruslah Zhahir ( ظاهر )
3). Maqashid
Shari’ah Haruslah Mundlabith ( منضبط )
4). Maqashid
Shar’ah Haruslah Muththarid ( منطرد )
DAFTAR PUSTAKA
A.
Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih, Jakarta: Kencana, 2010.
Al-Zuhaili
Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Al-Jauziyyah Ibn Qayyim, I'lam
al-Muwaqqi'in, Beirut,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996.
Effendi Satria, Ushul
Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Gumilar
Jajang, dkk, Metode Penetapan Hukum
Melalui Maqashid Al-Shari’ah. Semarang, Artikel Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013.
Jumantoro Totok, Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah, 2009.
Khallaf Abd al-Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh,
Kairo: Maktabah al-Da'wah al- Islamiyah, 1968.
Khalid Mas’ud Muhammad, ter. Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, Surabaya : Al Ikhlas, 1995.
Nursidin
Ghilman, Konstruksi Pemikiran Maqashid Shari’ah Imam Al-Haramain Al-Juwaini
( Kajian Sosio-Historis ), Semarang : Sinopsis Tesis Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2012.
Thâhir
Muhammad bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Sharî’ah al-Islâmiyyah, Amman: Dâr
al-Nafâ’is, 2000.
Umam
Khairul, Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Yahya Acmad, Maqasid
Shariah, http://.blogspot.co.id. 01, 2014.
[1] Khairul Umam, Ushul Fiqih (Bandung,
Pustaka Setia, 2001), 127.
[2] Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in (Beirut,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), jilid 3,h. 37.
[3] Muhammad Thâhir bin
‘Asyûr, Maqâshid al-Sharî’ah al-Islâmiyyah (Amman: Dâr al-Nafâ’is, 200),
190-194.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami
(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 1017.
[6] Ghilman Nursidin, Konstruksi Pemikiran Maqashid Shari’ah
Imam Al-Haramain Al-Juwaini ( Kajian Sosio-Historis ), (Semarang : Sinopsis
Tesis Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo
Semarang, 2012), 9.
[7] Ibid,... 10.
[9] Al-Muwafaqat bermakna
kompromistik antara dua pandangan ulama besar, Ibnu al-Qasim dan Abu Hanifah.
Sebelum bernama Al-Muwafaqat, kitab asalnya bernama Al-Ta’rif bi
Asrar al-Taklif. Berdasarkan masukan dari berbagai ulama sezamannya dan
hasil mimpinya, akhirnya ia merubah nama karyanya dengan Al-Muwafaqat.
[11] Acmad Yahya, Maqasid
Shariah, http://.blogspot.co.id. 01, 2014.
[13] Ibid,.
[14] Muhammad Khalid
Mas’ud, ter. Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial
(Surabaya : Al Ikhlas, 1995), 225.
[15] Kitab Al Wajiz fi Ushulil fiqh,... 383. Lihat juga fauzan Abuna, Maqashid
Shariah, Http : //. Blogspot .Co. Id. 05, 2013.
[17] Abd
al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da'wah al- Islamiyah,
1968), 198.
[18] Al-Zuhaili,
Ushul al-Fiqh,........ 1017.
[19] Al-Azlaam artinya: anak panah yang belum
pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu
untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak.
Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah
ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang
ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam
Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru
kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka
akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah
yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya,
Maka undian diulang sekali lagi.
[21] Jajang Gumilar, dkk, Metode Penetapan Hukum
Melalui Maqashid Al-Shari’ah (Semarang, Artikel Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2013).