“Analisis dan
Kritik Metode Hermeneutika Al-Qur’an
Muhammad
Syahrur ”
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi
Ujian
Akhir Semester Matakuliah
“ Hermeneutika
”
Dosen
Pengampu:
Dr. Imam
Annas Muslihin, M.HI
Dr.
Wahidul Anam, M.Ag
Oleh:
Alam
Tarlam
NIM : 922.001.14.010
PROGRAM PASCASARJANA
STUDI
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2014 / 2015
ABSTRAK
Hermeneutika
adalah suatu bidang ilmu, untuk memahami sebuah teks. Kajian teks hermeneutik,
diantaranya meliputi Bible, taurat, injil, termasuk al-Qur’an yang diasumsikan
oleh sebagian besar umat Islam sebagai teks sentral sebagai rujukan dan panduan
hidup. Sudah barang tentu, keberadaan al-Qur’an haruslah bisa diterapkan dalam
segala ruang dan waktu.
Pesan
Tuhan yang dibakukan dalam mushaf al-Qur’an harus selalu di dialekan dengan
pemahaman intelegensi manusia. Jika tidak, maka al-Qur’an hanya akan menjadi
lembaran kertas kuno hasil dari warisan budaya masa lampau.
Muhammad
Sahrur dan para pemikir Islam kontemporer yang lain melihat banyak kelemahan
dalam metodologi penafsiran yang dikembangkan oleh mufassir-mufassir klasik
yang memberlakukan teks al-Qur’an secara pasif dan rigid, tidak menempatkan
teks dalam dialektika konteks dan kontekstualisasinya. Sehingga kenyataan ini
menyebabkan pemahaman umat Islam akan pesan Tuhan tidak bisa menyeluruh.
Oleh
karenanya, menurut Syahrur diperlukan metode, pendekatan, prosedur, dan pisau
analisa baru yang bisa mengisi celah-celah kebuntuan metodologis umat Islam
ketika hanya berpegang pada seperangkat ilmu tafsir tradisional. Tidak
berlebihan, jika hermeneutika ala Sahrur kemudian menjadi alternatif baru model
pembacaan dalam upaya menggali dan memahami pesan Tuhan yang tertera dalam
al-Qur’an dan teks-teks keagamaan yang lain.
A. Pendahuluan
Dengan perkembangan zaman,
pemaknaan dan keaslian al-Qur’an semakain terlihat keluar biasaannya. Dewasa
ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang
teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya adalah agar
teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari satu
miliar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas
sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian
al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan
tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan
gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an
yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad
Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader.
Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an
yang komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal
sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan
ruang tertentu, melainkan bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu
beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya.
Beberapa teori syahrur sangat penomenal dan membawa
pengaruh besar di masannya sebagai kajian hermeneutik/pemahaman al-Qur’an, oleh
sebab itu penulis ingin mencoba menguk bagaimana teori-teorinya dalam memahami
al-Qur’an, yang mana dihimpun dalam sebuah makalah, yang berjudul : Analisis dan
Kritik Metode Hermeneutika Al Quran Muhammad Syahrur
B.
Biografi Muhammad Syahrur
Nama lengkap dari pemikir Islam
liberal ini adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Ia dilahirkan di Perempatan
Salihiyah, Damaskus, Syria pada tanggal 11 April 1938.[1]
Syria merupakan salah satu negara yang pernah mengalami problem modernitas
khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi barat.
Problema ini muncul karena
disamping Syria pernah diinvasi oleh Prancis dampak dari gerakan modernisasi
turki, di Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyah (di Turki), dan problema
ini memunculkan tokoh-tokoh misalnya Jamal al-Din, al-Qasimy (1866-1914). Muhammad Syahrur adalah anak kelima dari seorang
tukang celup yang bernama Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun.
Syahrur dikaruniai lima orang anak yaitu Tariq, Al Lais, Basul, Masum dan Rima dengan
seorang istri bernama Azizah.[2]
Pendidikan dasar dan menengahnya
ditempuh di Syria sampai memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1957
dari lembaga pendidikan Abdur Rahman Al Kawakibi, Damaskus.[3]
Pada
tahun 1958 dia memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke Saratow di
Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari teknik sipil dan pada tahun 1964, berhasil
menyelesaikan program diploma teknik sipil.
Pada tahun 1965, Muhammad Syahrur
kembali ke Syria dengan gelar Sarjana Teknik Sipil dan mengajar di Fakultas
Teknik Sipil Universitas Damaskus. Selanjutnya pada tahun 1968, oleh universitas
dia dikirim ke Ireland National University, Irlandia yang kemudian mengantarkannya
memperoleh gelar Magister (1969) dan Doktor (1972) dalam spesialisasi Mekanika
Pertanahan dan Fondasi.
Kemudian ia diangkat sebagai
Profesor Jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) dan pada
tahun 1982-1983 Syahrur dikirim oleh Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga
ahli pada Al Sand Consult di Arab Saudi. Selain itu bersama rekan- rekannya,
dia membuka Biro Konsultan Teknik Dar al Istisyarah al Handasiyah di Damaskus.[4]
C. Karya-Karya Syahrur
Dalam
beberapa karyanya, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah al-Mu’ashirah yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Prinsip dan Dasar
Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer, kemudian Dirasat Islamiyah
Mu’ashirah fi al Daulah wa al Mujtama’, Al Iman wa al Islam : Manzumat al
Qiyam, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami : Fiqh al Mar’ah, Masyru’ Mitsaq
al ‘amal al Islami diterjemahkan dengan judul Metodologi Fiqh
Islam Kontemporer, dan beberapa artikel tentang keIslaman lainnya,
beliau menjumpai sejumlah pro-kontra atas pemikirannya dari para tokoh dunia.[5]
D. Latar Belakang Pemikiran Syahrur
Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan
intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari
problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk
pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai
respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di
masyarakat. Syahrur dalam mengkonstruk pemikirannya, khususnya yang terkait
dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah
secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman
kontemporer. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema
berikut :
1. Tiadanya petunjuk metodologis
dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan oleh rasa takut
dan ragu-ragu yang dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci tersebut.
Padahal syarat utama dalam pengkajian ilmiah adalah dengan pandangan obyektif
terhadap sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
2. Adanya penggunaan produk hukum
masa lalu untuk diterapkan dalam persoalan kekinian. Misalnya adalah pemikiran
hukum tentang wanita. Untuk itulah perlu adanya fiqh dengan metodologi baru yang
tidak hanya terbatas pada al-fuqaha` al-khamsah.
3. Tidak adanya pemanfaatan dan
interaksi filsafat humaniora (al-falsafah al-insaniyah). Hal ini
disebabkan oleh adanya dualisme ilmu pengetahuan, yakni Islam dan non
Islam.Tidak adanya interaksi tersebut berakibat pada mandulnya pemikiran Islam.
4. Tidak adanya epistimologi Islam
yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi madhab-madhab
yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam sehingga pemikiran Islam
menjadi sempit dan tidak berkembang.
5. Produk-produk fiqh yang ada
sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan
tuntutan modernitas yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru.
Kegelisahan
semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, tapi, umumnya hanya
berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.
Didasarkan atas bahwa kebenaran
ilmiah bersifat tentatif, Syahrur lalu mencoba mengelaborasi
kelemahan-kelemahan dunia Islam tersebut. Sehingga muncullah
pemikiran-pemikirannya yang dianggap banyak orang sebagai sebuah pemikiran yang
kontroversional.
Selain itu, Syahrur juga melihat
terjadinya polarisasi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang
berpedoman secara kaku arti literal dari tradisi. Mereka beranggapan bahwa apa
yang cocok bagi generasi awal umat Islam juga cocok dan sesuai dengan generasi
umat masa kini. Kedua, mereka yang menyerukan sekulerisme dan modernitas yang
menolak semua pemikiran Islam, termasuk al-Qur’an. Mereka adalah kaum Marxis,
Komunis dan beberapa tokoh nasionalis Arab.[6]
E. Hermeneutika
Syahrur
Sebagai
landasan proyek hermeneutikanya, ada tiga kunci dasar yang digunakan.
Pertama, kainunah (kondisi berada). Kedua, sairurah (kondisi
berproses). Ketiga shairuurah (kondisi menjadi). Ketiga kunci
dasar tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam
kajian apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theologi), alam
(naturalistik), maupun manusia (antropologi).
Persoalan
tentang ke-Tuhanan, alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan
selalu mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas
dari perjalanan masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang
terus mengalami perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah
akan selalu mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai
goal/tujuan.
Kainunah atau being ( keberadaan)
adalah awal dari sesuatu yang ada, Sairurah (proses) adalah gerak
perjalanan masa, sementara shairuurah atau becoming (menjadi)
adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah melalui “fase
berproses”.[7]
Landasan
dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam
memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah dalam bahasa Amin
Abdullah sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir
beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensikainunah yang
tak lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus
berkembang bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
zaman, sehingga proyek metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi
berproses” dari perjalanan tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik
bisa jadi telah usang karena mengalami “kondisi menjadi”.
1.
Pengingkaran Sinonimitas
Metodologi
yang diperkenalkan Syahrur dalam pemikirannya adalah pendekatan linguistik yang
disebut sebagai manhaj al-tarikhi. Awalnya beliau
menggabungkan metode linguistiknya Abu Ali al-Farisi, Ibnu Jinni, dan Abdul
Qadir al-Jurjani. Akan tetapi akhirnya beliau menyimpulkan tidak adanya
sinonimitas dalam bahasa Arab dan menjadikan Mu’jam Maqayis
al-Lughah karya Ibnu Faris sebagai penganut ketiadaan sinonimitas
sebagai referensi wajibnya. Ketiadaan sinonimitas inilah kemudian menjadi salah
satu dari prinsip metode penafsirannya.
Menurutnya
setiap ungkapan dalam bahasa Arab memiliki makna yang independen. Tidak ada
kontektualisasi baik bagi teks, penerimaanya maupun penyusunanya. Dengan kata
lain al-Qur’an adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang
bediri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang
menjadi tujuan pewahyuan itu. Baginya konteks terpenting dalam memahami al-Qur’an
adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat.
Pengingkaran
sinonimitas Syahrur berimplikasi pada redefinisi term-term yang selama ini
dianggap bersinonim, seperti al-kitab, al-Qur’an, al-Furqan, dan sebagainya.
Selain itu, juga berimplikasi pada klasifikasi al-Qur’an. Oleh Syahrur,
al-Qur’an terbagi menjadi dua, ayat-ayat dengan dimensi kenabian dan
kerisalahan. Dalam dimensi kenabian, terdapat ayat mutasyabih dan
ayat la muhkam wa la mutasyabih [8]
(Tafshil al-Kitab) yang dipahami berdasar pada “wa ukharu
mutasyabihat” bukan “wa al-ukharu mutasyabihat” karena
keduanya tentu sangat berbeda makna. Ayat mutasyabih juga
terbagi menjadi dua, al-Qur’an al-Adzim dan Sab’ul
Matsani. Dari sisi kandungannya berisi tentang ayat informasi
baik tentang akidah, kisah, dan pengetahuan ilmiah sehingga tidak dapat dirubah
dan berada di luar lingkup ikhtiar manusia yang kemudian disebut dengan qadar.[9]
Ayat mutasyabih termasuk
dalam dimensi nubuwwah karena di dalamnya terdiri dari
ayat-ayat bayyinat (hukum alam objektif-empiris) yang bisa diterima oleh semua kalangan. Ayat mutasyabih secara
redaksional bercirikan tetap pada bentuk tekstualnya serta berubah dan relatif pada aspek pemahamannya.
Sedangkan
ayat muhkam oleh Syahrur disebut sebagai umm
al-Kitab dan masuk pada dimensi kerisalahan sebagai pentunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa dan pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan
dalam dimensi nubuwwah.[10] Ayat muhkam terdiri
atas ibadah, hukum, muamalah yang bersifat hududy/limit atau
memiliki variasi batasan dan tidak berbentuk legal-spesifik tekstual.
2. Teori
Hudud/Limit
Dalam kajian Islam, jika menyebut
seorang Syahrur, maka seakan-akan tidak nyaman apabila belum meraba
teori hudud atau teori limit-nya. Apa yang dimaksud teori
limit atau hudud adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat)
sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran
al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam
wilayah batas hukum Allah. Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut,
lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit
theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd
aladna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal).
Kontribusi dari teori ini
sebagaimana dikutip dari buku Epistemologi Tafsir Kontemporer: pertama, dengan
teori limit, ayat-ayat hukum yang selama ini dianggap final dan pasti
tanpa ada alternatif pemahaman lain ternyata memiliki kemungkinan untuk
diinterpretasikan secara baru dan Syahrur mampu menjelaskannya secara
metodologis dan mengaplikasikannya dalam penafsirannya melalui pendekatan
matematis. Kedua, dengan teori limit, seorang mufassir akan mampu
menjaga sakralitas teks tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan
ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam
batas-batas hukum Allah.[11]
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam
menyusun teori batas pada al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 13-14.
ù=Ï? ßrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜã
©!$# ¼ã&s!qßuur
ã&ù#Åzôã ;M»¨Zy_ Ìôfs? `ÏB
$ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# úïÏ$Î#»yz $ygÏù
4 Ï9ºsur
ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÌÈ ÆtBur ÄÈ÷èt
©!$# ¼ã&s!qßuur
£yètGtur ¼çnyrßãn ã&ù#Åzôã #·$tR
#V$Î#»yz
$ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.[12]
Dan Barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya;
dan baginya siksa yang menghinakan.[13]
Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka
hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk
menetapkan batasan-batasan beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakIkatnya
otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad
dalam Islam.[14]
Hukum yang ditetapkan Nabi lebih
bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan
peradaban masarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak
bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang
untuk melihat al-Qur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar
belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berargumen dengan dalil
fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus.
Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang
terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu
ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup
harmonis dengan alam semesta.
Demikian halnya kandungan hanifiyyah
dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian
anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk
mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah
menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks
inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih
merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyyah untuk
mengatur masyarakat.
Dalam bentuk matematisnya, Syahrur
menggambarkan hubungan antara alhanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva
dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.[15]
Sumbu X menggambarkan zaman atau
konteks waktu sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan
oleh Allah Swt. Kurva ini menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak
sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hukum yang telah ditentukan oleh
Allah pada sumbu Y.
Berdasarkan kajiannya terhadap
ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang
dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut: [16]
a. Halah al-had al-a’la (posisi
batas maksimal).
Daerah hasil (range) dari
persamaan fungsi y (Y) = f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki
satu titik batas maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang
sejajar dengan sumbu x. Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38
mengenai pencuri.
ä-Í$¡¡9$#ur
èps%Í$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù
$yJßgtÏ÷r&
Lä!#ty_
$yJÎ/
$t7|¡x.
Wx»s3tR
z`ÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
îÍtã
ÒOÅ3ym
ÇÌÑÈ
laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[17]
Baik laki-laki maupun perempuan
maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum.
Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung
pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.
b. Halah al-hadd al-adna (posisi
batas minimal).
Daerah hasilnya berbentuk kurva
tebuka yang memiliki satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit
dengan garis lurus ang sejajar dengan sumbu x. Dalam batas minimum ini Syahrur
mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan
yang disebutkan pada surat an-Nisa`: 22:
wur
(#qßsÅ3Zs?
$tB
yxs3tR
Nà2ät!$t/#uä
ÆÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
wÎ)
$tB
ôs%
y#n=y
4
¼çm¯RÎ)
tb$2
Zpt±Ås»sù
$\Fø)tBur
uä!$yur
¸xÎ6y
ÇËËÈ
Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Dalam kondisi apapun tidak boleh
melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad”.
Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisa : 23:
ôMtBÌhãm
öNà6øn=tã
öNä3çG»yg¨Bé&
öNä3è?$oYt/ur
öNà6è?ºuqyzr&ur
öNä3çG»£Jtãur
öNä3çG»n=»yzur
ßN$oYt/ur
ËF{$#
ßN$oYt/ur
ÏM÷zW{$#
ãNà6çF»yg¨Bé&ur
ûÓÉL»©9$#
öNä3oY÷è|Êör&
Nà6è?ºuqyzr&ur
ÆÏiB
Ïpyè»|ʧ9$#
àM»yg¨Bé&ur
öNä3ͬ!$|¡ÎS
ãNà6ç6Í´¯»t/uur
ÓÉL»©9$#
Îû
Nà2Íqàfãm
`ÏiB
ãNä3ͬ!$|¡ÎpS
ÓÉL»©9$#
OçFù=yzy
£`ÎgÎ/
bÎ*sù
öN©9
(#qçRqä3s?
OçFù=yzy
ÆÎgÎ/
xsù
yy$oYã_
öNà6øn=tæ
ã@Í´¯»n=ymur
ãNà6ͬ!$oYö/r&
tûïÉ©9$#
ô`ÏB
öNà6Î7»n=ô¹r&
br&ur
(#qãèyJôfs?
ú÷üt/
Èû÷ütG÷zW{$#
wÎ)
$tB
ôs%
y#n=y
3
cÎ)
©!$#
tb%x.
#Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇËÌÈ
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[18]
Dalam kondisi apapun tidak seorang
pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun
didasarkan pada ijtihad.
c. Halah al-haddayn al-a’la wa
al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan
dengan batas minimal).
Daerah hasilnya berupa kurva
tertutup dan terbuka yang masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan
minimum. Kedua titik balik trsebut terletak berhimpit dengan garis lurus yang
sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah
al-ini’taf) yang tepat berada diantara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan
halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan
hukum secara mutlak).
Batasan ini berlaku pada pemabagian
harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11.
ÞOä3Ϲqã
ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9
ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù
Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB
x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur
$ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur
Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$#
$£JÏB
x8ts? bÎ)
tb%x.
¼çms9
Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur
ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r&
ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$#
4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s!
×ouq÷zÎ)
ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$#
4 .`ÏB Ï÷èt/
7p§Ï¹ur
ÓÅ»qã !$pkÍ5
÷rr& Aûøïy
3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs?
öNßgr&
Ü>tø%r&
ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù
ÆÏiB
«!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
d. Halah al-mustaqim (posisi
lurus tanpa alternatif).
Daerah hasilnya berupa garis lurus
sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan
titik alik maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Ketentuan ini hanya
terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan.
Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh
kurang dan tidak boleh lebih.
e. Halah al-hadd al-a’la li hadd
al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi
batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan).
Daerah hasilnya berupa kurva
terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x
dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik
final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala
la nibayah). Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara
lakilaki dan perempuan.
Hubungan fisik terjadi antara
manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan
tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling
tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina.
Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke
zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan
maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina
maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f. Halah al-hadd al-a’la mujaban wa
al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif
dan batas minimal negatif).
Daerah hasilnya berupa kurva
gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di daerah positif (kedua
variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah
negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit
dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Teori batas keenam inilah yang
kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam
peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian
adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negatif
(-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah
peminjaman bebas bunga (qardh hasan).
Wilayah ijitihad manusia, menurut
Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan
fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola
yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang
telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudud-u-Allah
(ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak
dapat dianggap keluar dari hukum Allah.
Melalui teori limit, Syahrur ingin
melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamat secara produktif dan prospektif (qira’ah
muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qira’ah
mutakarrirah). Dan dengan teori limit juga, Syahrur ingin membuktikan bahwa
ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan
waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya
terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqamah) serta gerak
dinamis dan lentur (hanifiyyah). Sifat kelenturan Islam ini berada dalam
bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or
restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang
telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia).
Kerangka analisis teori limit yang
berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang
lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang
beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah
aljadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah
diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam (tasyri’),
sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam
secara terus-menerus.[19]
3.
Pembatasan Aurat Bagi Wanita
Dari teori yang selanjutnya yang cukup menggelitik adalah teori dalam masalah
batasan aurat bagi manusia, Syahrur memberikan batasan yang rancu, terlebih
untuk batas aurat bagi wanita. Sebagaimana teori limit, Syahrur juga memberikan
batas atas dan bawah untuk aurat manusia. Bagi pria, batas atasnya ialah
alat kelamin, dubur, dan kedua selangkangan, sedangkan batas bawahnya ialah
yang selain itu. Untuk wanita sendiri batasan atasnya auratnya sama dengan
pria, dengan tambahan kedua dadanya, dan batasan bawahnya ialah selain itu.[20]
Disini Syahrur jelas telah mendekonstruksi Syariah Islam dalam hal batasan
aurat. Dalam Islam sendiri pun batasan aurat bagi wanita ialah seluruh tubuhnya
kecuali muka dan telapak tangan, tanpa mengenal istilah batas atas atau batas
bawah.
Menurut ia
juga, batasan aurat bagi wanita yang sekarang ialah suatu hal yang terbentuk
oleh konstruk masyarakat, bukan hal yang ditetapkan secara pasti oleh syariah
Islam. Ia merujuk kepada awal mula Islam muncul. Menurutnya, ada perbedaan cara
berpakaian bagi wanita arab dahulu. Bagi wanita yang menyandang status budak,
maka ia tidak menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagi wanita yang menyandang
status merdeka, maka ia menutupi seluruh tubuhnya.
Setelah Islam datang, maka cara berpakaian
wanita yang merdeka dijadikan landasan untuk menetapkan batasan menutup pakaian
bagi seluruh wanita Islam.[21]
Hal ini menurut Syahrur merupakan suatu hal yang terbentuk oleh konstruk
masyarakat, bukan ditetapkan oleh Islam sendiri.
Bahkan lebih
jauh lagi, melalui Syahrur memperbolehkan untuk melihat aurat orang lain.
Hal ini ia dasari dari interpretasi dia mengenai ayat Al Quran :
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB (tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr&$tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Hai orang-orang yang
beriman, supaya kamu beruntung.
Kata “ Yagdudna
min Absoorihinna” menurut Syahrur mengandung indikasi bahwasanya seseorang
hendaklah menahan sebagian dari pandangannya dan kemaluannya agar tidak
ditunjukkan. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang harus menutupi seluruh
batasan auranya, tetapi hanya sebagiannya saja. Hal ini berkaitan dengan rasa
malu dan apa yang dikatakan Syahrur dengan “ as suluk al ijtima’i”
atau etika sosial. Dengan kata lain, menurut Syahrur sah-sah saja bila seorang
wanita menunjukkan auratnya dan bagian tubuhnya, selain aurat yang ditetapkan
oleh batasan maksimal seperti diatas, kepada khalayak umum, selama ia tidak
merasa malu atau keberatan.[22]
E. Kritik Atas
Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Syahrur
1. Latar belakang akademik Syahrur
Kalau kita lihat dari biografinya, dari beberapa
teorinya yang sangat menggelitik, Syahrur tidak mempunyai latar belakang
tentang studi Islam, terutama dalam aspek bahasa. Yusuf Soidawi, dalam bukunya
“ Baidotu ad Diik” mengungkan kritik secara terperinci dan
sistematis mengenai kesalahan-kesalahan bahasa dalam buku “Al-Kitab wa Al-
Quran” nya Syahrur.
Diantara kesalahan yang ia ungkapkan ialah bagaimana
Syahrur telah salah dalam mengambil dan memaknai asli kata Al-Kitab, dimana
menurut Yusuf Soidawi sendiri dalam bukunya dalam memberikan definisi dan asli
kata Al-Kitab Syahrur tidak menguasai sejarah dan perkembangan bahasa Arab itu
sendiri.[23]
Di bagian lain, Syahrur juga memabagi ayat al-Qur’an dalam dua bagian utama :
ayat muhkam dan mutasyabih. Menurut Yusuf Yusuf Soidawi sendiri,
pengklasifikasian ini tidak didasari oleh ilmu nahwu dan sorf yang kuat, dimana
Syahrur telah salah memahami susunan makna ayat ini dari aspek tatanan
bahasanya.[24]
2. Kritik Tentang Teori sinonimitas
Selain beberapa kritikan Yusuf terhadap ketidak cakapan Syahrur dalam
kajian bahasa Arab, Yusuf juga menyampaikan kritik kerasnya terhadap penolakan
Syahrur akan penolakan teori sinonimitas. Menurut Yusuf, penolakan Syahrur akan
sinonimitas dalam bahasa merupakan hal yang tidak berdasar. Sebaliknya, Yusuf
dengan lantang mengatakan akan adanya sinonimitas dalam bahasa, bukan hanya
dalam bahasa arab saja, tetapi juga dalam semua bahasa.
Hal ini menurutnya ialah sebuah keniscayaan di dalam sebuah bahasa. Yusuf
sendiri memberikan contoh dalam bukunya beberapa kata yang memiliki makna yang
sama. Misalnya kata as saif dan al hisam yang
keduanya merujuk kepada satu makna yaitu pedang. Kemudian ada juga kata ‘uqul dan albab yang
keduanya bermakna sama yaitu orang yang berakal. Contoh lain terdapat pada
kata da’a dan naada yang keduanya juga
bermakna sama yaitu memanggil, serta banyak lagi contoh lainnya.[25]
Secara keseluruhan, kesalahan Syahrur dalam studi
hermenutika al- Qur’an nya berdasarkan dari kedangkalan ia dari sisi kecakapan
ia dalam aspek bahasa. Latar belakang pendidikan ia yang berasal dari jurusan
teknik tidak memiliki sangkut pautnya dengan studi keislalaman, apalagi studi
akan bahasa Arab. Memang ia sempat mempelajari secara otodidak akan studi
bahasa bersama gurunya Dr. Ja’far al bab, tapi itu semua tidaklah cukup.
Ketidakcakapan Syahrur dalam aspek bahasa tercermin
dalam bukunya Al-Kitab wa Al-Quran, dimana Yusuf Soidawi menemukan
lebih dari 80 kesalahan Syahrur dalam melakukan analisis studi bahasa dalam
proyek hermenutika al-Qura’nnya disini. Selain itu penerapan konsep triadiknya
terhadap posisi al-Qur’an, dimana ia memposisikan al-Qur’an sebagai hal yang
bersifat relative-dinamis, tidak bisa dibenarkan begitu saja.
Salah satu karakter al-Qur’an sendiri ialah kebenaran
nya di semua waktu dan kondisi. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa
kebenaran al-Qur’an bersifat relatif dan dapat dimaknai ulang, apalagi sampai
mengubah hukum dan ketentuan, seperti pendapat Syahrur di atas, tentu saja tak
bisa dibenarkan.
F. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan dari
pemikiran hermeneutika Syahrur dalam studi al-Qur’an. Pertama, Syahrur
melandasi pemikiranya dari konsep triadik, yang mana ia meletakan segala
sesuatu di dunia ini, termasuk al-Qur’an, dalam konsep ini. Hal ini
berimplikasi bahwa al-Qur’an akan selalu berada dalam proses dinamis, dan
bersifat relatif, karena ia akan selalu mengikuti perkembangan zaman. Kedua,
dalam mendasari kajian linguistiknya terhadap al-Qur’an, ia menolak adanya
konsep sinonimitas di dalam bahasa, termasuk dalam al- Qur’an sendiri. Dari
sinilah ia menolak adanya perbedaan makna dan definisi antara istilah.
DAFTAR PUSTAKA
Abied Shah M. Aunul, Al-Islam
Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung : Mizan, 2000.
Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al Hudud)
Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistimologi Hukum Islam di Indonesia dalam
buku Sahiron Syamsuddin, dkk.Hermeneutika Alqur’an; Madzhab Yogya, Yogyakarta
: Penerbit Islamika, 2003.
Hermeneutika-Muhammad-Syahrur. Pdf – Adobe Reader
Humanities, History Biografi Muhammad Syahrur. http : // id
. shvoong . com .12 Juni 2013.
Imdad, Sumber Teori Pemikiran Muhammad Syahrur (Artikel Islam, Pemikiran Hukum Islam), Monday,
August 23, 2010.
Ismail Ahmad Syarqawi, Rekonstruksi Konsep wahyu Muhammad
Syahrur, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2003.
Kurdi, dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Elsaq
Press, 2010.
Muhammad Syahrur, Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan
oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam
Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Mustaqim Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta
: Lkis, 2012.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Bandung :
Pustaka Setia, 2012.
Soidawi Yusuf, Baidotu
ad Diik ( Penerbit al ‘Awunihay), 14.
Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur`an,terj.
Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta : Elsaq, 2004.
Syahrur Muhammad, Islam wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj.
M.Zaid Su’di, “Islam wa Iman”,Yogyakarta : Jendela, 2002.
ZakiNAhmad, Pendekatan Strukturalisme Linguistic dalam Tafsir Al
Qur’an ala M. Syahrur, Yogyakarta : Elsaq Press, 2007.
[1] Ahmad Syarqawi Ismail, Rekonstruksi Konsep wahyu Muhammad
Syahrur (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2003), cet. I. 43.
[2] Lebih lanjut lihat di: Humanities, History Biografi Muhammad
Syahrur. http : // id . shvoong . com .12 Juni 2013.
[3] Muhammad Syahrur, Islam wa Iman: Manzumah al-Qiyam Terj.
M.Zaid Su’di, “Islam wa Iman”, (Yogyakarta : Jendela, 2002), Cet. I,
Pengantar. Lihat juga: Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme
Linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala M. Syahrur, (Yogyakarta : Elsaq
Press, 2007), 137-139.
[4] M. Aunul Abied Shah, Al-Islam
Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung : Mizan, 2000),
Cet.I, 237.
[6] Syahrur, Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Al Qur`an,terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta :
Elsaq, 2004), 30-32.
[7] Muhammad Syahrur, Nahw
Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan oleh Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, cet
X, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), 55.
[8] Muhkam adalah suatu lafadz yang artinya dapat
diketahui dengan jelas dan kuat berdiri sendiri serta mudah dipahami. Sedangkan
mutasyabih adalah suatu lafadz yang artinya samar, maksudnya tidak jelas dan
sulit bisa ditangkap karena mengandung penafsiran yang berbeda-beda dan bisa
jadi mengandung pengertian arti yang bermacam-macam. Rosihon Anwar, Ulum
Al-Qur’an (Bandung : Pustaka Setia, 2012), 122.
[9] Qadar
adalah Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu
Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. Syaikh Muhammad
Ibnu ‘Utsaimin, Rasaa-il fil ‘Aqiidah, hal. 37. Lihat juga http : // almanhaj
.or .id / content /2168 /slash /0/ definisi-qadha- dan-qadar- serta-kaitan
-di-antara- keduanya
[11] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : Lkis, 2012), cet II,
93.
[12] QS. an-Nisa’
ayat 13
[13] QS. an-Nisa’
ayat 14
[14] Dikutip dari tulisan Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas
(Nazariyyah al Hudud) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistimologi Hukum
Islam di Indonesia dalam buku Sahiron Syamsuddin, dkk.Hermeneutika
Alqur’an; Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Penerbit Islamika, 2003),152.
[15] Bagi Syahrur, persamaan fungsi ini dapat dijadikan basis teori
pengembangan hukum Islam karena hukum ini mencakup dua karakter dari hukum
Islam. Pertama, karakter permanen (tsabit) dalam arti tetap dan
tidak berubah dan universal. Karakter ini disebut sebagai al-istiqamah,
dalam arti berlaku secara umum dan terus-menerus. Kedua, karakter
dinamis dan cenderung kepada perubahan (al-hanafiyyah). Muhammad
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, 449.
[16] Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas,.... 159.
[17] QS. Al-Maidah:
38
[18] QS. an-Nisa :
23
[19]
Hermeneutika-Muhammad-Syahrur. Pdf – Adobe Reader
[22] Imdad, Sumber
Teori Pemikiran Muhammad Syahrur (Artikel Islam, Pemikiran Hukum Islam), Monday,
August 23, 2010.